Sibuk.
Satu kata itu sudah cukup sekali untuk menggambarkan keadaan Abima selama beberapa hari ini.
Sudah hampir empat hari lamanya Abima berangkat sangat pagi ke sekolahnya dan pulang ketika matahari sudah tenggelam, sangat sore sekali dan tentu saja melelahkan sehingga Abima akan langsung memilih beristirahat setiap kali pulang ke asrama. Akhir-akhir ini dia cukup jarang ikut berkumpul ketika pada malam hari anak-anak asrama putra berkumpul di ruang tamu.
Hanya Abima dan Tara saja yang tidak hadir.
Anak-anak lain tentu memakluminya karena tahu bahwa mereka berdua sedang dalam masa sibuk-sibuknya. Sebenarnya Dika yang kebetulan berada di sekolah yang sama dengan Abima tahu sekali kesibukan apa yang sebenarnya tengah sahabatnya itu lakukan, maka dari itu semua orang jadi mengerti ketika Dika sudah menjelaskan.
Sedangkan untuk Tara, laki-laki itu hanya berkata bahwa saat ini dia masih berada dalam masa ujian dan juga persiapan hal-hal lain sehingga kegiatan di kampusnya jadi menumpuk. Belum lagi pekerjaannya yang harus selalu dia selesaikan tepat waktu sehingga semakin mengambil waktunya dari realita. Tara jadi benar-benar sibuk dan sulit sekali untuk ditemui.
Hari ini sebagian dari anak-anak asrama putra berkumpul di ruang bersantai ketika Anjar memesan dua box pizza untuk mereka makan bersama-sama. Hanya ada Anjar, Dika, Ilham dan Randu saja di sana karena dua penghuni lainnya absen dari perkumpulan malam ini.
Abima baru pulang beberapa menit lalu, tepat dua menit selesai pesanan mereka sampai. Tapi ketika ditawari laki-laki itu hanya menggeleng saja—‘gue skip,’ kata Abima selagi melenggang pergi masuk ke dalam kamarnya di lantai dua dan kemudian tidak keluar-keluar lagi setelahnya, semua langsung bisa menebak bahwa laki-laki itu pasti sudah tidur di dalam sana karena terlalu kelelahan.
Sedangkan Tara belum juga terlihat batang hidungnya, terkadang dia akan pulang menjelang tengah malam, tetapi juga kadang Anjar memperhatikan bahwa laki-laki itu tidak pulang ke asrama. Sebenarnya keadaan Tara cukup mengkhawatirkan dan membuat Anjar jadi penasaran tentang apa yang sebenarnya sedang laki-laki itu lakukan, hanya saja Anjar tidak mau menjadi sosok yang sangat penasaran terhadap hidup orang lain.
Jika Tara belum membuka pembicaraan kepada mereka untuk dapat mengetahui apa yang terjadi, maka selama itu juga Anjar akan diam dan tidak melakukan apa-apa. Dia akan mulai bergerak untuk mencari tahu jika sudah ada lampu hijau dari sang pembicara yang memperlihatkan gerak-gerik bahwa dirinya butuh bantuan tapi enggan untuk bicara.
“Abima kenapa sibuk banget sih belakangan ini? Padahal kan gue pingin ngajak dia nongkrong buat nemenin gue skripsian,” ujar Anjar tiba-tiba di tengah hening yang melanda, tiga laki-laki yang lebih muda darinya itu sedang fokus kepada televisi dan makanan di tangan mereka masing-masing.
Tapi, sejujurnya pertanyaan tentang Abima tadi hanya Anjar tanyakan karena dia ingin mengalihkan pemikirannya dari sosok Tara yang tidak tahu ada di mana. Anjar perlu memikirkan hal lain agar tidak secara impulsif tiba-tiba saja mencari Tara. Lebih baik memberi waktu dulu bagi laki-laki itu untuk menyelesaikan apa pun yang terjadi.
“Oh, itu, dia lagi ada banyak kegiatan di sekolah jadi sibuk banget. Gue juga jarang ketemu sih kalo di sekolah karena memang beda kelas, cuma setahu gue organisasinya memang lagi sibuk banget,” jelas Dika yang kebetulan memang satu sekolah dengan Abima. Hanya dia yang bisa menjelaskan saat ini karena dua orang lainnya tidak tahu-menahu tentang kesibukan apa yang sebenarnya sedang dikerjakan oleh temannya itu.
“Sibuknya kayak gimana tuh? Lo tahu enggak?” Anjar bertanya lagi.
Dika sempat diam beberapa saat untuk mengingat-ingat informasi yang dia dengar dari beberapa teman sekelasnya yang memang suka sekali bergosip, dan sekarang Dika menjelaskan semuanya kepada ketiga orang di dekatnya ini sesuai dengan apa yang sudah laki-laki itu dengar dari orang lain. “Jadi tuh sekolah gue mau ngadain event khusus gitu. Nah, kebetulan Abima kan anak Jurnalistik dan tugas dia jadi fotografer, jadi sekarang lagi banyak banget yang harus dikerjain untuk nyambut event sekolah itu. Anak Jurnalistik bertugas ngumpulin foto gitu buat galeri seni sama apa gitu gue juga nggak begitu ngerti.
“Dari yang gue dengar sih kayak gitu ya. Setiap pulang sekolah itu Abima langsung pergi ke tempat yang udah ditentuin dan ngambil beberapa foto di sana sesuai tema event sekolah buat galeri seninya. Makanya dia selalu pulang telat karena harus ngurusin semuanya dulu.”
Dika memberikan penjelasan yang cukup jelas sehingga Anjar, Randu dan Ilham langsung mengangguk mengerti. Meski mereka semua tidak tahu banyak tentang Jurnalistik karena tidak ada yang mengikuti kegiatan itu, namun secara garis besar mereka sudah mengerti tentang apa yang Dika jelaskan barusan.
Beberapa hari ini Anjar yang paling sering melihat Abima pulang malam, karena Anjar adalah langganan ruang bersantai yang sudah seperti singgasananya ketika mengerjakan skripsi yang tak kunjung selesai. Ketika Abima baru pulang laki-laki itu tetap menyapanya seperti biasa tapi setelah itu langsung melangkah naik ke lantai atas menuju kamarnya tanpa mengatakan apa pun lagi.
Anjar yang melihat raut kelelahan dari wajah Abima pun akhirnya mengurungkan niat untuk bertanya, dia membiarkan adiknya itu untuk segera beristirahat di kamarnya yang nyaman. Tapi sekarang ketika sudah mendapatkan penjelasan dari Dika, dia jadi mengerti tentang apa yang sebenarnya terjadi. Anjar tidak perlu khawatir lagi karena kegiatan seperti itu sudah menjadi hal wajar bagi para pelajar seperti Abima.
“Mulai hari ini, kalo seandainya kalian liat Abima pulang dalam keadaan wajah cape, jangan diajakin buat kumpul ya dan jangan dipaksa. Kalo dia mau ikut kumpul pasti dia gabung, cuma kalo cape banget itu anak pasti milih buat langsung tidur kayak sekarang. Jadi, selama beberapa hari ini dia jangan diganggu dulu, takutnya juga lagi sensitif nanti malah berantem,” Anjar mengingatkan tiga adiknya yang lain—yang berusia sama seperti Abima. Anjar hanya mengingatkan saja karena takut mereka lupa, meskipun dia juga yakin bahwa semua orang sudah mengerti tentang peraturan yang satu itu.
‘Jangan mengganggu siapapun yang terlihat dalam keadaan mood yang sedang tidak baik, karena nanti bisa-bisa malah berantem.’ Begitulah isi peraturan tidak tertulis yang pernah mereka bahas beberapa tahun lalu dan peraturan itu masih berjalan sampai saat ini, anggap saja sebagai pedoman agar tidak ada pertikaian di dalam asrama putra.
“Kalo lo sendiri kenapa nggak sibuk, Ka? Kan lo satu sekolah sama Abima,” Anjar bertanya balik kepada Dika malam itu.
“Gue ikut kegiatan paduan suara sih, cuma nanti gue kedapetan tugas buat nyanyi solo dan nggak masuk ke vokal grup makanya gue nggak perlu latihan bareng mereka. Gue bisa latihan sendiri, ada beberapa hari yang memang harus latihan di sekolah juga, cuma gue nggak sesibuk Abima.”
“Wah, vokalis kita kawan. Keren banget mau nyanyi solo dia,” ujar Randu penuh rasa bangga. “Kayaknya pas nanti eventnya mulai gue harus nyebrang deh main ke sekolah lo biar bisa liat Dika nyanyi solo.”
Dika langsung melempar kentang goreng di tangannya ke arah Randu tanpa merasa bersalah sedikitpun, yang ada laki-laki itu kini tengah merasa sangat malu. “Lo udah sering denger gue nyanyi di cafe, jadi enggak usah datang lagi deh ke sekolah gue,” katanya dengan perasaan malu yang membuncah di dalam d**a.
Mereka semua yang pada saat itu ada di ruang bersantai langsung tertawa bersama-sama, menertawakan Dika lebih tepatnya yang kini kedua telinganya sudah memerah hanya karena merasa malu.
Laki-laki itu memang cukup aneh. Dia memiliki hobi menyanyi dan sering tampil di cafe sebagai pekerjaan juga untuk menyalurkan hobinya. Dika sangat senang bernyanyi di depan orang banyak, seperti ada kesenangan sendiri di dalam dirinya ketika bisa tampil di depan orang lain—apalagi ketika laki-laki itu bisa melihat bahwa orang-orang tersebut menikmati lagu yang sedang dirinya bawakan.
Tapi anehnya, jika disuruh untuk tampil secara mendadak oleh orang-orang terdekatnya maka Dika pasti akan merasa sangat malu entah karena alasan apa. Dia malu saja jika secara terang-terangan ada yang memuji suaranya hingga meminta dirinya untuk bernyanyi di depan mereka. Rasanya akan sangat berbeda ketika bernyanyi untuk pekerjaannya, atau bernyanyi di depan orang-orang terdekatnya dengan suruhan yang tiba-tiba.
Jika permintaan itu datang secara tiba-tiba maka terkadang Dika bisa menjadi sangat tertekan untuk melakukannya.
“Kak Tara ke mana sih? Gue udah lama deh nggak lihat dia,” Ilham yang sedari tadi hanya senang menyimak akhirnya bersuara juga.
“Dia kayaknya lagi sibuk kuliah sama kerja, kemungkinan juga lagi ada masalah di luar makanya jarang kelihatan. Kalo nanti kalian nggak sengaja ketemu jangan ditanya apa-apa ya, bersikap kayak biasa aja tapi jangan singgung kenapa Tara jarang kelihatan belakangan ini.”
Ketiga adiknya itu langsung mengangguk, mengiyakan. Jika Anjar sudah bicara seperti itu maka artinya mereka harus menurut dan melakukan seperti yang diperintahkan. Karena Anjar pasti tahu hal terbaik yang harus mereka lakukan jika ada salah satu anak asrama yang sedang tidak tidak terlihat baik.
Ilham membawa topik yang sangat sensitif untuk Anjar belakangan ini karena dia merasa bahwa ada yang tidak beres dengan adiknya yang satu itu. Namun, dia enggan untuk membahasnya lebih dulu bersama anak-anak lain yang memiliki usia di bawahnya dengan Tara. Jika terasa serius seperti ini maka Anjar harus mengajak Tara bicara dulu empat mata untuk bisa tahu masalah apa yang sedang dia alami saat ini.
Namun sayang sekali kesempatan untuk bicara itu tidak pernah bisa Anjar dapatkan karena benar-benar sangat sulit sekali bertemu dengan Tara yang terlihat super sibuk tersebut.
Sekarang Anjar hanya bisa menunggu waktu sampai akhirnya dia bisa bertemu langsung dengan Tara dan pada saat itulah mungkin Anjar akan bertanya kepadanya apakah ada masalah yang mengganggunya saat ini. Sebab jika memang ada maka Anjar ingin bantu menyelesaikannya.
Pembicaraan empat laki-laki itu terjadi hingga pukul sepuluh malam, satu per satu dari mereka mulai pamit untuk langsung tidur karena tiga di antaranya masih harus sekolah esok hari. Terkadang Anjar sering lupa bahwa dia berada di dalam asrama yang mayoritas anak-anaknya masih bersekolah di tingkat SMA. Fakta itu terkadang menjadikan Anjar sadar diri bahwa dia sudah cukup tua di antara anak-anak di asrama ini, meskipun masih ada Alicya yang memiliki usia lebih tua satu tahun di atasnya, tapi tetap saja dia asrama putra Anjar yang memiliki usia paling dewasa.
Hal itu menjadikannya untuk peduli dengan permasalahan antara anak-anak asrama, bukan hanya karena usianya saja, tapi karena Anjar memang senang jika keadaan di dalam asrama ini damai-damai saja maka dari itu dia berusaha melakukan yang terbaik agar anak-anak di dalam asrama merasa nyaman semuanya.