Sebetulnya saat ini Abima sedang berusaha menebus kesalahan yang telah dia perbuat terhadap Kinan dan juga kepada dirinya sendiri. Sadar betul bahwa sibuknya dia beberapa hari terakhir telah membuat hubungannya dengan Kinan lantas menjadi sedikit menjauh dan juga merenggang, padahal mereka sudah berhasil membangun hubungan itu agar lebih dekat sebelumnya.
Maka dari itu, sekarang Abima sedang mencoba untuk membangun kedekatannya lagi dengan gadis itu agar tidak benar-benar hilang karena kesalahannya sendiri. Abima memang merasa bertanggung jawab setelah Anjar menunjuknya sebagai perwakilan untuk mendekati Kinan, tapi sekarang Abima melakukannya bukan semata-mata karena perintah dari kakaknya itu saja.
Setelah berbicara dengan Kinan lagi seperti tadi, entah mengapa Abima malah merasa bahwa dia memang ingin dekat dengan Kinan bahkan tanpa suruhan orang lain sedikit pun. Abima merasa obrolan mereka kian menyambung dan menyenangkan, tidak ada rasa membosankan sama sekali yang membuat Abima jadi ingin terus berlama-lama bicara dengan gadis itu.
Yang pasti keinginan untuk dekat dengan Kinan sekarang justru datang dari dirinya sendiri bukan hanya dari keinginan orang lain saja.
Abima bersyukur karena hari ini dia pulang cepat setelah menyelesaikan semua tugas-tugasnya di sekolah, dengan begitu kan sekarang dia jadi bisa bertemu dengan Kinan di ruang musik. Abima juga bersyukur karena kali ini dia telah benar-benar menyapa gadis itu lebih dulu dan tidak meninggalkannya begitu saja setelah permainannya berakhir sama seperti beberapa hari yang lalu.
Abima memang harus berhenti menjadi pengecut jika memang keinginannya untuk bisa dekat dengan gadis ini bisa terwujud dengan cara yang mudah dan juga lancar. Dia tidak perlu ragu jika ingin mendekat lalu mengajak Kinan berbicara, sebenarnya hal itu justru sangat mudah untuk dilakukan, hanya saja keraguan Abima muncul dalam bentuk ketakutan bahwa kemungkinan besar Kinan akan mengabaikannya atau malah merasa takut dengan Abima yang mendadak jadi berasa sok akrab dengannya.
Abima tidak ingin dicap sebagai orang yang seperti itu, oleh karena itu dia mencoba perlahan-lahan untuk dekat dengan Kinan. Lagipula Galih juga sudah memberikan saran kepadanya bahwa dia tidak perlu merasa ragu ataupun takut jika ingin mengajak gadis itu berbicara, Galih juga sudah memberikan saran-saran terbaik bagaimana caranya membangun obrolan yang baik dengan seorang gadis.
Abima hanya perlu mengikuti alur saja bukan? Tidak ada salahnya untuk mengikuti saran dari Galih, karena bisa saja saran itu berguna. Sekarang Abima harus membiasakan dirinya untuk tidak kaku ketika menatap Kinan dan mencoba membicarakan hal-hal yang gadis itu sukai.
Sejak pembicaraan mereka tadi, Abima sebetulnya juga sedang menunggu Kinan untuk berbicara lagi. Dia tahu kemungkinannya hanya lima puluh persen, sebab bisa saja Kinan tidak akan berbicara lagi sehingga hanya ada keheningan saja di antara mereka. Tapi, Abima tidak ingin jika hal itu sampai terjadi, bahkan tidak boleh.
Abima cukup peka untuk menyadari bahwa sebenarnya Kinan memang tidak pandai membuka sebuah obrolan. Wajar saja karena gadis itu memang belum pernah berteman dekat dengan siapa pun sebelumnya, jadi Kinan masih belum tahu pasti apa saja yang harus dia lakukan ketika bersama dengan Abima.
Memang benar bahwa Kinan sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk berubah menjadi lebih baik, tapi bukan berarti dirinya akan bisa berubah begitu saja dengan mudah, Kinan masih perlu membiasakan diri dan menyamankan dirinya dengan Abima—meskipun sejujurnya Kinan sudah merasakan itu tapi dia masih butuh beberapa kali lagi pertemuan untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa Abima memang orang yang baik.
“Kinan, gue boleh tanya sesuatu?” tanya Abima tiba-tiba, membuat Kinan sedikit tersentak kaget namun tetap berusaha untuk tenang.
Kinan mengangkat alisnya, merasakan sesuatu yang aneh namun dia memilih untuk menyimpannya dalam hati lalu lanjut meladeni perkataan Abima. “Kenapa, Bim?”
“Sebelum ini kan gue udah pernah denger lo main piano kayak apa yang lo bilang, tapi hari ini waktu gue denger tadi ternyata lo mainin lagu yang sama, musik yang lo mainin tadi fur elise dari Beethoven bukan? Soalnya musiknya familiar banget di telinga gue.”
“Lho?! Kok lo tahu?!” Tidak bisa berbohong, ekspresi Kinan saat ini sarat menunjukkan tanda keterkejutan yang sangat kentara disertai dengan rasa excited yang benar-benar tidak bisa disembunyikan oleh gadis itu. Dia sangat senang ketika Abima menyebutkan judul musiknya dengan benar.
Abima nyengir lebar—‘oke, saran pertama yang udah Galih kasih ke gue ternyata beneran ampuh,’ pikir laki-laki itu di dalam hatinya. “Almarhum Ibu gue dulu juga suka banget main piano, dari kecil gue udah sering dengar dia mainin lagu itu makanya gue familiar banget sama melodinya. Ternyata bener ya tebakan gue?”
“Maaf, gue nggak tahu tentang Ibu lo.” Ekspresi Kinan langsung berubah sendu ketika tadi Abima menyebutkan secara tidak langsung bahwa Ibunya sudah tiada.
“Eh, enggak apa-apa, nggak usah minta maaf karena lo nggak salah apa pun Kinan,” Abima langsung cepat-cepat membenarkan kalimatnya, tentu dia tak mau membuat Kinan jadi merasa bersalah kepadanya.
Kinan mencoba untuk mengembalikan mood-nya yang sempat hilang sejenak karena merasa bersalah, tapi karena Abima sudah berkata seperti itu maka Kinan tidak boleh terus-menerus merasa bersalah bukan? Jika dia tetap seperti itu yang ada Abima malah kesal nantinya.
“Gue baru tahu almarhum Ibu lo ternyata suka main piano, bahkan lo sampai tau musik yang gue mainin.”
“Makanya kita harus sering ngobrol biar lo tahu semua hal tentang gue, nanti gantian juga dong lo harus kasih tahu tentang diri lo ke gue. Jadinya kalo kayak gitu kan kita bisa impas karena bisa tahu satu sama lain yang tentunya dengan izin lebih dulu.” Cengiran di bibir Abima kian melebar ketika dia melihat Kinan tertawa usai mendengar kalimatnya barusan.
Kinan sendiri tidak tahu mengapa dia tertawa, menurutnya hanya lucu saja ketika melihat Abima mengatakan hal tersebut dengan wajah yang cukup tengil seperti sedang menggodanya. Kinan sih sebenarnya tidak apa-apa jika mereka bisa berbagi informasi antara satu sama lain seperti itu, hanya saja dia butuh waktu dan semoga saja Abima mau sabar menunggunya.
“Boleh, tapi maaf kalo gue butuh waktu buat bisa terbuka sepenuhnya sama lo ya.” Kinan menghela napas, merasa lega karena bisa mengatakan hal tersebut secara langsung.
“Iya, Kinan, gue ngerti kok. Pelan-pelan aja, gue nggak minta lo buat buru-buru biar kita saling kenal, jalanin aja pelan-pelan buat kenal sama gue dan anak-anak asrama yang lainnya,” Abima berusaha mengatakannya dengan selembut mungkin dan dengan kalimat yang dia rasa tidak akan membuat Kinan merasa sakit hati.
“Makasih karena udah mau ngertiin gue.”