Sama seperti biasanya, hari ini Abima kembali menjadi salah satu dari sepuluh siswa yang selalu datang pertama dan sampai di kelas dengan selamat. Sudah menjadi langganan bagi Abima dan anak-anak yang lain untuk datang begitu pagi, bagi alasan anak-anak yang lain mungkin saja mereka ingin belajar lebih dulu atau mengerjakan tugas yang belum dikerjakan, atau bisa juga tidur di kelas lebih dahulu.
Tapi tidak dengan Abima.
Sejujurnya laki-laki itu tidak memiliki alasan khusus tentang mengapa dia ingin datang pagi ke sekolah. Tidak ada hal yang begitu penting hingga mengharuskannya datang sepagi ini, namun Abima tetap saja melakukannya dan sekarang dia sudah duduk di kursinya ketika jam baru menunjukkan pukul 6:50 pagi.
Datangnya terlalu cepat untuk bel yang baru berbunyi pukul 7:20, padahal waktu sebanyak itu masih bisa Abima pakai untuk bersantai saja di asramanya dan tidak perlu cepat-cepat sampai ke sekolah. Tidak ada hal khusus yang juga Abima lakukan ketika sampai di sini, semua hal dirinya lakukan secara beragam.
Terkadang Abima juga mengerjakan tugas lebih dulu karena tidak sempat mengerjakannya pada malam hari, terkadang Abima hanya diam sambil bermain ponselnya hingga bel masuk berbunyi, terkadang juga Abima sering tidur dulu di kelas seperti anak-anak normal lainnya. Tidak ada hal spesial, jadi datang pagi memang sudah menjadi kebiasaan saja yang tidak bisa Abima hapus dengan mudahnya.
Kecuali jika dia punya alasan untuk menetap di asrama lebih lama, mungkin alasan itu nantinya bisa menjadikan Abima untuk tidak berangkat sepagi ini lagi setiap harinya.
“Udah ngerjain pr bahasa belum?”
“Udah dong, semalam. Gue males banget soalnya ngerjain pagi ini, jadi kemarin gue selesain sekalian.”
“Bagus deh kalo gitu.”
Abima mendengarkan semua percakapan teman-temannya dalam diam, semua percakapan itu hanya masuk ke telinga kanannya dan kemudian akan keluar lagi di telinga kiri. Abima sekarang lebih memilih untuk fokus pada game yang sedang dia mainkan di ponselnya selagi menunggu waktu berlalu, begitu caranya membunuh waktu di hari ini.
Kebetulan sekarang juga hari senin, jadi Abima tidak mau ambil risiko dengan tertidur pagi namun nanti malah sulit bangun dan berakhir dihukum di tengah lapangan, sebab terkadang Galih bisa menjadi kurang ajar dengan sengaja mengerjainya. Terkadang sahabat sebangkunya itu tidak membangunkan Abima ketika tertidur di hari senin, padahal Abima sudah berpesan tapi Galih dengan sengaja tidak membangunkan hingga akhirnya Abima ketahuan oleh salah satu guru piket dan guru itu langsung menghukumnya untuk berdiri di lapangan hingga jam istirahat tiba.
Menyebalkan sekali memang, Galih bisa menjadi semenyebalkan itu jika sedang iseng dan Abima kesal sekali. Tapi, tak dapat dipungkiri bahwa hal-hal semacam itu juga nyatanya bisa menjadi sebuah kenangan yang bisa diingat di masa depan. Tidak akan menyenangkan jika memiliki kehidupan sekolah yang datar-datar saja, pasti akan lebih seru jika memiliki satu atau dua bahkan lebih pengalaman seru yang walaupun diingat sebenarnya bisa membuat malu.
Namun, berteman dengan Galih membuat Abima jadi bisa mendapatkan banyak sekali pengalaman seru. Ketika Galih terkena sebuah masalah, maka Abima bisa ikut terkena arusnya sebab sahabatnya itu memang seringkali membawa-bawa dirinya meskipun pada saat itu Abima tidak terlibat. Galih menyeretnya dengan alasan dia tidak mau dihukum sendirian, harus ada teman yang menemaninya.
Anehnya, Abima iyakan saja perkataan laki-laki itu dan pada akhirnya dia benar-benar ikut dihukum bersama laki-laki itu, padahal dirinya tidak membuat kesalahan apa pun. Aneh bukan? Iya, benar, memang aneh, tapi hal-hal semacam itu yang justru akan menjadi seru.
Selagi menunggu bel berbunyi, sepertinya akan lebih menyenangkan jika Abima bernostalgia sedikit tentang masa-masa menyenangkannya bersama Galih di sekolah ini. Pengalaman itu pasti akan lebih asik untuk diceritakan daripada laki-laki itu harus bermain game saja di ponselnya.
[FLASHBACK]
“Bim, temenin gue dong.”
“Gue janji ini terakhir kali, abis ini gue nggak akan mengulang kesalahan yang sama lagi.”
“Abima, ih, ayo dong temenin gue, masa lo nggak setia kawan sih?”
“Abima!”
Kelana Abimanyu mendengus keras-keras dengan tubuh yang bergoyang ke kanan dan ke kiri akibat gerakan yang dibuat oleh teman sebangkunya. Galih saat ini sedang menggoyangkan tubuh Abima untuk membuat perhatian sahabatnya itu jadi fokus kepadanya hingga mau mendengarkan semua ocehannya, dan jujur saja harus Abima akui bahwa laki-laki itu telah berhasil.
Kesabaran Abima yang sedari tadi sudah dia tahan sekarang telah benar-benar habis dan muncul keinginan untuk meninju wajah menyedihkan sahabatnya itu hingga dia berhenti mengganggu Abima seperti ini.
Namun, tentu saja Abima tidak akan melakukan hal itu, dia tidak akan tega bertengkar dengan sahabatnya sendiri.
“Abim—”
“Kenapa lagi sih, Galih?! Lo tuh seharian ini beneran berisik banget sampe gue cape dengarnya,” kata Abima, kentara sekali terdengar bahwa laki-laki itu sudah sangat frustrasi menghadapi sahabatnya tersebut.
Galih cemberut, ekspresinya masih sama sejak pertama kali dia mengganggu Abima hingga sekarang. “Temenin gue dihukum dong hari ini, gue lupa bawa tugas Fisika dan udah pasti Ibu Rena bakalan hukum gue. Tapi, gue nggak mau lari keliling lapangan sendirian soalnya di jam itu ada anak kelas sebelah lagi olahraga, gue malu kalo sendirian, jadi ayo dong Bim temenin gue, gue janji ini terakhir kalinya lupa bawa tugas dan besok-besok nggak akan kejadian lagi.”
Abima melepaskan secara paksa kedua tangan Galih yang masih memegangi masing-masing bahunya sembari merengek minta ditemani dan menggoyang-goyangkan tubuh Abima tanpa merasa bersalah sedikitpun. Abima sudah lelah, dia tidak mau hal seperti ini terjadi lagi.
“Sejak kemarin-kemarin juga lo udah ngomong hal yang sama. Senin lalu lo bilang nggak bakalan ngulangin lagi, tapi rabunya tetep diulangin, setelah itu lo ngomong lagi kalimat yang sama tapi pada akhirnya tetap aja lo ingkarin. Kalo gini terus lo nggak akan berubah-berubah, Galih. Lo akan tetap menyusahkan diri lo sendiri dan tentu saja menyusahkan gue!”
Siapa bilang persahabatan antara laki-laki itu tidak akan pernah bertemu dengan apa yang namanya bertengkar? Buktinya sekarang Abima sudah sangat marah kepada Galih dan dilihat dari bagaimana keduanya bicara saat ini sudah bisa dipastikan bahwa mereka sedang bertengkar.
“Tapi gue janji hari ini beneran terakhir! Kali ini gue beneran dan nggak akan bohong lagi! Gue bakalan malu banget kalo harus lari sendirian, mana di kelas sebelah ada perempuan yang gue suka!” Bibir Galih semakin maju lima centi. “Lo nggak kasihan apa sama sahabat lo ini? Ayo, dong, Bim ... temenin gue satu kali lagi ini aja, abis itu gue beneran janji nggak akan seret lo dalam masalah yang udah gue buat!” Dengan penuh keyakinan Galih berbicara kepada Abima, berharap hati sahabatnya itu luluh dan pada akhirnya jadi mau membantunya.
Galih tahu bahwa Abima pasti sudah mengerjakan tugasnya dan bersiap untuk mengumpul ketika pelajaran fisika berlangsung, maka dari itu Galih berusaha membuat Abima untuk tidak mengumpulkan tugasnya dan beralasan bukunya juga tertinggal agar mereka bisa dihukum bersama-sama dan dengan begitu Galih tidak perlu lari keliling lapangan sendirian.
Abima menghela napas panjang, laki-laki itu paling tidak bisa melihat orang terdekatnya berada dalam keadaan susah hingga wajahnya memelas seperti itu. Melihat dari bagaimana cara Galih berjanji juga membuat Abima pada akhirnya percaya karena ekspresi itu terlalu meyakinkan.
Pada akhirnya di hari itu, Abima benar-benar menemani Galih untuk dihukum dan yang menyebalkan adalah ternyata Galih tidak menepati ucapannya.
Galih kembali mengulang kesalahan yang sama pada hari-hari berikutnya dan tetap menyeret Abima dalam kesalahan yang sudah dia perbuat sendiri.
[FLASHBACK OFF]