“Kalo dengar dari semua cerita lo tadi, dipikir-pikir gue punya satu cara yang paling ampuh nih untuk permasalahan lo tadi,” ujar Galih dengan ekspresi yang sangat meyakinkan.
Abima sudah sering melihat itu dan biasanya laki-laki itu juga sudah mengetahui akan seperti apa akhirnya, namun kali ini Abima mau mencoba dengar lebih dulu. Barangkali khusus hari ini otak Galih sedang dalam keadaan baik sehingga dia bisa memberikan saran yang bagus untuk permasalahan yang Abima alami.
“Ini lo mau kasih gue saran untuk permasalahan apa?” tanya Abima.
“Tentu aja cara paling cepat untuk meluluhkan hati seorang gadis!”
Astaga, ternyata otak Galih masih sama gilanya seperti hari-hari kemarin, seharusnya Abima tidak perlu kaget lagi jika sahabatnya ini memang bersikap demikian karena Abima sudah mengenal Galih cukup lama bukan?
Setelah mendengar itu akhirnya Abima hanya bisa mendesah lelah, helaan napas berat penuh geram terhela dari bibirnya dan Abima langsung memilih untuk membuang pandangan ke arah lain asal bukan kepada Galih karena dia takut saat ini juga dia akan menjitak kepala Galih untuk kesekian kalinya.
Jujur saja, sebenarnya Abima sudah ingin serius mendengarkan saran laki-laki itu, sebab Abima pikir setelah mendengarkan semua cerita panjangnya tadi Galih jadi bisa berpikir dengan normal dan bisa membantu sebagai temannya untuk memberikan sebuah saran, tapi sayang sekali bahwa Galih sekali lagi tidak bisa memenuhi ekspektasi Abima, alih-alih memberikan saran yang normal sesuai dengan permasalahan yang terjadi Galih malah ingin memberikan saran yang sama sekali tidak Abima butuhkan.
Apa tadi katanya? Meluluhkan hati seorang gadis?
“Lih, ini gue cerita panjang lebar lo sebenernya dari tadi dengarin nggak sih?” tanya Abima penuh rasa frustrasi. “Gue tuh dekatin Kinan karena mau bikin dia nyaman sama gue biar pada akhirnya dia juga bisa dekat sama anak-anak lainnya, karena selama ini anak Asrama Kartapati memang selalu nerapin pendekatan kayak gitu ke penghuni baru biar bisa cepat akrab antara satu sama lain. Tapi, bukan berarti gue mau dekatin Kinan dan pada akhirnya malah pacaran sama dia, enggak gitu, Galih! Lo tuh mikir apa sih astaga, kenapa malah jadi ke sana?”
Abima merasa sangat geram saat ini, bisa-bisanya Galih berpikir seperti itu di saat Abima sudah berbicara panjang lebar hingga mulutnya berbusa. Abima tahu bahwa sejak awal dia memang tidak meminta Galih untuk memberikannya sebuah saran, didengarkan saja sudah lebih dari cukup untuk Abima.
Tapi, Galih sendiri yang menawarkan maka dari itu Abima sempat berharap bahwa laki-laki ini bisa membantunya berpikir dengan baik. Tadinya Abima pikir Galih akan memberikan sebuah saran tentang cara untuk mendekati Kinan lebih cepat dan membuat gadis itu jadi bisa nyaman ketika berbicara dengannya, atau mungkin saran tentang topik obrolan yang menarik agar pembicaraan mereka tidak monoton dan Abima tidak akan kehilangan kesempatan untuk menjadi lebih dekat dengannya. Atau mungkin saran kegiatan yang bisa Abima lakukan bersama Kinan agar bisa membangun hubungan yang lebih baik bersama gadis itu.
Namun sayang sekali semua harapan Abima langsung dipatahkan begitu saja hanya dengan satu kalimat yang mengatakan bahwa Galih ingin memberikannya saran untuk meluluhkan hati seorang gadis.
‘Tolong banget ini mah, padahal gue nggak ada rencana untuk nembak siapapun atau bahkan berusaha untuk luluhin hati siapapun. Tapi, kenapa dia akhirnya malah mikir kayak gitu sih, memangnya penjelasan gue tadi kurang jelas? Kayaknya gue tadi nggak lupa kasih tahu apa tujuan gue buat dekatin Kinan deh, tapi kenapa Galih malah mikir kayak gitu?!’ batin Abima berteriak penuh rasa frustrasi karena satu orang yang saat ini sedang duduk sembari cengengesan di sebelahnya.
“Padahal nggak ada salahnya kalo lo dengarin saran dari gue yang satu itu, karena mungkin aja lo nantinya berniat buat pacaran sama Ki—”
“Enggak, Galih,” potong Abima cepat sebelum laki-laki itu berhasil menyelesaikan kalimatnya. “Stop! Mending lo berhenti ngomong sebelum gue marah. Bahkan gue nggak kepikiran sedikitpun untuk ke arah sana.” Seharusnya Abima memang tidak perlu berharap banyak dari Galih yang nyatanya merupakan satu-satunya teman yang paling aneh.
Apa yang bisa Abima harapkan darinya jika mereka sedang terlibat dalam pembicaraan serius? Tentu saja tidak ada, karena sahabatnya itu pasti akan langsung membelokkan topik ataupun membuat lelucon yang sama sekali tidak berhubungan dengan pembicaraan penting tersebut.
“Eh, Bim, tapi gue mau tanya sesuatu deh.”
“Kalo pertanyaan lo aneh gue nggak akan mau jawab.”
Galih terkikik geli, menyenangkan baginya jika bisa mengganggu Abima seperti ini. “Kinan tuh cantik nggak?”
Abima langsung menoleh cepat ke arah Galih dan memberikan death glare kepadanya. Bisa-bisanya laki-laki itu berpikiran seperti tadi dan menanyakannya kepada Abima? Padahal tidak ada hubungannya sama sekali dengan cerita Abima tadi, Abima tidak pernah menyinggung sedikitpun soal fisik ataupun paras Kinan kepadanya tapi laki-laki itu sendiri yang malah bertanya.
“Gue nggak mau jawab,” putus Abima cepat, laki-laki itu merogoh ponsel di sakunya dan mulai sibuk kembali bermain game dari sana.
Galih masih saja tertawa di sampingnya, berusaha mengambil ponsel itu dari tangan Abima agar laki-laki itu mau berbicara dengannya lagi. “Eh, gue kan cuma tanya, kenapa lo sensitif banget sih? Padahal tinggal jawab aja iya atau enggak, kan nggak susah tuh pertanyaannya.”
Abima mendengkus keras-keras. “Pertanyaan lo aneh, gue males jawabnya karena gue tahu nanti akhirnya lo pasti bakalan ngeledekin gue apa pun jawaban yang gue kasih ke lo,” ujarnya penuh keyakinan, dia sudah mengenal Galih dan tentu saja sudah tahu akal-akalan laki-laki itu dan juga pertanyaannya yang begitu menjerumus ke maksud lain.
“Enggak, Bim, beneran deh. Gue beneran cuma pingin tahu Kinan tuh cantik apa enggak,” jawab Galih lagi kali ini benar-benar terlihat berwajah serius yang menunjukkan kalau dia benar-benar ingin tahu pendapat Abima.
Abima tidak mau menjawab itu karena dia tahu Galih itu pandai berbohong untuk urusan seperti ini, hanya mulutnya saja yang berhasil mengutarakan janji dan keseriusan padahal nanti tingkahnya akan lain cerita. Jawaban apa pun yang Abima berikan pasti akan tetap membuatnya meledeki Abima sampai beberapa hari ke depan—hingga laki-laki itu lelah dengan sendirinya dan menemukan bahan ledekan baru, Abima sangat tidak ingin jika hal itu sampai terjadi maka dari itu dia menghindar untuk menjawab.
Tapi masalah lainnya adalah Abima juga sangat tahu bahwa Galih adalah anak yang sulit sekali untuk dihentikan ketika dia sedang penasaran terhadap sesuatu. Sahabatnya laki-lakinya itu pasti akan terus mengejarnya untuk mendapatkan jawaban yang dia inginkan, mendesak Abima yang pada dasarnya memang tidak suka dipaksa-paksa hingga akhirnya benar-benar mau bicara untuk menjawab pertanyaan itu.
Apa pun yang Abima pilih akan tetap membawanya ke dalam siksaan godaan Galih selama beberapa hari ke depan, maka dari itu Abima memang tidak memiliki pilihan untuk menghindar karena Galih pasti akan tetap mengejarnya. Laki-laki itu memang seperti tidak punya kerjaan saja karena kegiatannya adalah selalu mengganggu Abima ataupun anak-anak lainnya, namun karena kebetulan Abima adalah teman sebangkunya sekaligus sahabat dekatnya maka tentu saja Abima yang paling sering mendapatkan kejahilan dari laki-laki itu.
Hal paling tepat yang harus Abima pilih memanglah menjawab pertanyaan Galih daripada dirinya harus diganggu setiap saat dan diberikan pertanyaan yang sama setiap waktu.
‘Jadi, Kinan tuh cantik apa enggak, Bim?’ Pasti Galih akan menanyakan hal ini hampir lima puluh kali di hari ini jika seandainya Abima memang tidak menjawab pertanyaannya.
“Kinan cantik.”
Bagaimana cara Galih memandangnya saat ini adalah sesuatu yang paling menyebalkan di mata Abima sekarang. Kedua mata sahabatnya itu memicing hingga hampir membentuk garis lurus, tapi bukan hanya itu saja karena sekarang dia juga sedang tersenyum sangat lebar sarat akan menggoda yang sangat kentara sekali hingga membuat Abima benar-benar merasa kesal.
“Berhenti lihatin gue kayak gitu, gue udah jawab pertanyaan lo jadi sekarang mending lo diem.”
“Ini sih kayaknya beneran bakal pacaran sih akhirnya.”
“Galih!”
“Iya, ampun, jangan marah-marah dong gue kan cuma bercanda.”
“Bercanda lo nggak lucu.”
Abima jadi kesal sendiri berbicara dengan laki-laki itu. Mendadak dia jadi merasa menyesal karena sudah menceritakan semuanya kepada Galih ketika pada akhirnya sahabatnya itu hanya akan merespon dengan sangat menyebalkan. Memang lebih baik jika Abima menyimpan saja rahasianya dan tidak membagikannya kepada Galih.
Padahal ketika berangkat ke sekolah tadi Abima merasakan bahwa mood-nya sangat baik hingga dia tersenyum terus-menerus sepanjang pagi dan menimbulkan tanya bagi setiap anak lain yang melihatnya melintas di dekat mereka. Semua itu tentu karena kejadian paginya bersama Kinan, tapi lihatlah sekarang Galih justru mengacaukan semuanya.
Galih justru membuat mood Abima berantakan sekali saat ini hanya karena semua candaannya yang tidak masuk akal dan membuat Abima merasa aneh ketika mendengarnya. Tidak tahu apa yang aneh, tapi yang pasti Abima tidak nyaman mendengar penuturan itu dari Galih walaupun dia berkata bahwa dirinya hanya bercanda saja.
Sejujurnya Abima juga tidak tahu mengapa dia harus marah mendengar kalimat yang Galih ucapkan. Abima tidak marah kok, dia hanya merasa aneh saja mendengar itu dan tidak terbiasa. Selama ini Galih memang cukup sering menjodohkannya dengan beberapa anak di sekolah, terutama jika ada siswi lain yang ingin dekat dengan Abima melewati Galih, pasti sahabatnya itu akan langsung dengan semangat mengenalkan Abima kepada mereka.
Tapi tentu saja Abima menolak untuk menjadi lebih dekat karena dia belum pernah berpikir jauh untuk memiliki hubungan romansa dengan orang lain. Tidak sekarang, pikir Abima. Perjalanannya masih sangat panjang untuk menuju sukses dan Abima tidak bisa melakukan hal-hal semacam itu.
Jika hanya dekat maka mungkin saja, sama halnya seperti Abima dengan anak-anak asrama putri yang lainnya. Mereka akrab layaknya seorang teman dekat, tapi tidak pernah ada yang meromantisasi kedekatan itu kecuali jika mereka diam-diam merasa suka dengan salah satu di antara mereka. Tapi, sejauh ini Abima tidak pernah merasakan perasaan berlebih terhadap seorang perempuan.
Jika hanya tertarik mungkin pernah beberapa kali, tapi Abima tidak pernah menseriuskan hal itu. Jujur saja, Abima pernah merasa tertarik ketika pertama kali melihat Rashi—salah satu penghuni asrama putri. Gadis itu terlihat sangat manis dan juga anggun di saat bersamaan, senyumnya sangat manis sehingga membuat orang-orang di sekitarnya yang melihat itu pasti ingin ikut tersenyum.
Tapi rasa tertarik itu hanya bertahan selama beberapa minggu saja karena Abima tidak pernah seserius itu menyukai Rashi, dia sudah bilang bukan bahwa dirinya hanya tertarik saja dan tertarik bukan berarti Abima ingin mendekati gadis itu. Lagipula pada waktu itu sudah ada lebih dulu laki-laki yang kelihatan sekali sangat menyukai Rashi.
Dia adalah Randu yang jarak masuknya dengan gadis itu tidak berbeda jauh dan hanya berjarak beberapa minggu saja. Abima yang memang hanya merasa tertarik saja dan tidak berniat untuk mendekati gadis itu pun pada akhirnya membiarkan Randu yang maju untuk mendekati gadis itu, meskipun hingga saat ini Abima belum tahu pasti apa yang terjadi di antara mereka, tapi terlihat jelas sekali bahwa keduanya menjadi sangat dekat sejak waktu itu hingga di hari ini.
Mungkin alasan ini terdengar sangat amat klise, tapi sekarang Abima benar-benar hanya ingin fokus saja kepada sekolahnya saja dan tidak memikirkan hal lain yang melibatkan perempuan dan juga perasaan. Jika hanya sekadar dekat menjadi teman dekat yang sangat akrab maka Abima tidak akan menolak, dia juga senang jika mendapatkan seorang teman baru. Namun, jika kedekatan itu terjadi karena mereka memiliki maksud lain untuk menjadi lebih jauh maka Abima tidak bisa melanjutkannya, secara perlahan dia akan menghindar hingga pada akhirnya mereka jadi menjauh kembali.
Hal seperti itu sudah sering terjadi, tapi anehnya Galih tidak juga bosan untuk tetap memperkenalkannya dengan anak-anak yang lain, padahal Abima saja sudah bosan sendiri karena hal itu.
“Jadi, gimana nih, lo masih butuh saran dari gue nggak?”
Abima langsung menoleh ke arah Galih dengan mata memicing penuh rasa kesal, Galih yang melihat itu hanya bisa tertawa. Abima ini walaupun sudah diganggu, tapi dia tetap saja mau meladeni setiap perkataan Galih. Padahal jika tidak diladeni lagi bisa saja Galih jadi diam karena merasa lelah sendiri, tapi karena Abima masih mau mendengarkannya maka dari itu Galih juga tidak akan berhenti.
“Kali ini lo mau bikin gue marah dengan cara apa lagi?” tanya Abima, untungnya laki-laki itu masih memiliki sisa-sisa kewarasan untuk tidak mengamuk dan mengajak Galih bertengkar saat ini juga.
“Kali ini gue beneran deh, serius!” Galih menunjukkan dua jarinya yang menunjukkan tanda peace. “Lo butuh saran buat lebih dekat sama Kinan ‘kan? Karena ini pertama kalinya buat lo mungkin aja lo bingung harus melakukan apa biar bisa dekat sama dia, jadi gue mau kasih beberapa saran yang mungkin aja bisa lo lakuin nanti.”
Abima memutar badannya, kelihatan tertarik. “Sarannya kali ini beneran waras?”
“Ah, elah, emang lo pikir gue apaan?”
“Dari tadi kan lo memang begitu,” jawab Abima tentu saja tidak mau disalahkan.
“Kali ini beneran gue, serius dah. Kalo bohong lo boleh pukul gue.”
‘Hm, tawaran yang menarik,’ pikir Abima. Dia bisa memukul laki-laki itu sesuka hatinya tanpa harus menahan lagi meskipun Galih adalah temannya.
“Oke, gue dengarin.” Kini Abima sudah sepenuhnya memutar badan untuk menatap ke arah Galih, memandangnya dengan serius untuk mendengarkan apa yang akan dia katakan. Jujur saja, jika urusan dekat dengan seorang gadis Galih memang lebih juara daripada dirinya karena Abima tidak memiliki pengalaman menarik apa pun terhadap perempuan.
Dengan anak-anak asrama putri saja dia tidak pernah pergi yang hanya berdua saja, mungkin jika sedang memasak atau sarapan pernah hanya bersama Kak Rea atau mungkin Bintang dan beberapa anak yang lain, tapi Abima hanya menganggap semua itu biasa saja karena mereka sudah tinggal bersama dengan waktu yang cukup lama walaupun kenyataannya berbeda bangunan.
Galih yang sudah lebih sering dekat dengan seorang gadis pasti tahu bagaimana caranya membuat obrolan mereka di antara para gadis jadi tidak terkesan membosankan, cara membuatnya tertawa atau hal-hal lain yang dapat terasa menyenangkan, begitulah yang Abima pikirkan saat meminta saran kepada laki-laki itu.
Tapi, kali ini Galih benar-benar serius dengan kalimatnya. Dia tidak lagi ingin bercanda dan menggoda Abima, sebab terlihat sekali bahwa sahabatnya itu memang membutuhkan bantuan. Sebagai seseorang yang paling dekat dengan Abima sejak masuk ke sekolah ini, Galih tentu tahu bahwa Abima tidak memiliki pengalaman sedikitpun terhadap seorang gadis, maka dari itu Abima pasti sekarang merasa kesulitan dan benar-benar membutuhkan bantuannya.
Sebagai seorang sahabat tentu saja Galih harus membantunya bukan?
“Hal yang harus lo perhatikan kalo mau dekat sama perempuan adalah ketika lo ngobrol sama dia, lebih tepatnya topik obrolan yang harus lo bahas kalo lagi sama dia—” Abima tersenyum mendengar itu, ini benar-benar hal yang dirinya butuhkan sedari tadi. “—perempuan itu paling suka kalo diajakin ngobrol tentang suatu hal yang mereka suka. Lo bilang Kinan pemain piano kan? Lo bisa ajakin dia ngobrol seputaran musik klasik karena setahu gue, bukannya lo juga hobi sama musik klasik? Lo juga suka seni, Abima, gue yakin obrolan lo sama dia pasti bakalan lancar selancar jalan tol deh kalo lo pintar bangun suasana di dalam obrolan itu.”
“Gimana caranya bangun suasana dalam obrolan biar nggak kerasa ngebosenin?”
Galih berdecak, terlihat tak percaya dengan pertanyaan yang baru saja Abima ajukan kepadanya. Memang sih sahabatnya ini cukup kaku dan Galih menyadari itu, tapi masa dia juga tidak tahu bagaimana caranya membangun obrolan agar terasa menyenangkan?
“Lo jangan melihat gue pakai tatapan menghakimi gitu dong.” Abima mencibir kesal kepada Galih.
“Gue cuma heran aja kenapa lo bisa nggak tahu tentang hal sekecil itu, lo beneran nggak tahu caranya bangun obrolan biar kerasa asik sama orang lain?” Suara Galih benar-benar terdengar seolah-olah dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dirinya dengar. Abima ini benar-benar, sebenarnya apa sih yang laki-laki itu ketahui tentang urusan perempuan?
Andai saja Galih mempertanyakan hal itu secara langsung kepada Abima, maka laki-laki itu pasti akan langsung menjawab ‘tidak ada’, karena memang tidak ada hal yang dia mengerti tentang seorang perempuan.
“Sebenernya nggak banyak yang harus lo lakuin, yang paling penting tuh lo jangan kerasa kaku waktu lagi ngobrol sama dia, usahain untuk buat suasana itu semenarik mungkin dengan gimana ekspresi lo waktu ngomong. Ketika bahas topik yang dia suka dan ekspresi lo kelihatan tertarik itu bisa bikin dia jadi seneng, seenggaknya dia tahu kalo lo beneran punya minat yang sama kayak dia, tapi usahain untuk nggak keliatan fake. Lo harus natural waktu berekspresi nanti.”
Abima menghela napas panjang. “Gue nggak pinter buat kayak gitu, yang ada gue gagal duluan deh sebelum nyoba.”
Saran dari Galih benar-benar sangat membantu, dia tidak pernah menyadari hal itu sebelumnya karena jika berbicara dengan seseorang maka Abima hanya akan berbicara saja tanpa harus memikirkan hal lain. Lagipula dia juga belum pernah melakukan pendekatan seperti ini sebelumnya, jadi wajar saja jika masih terasa canggung dan aneh.
Ah, sulit sekali hanya untuk mendekati Kinan.
Abima bahkan sampai berusaha sekeras ini untuk mencari tahu cara terbaik untuk bisa mendekatinya, meski dia harus meminta saran dari teman teranehnya sekalipun.