Rocky meninggalkan kamar Ivy masih dengan perasaan marah, meski tidak lagi sebesar sebelumnya. Kemarahan yang begitu meluap membuat ia merasakan lelah luar biasa. Seumur hidupnya, Rocky belum pernah merasakan emosi seperti yang ia rasakan tadi saat melihat Ivy meliuk-liukkan tubuh di depan belasan pasang mata liar penuh nafsu.
Entah apa yang membuat Rocky melangkahkan kaki ke kamar tidurnya, namun sekarang di sinilah ia berada. Berbaring di atas tempat tidur dingin yang sudah hampir tujuh tahun tidak pernah ditempati lagi, sambil menatap langit-langit kamarnya. Cukup lama Rocky bertahan dalam posisi seperti itu sebelum akhirnya ia beranjak bangun lalu berdiri kaku di tengah kamar tidur. Ia memandang lurus ke arah cermin, menatap pantulan dirinya yang terlihat kacau. Barulah ia menyadari jika tangan kanannya penuh darah, dan tempat tidurnya pun sudah ikut bebercak merah. Meski tidak terasa menyakitkan, tetap saja luka itu harus ia bersihkan.
Ketika Rocky sedang membersihkan darah di tangan, ponselnya berdering. Ia melirik ponselnya dan melihat nama Aaron di layar. Meski heran, dijawabnya juga panggilan tersebut. “Hm?”
“Bukakan pintu untukku. Aku di bawah,” ujar Aaron tanpa basa-basi.
Rocky semakin dibuat heran oleh perkataan Aaron.
“Tunggu sebentar,” jawab Rocky datar. Setelah meletakkan kembali ponselnya, cepat-cepat Rocky membebat tangan dengan perban sebelum membukakan pintu untuk sahabatnya itu.
“Lama sekali,” gerutu Aaron ketika Rocky membuka pintu untuknya sekitar sepuluh menit kemudian.
Rocky tidak menanggapi komentar Aaron, ia sedang tidak ingin berdebat saat ini. “Ada apa ke sini?”
“Kau tidak mengajakku masuk?” sindir Aaron.
Rocky mendengkus kasar tapi menyingkir juga untuk memberi jalan bagi Aaron. Aaron tersenyum kecil lalu melenggang masuk, kemudian duduk dengan santai di sofa.
“Jadi, ada urusan apa kau ke sini?” tanya Rocky kejam.
Aaron terkekeh geli. Jelas ia tahu kalau suasana hati Rocky masih sangat buruk. Perlahan wajahnya berubah serius. “Aku khawatir.”
“Padaku?” Rocky menunjuk dirinya sendiri.
“Hm.”
“Untuk apa?” tanya Rocky antara kesal namun geli juga.
Aaron mengangkat bahunya, berusaha terlihat santai namun kesannya malah jadi mencurigakan. “Karena kau tidak juga meninggalkan kediamanmu.”
Rocky mengernyit. “Bagaimana kau tahu?”
Aaron menggaruk kepalanya sambil menghindari tatapan Rocky.
“Kau mengawasiku?” tanya Rocky curiga. Tingkah Aaron cukup menjadi jawaban bagi pertanyaan Rocky tadi.
“Sudah kubilang, aku khawatir padamu. Pada kalian.” Aaron berusaha mengelak dari tuduhan Rocky. Padahal yang sebenarnya, Aaron memang bisa mencari tahu keberadaan Rocky dengan mudah karena pria itu memang memiliki akses untuk memantau kamera keamanan yang ada di Verz, termasuk di sekitar kediaman Rocky juga. Sama seperti yang selama ini Aaron lakukan untuk membantu Rocky mengawasi kenakalan Ivy.
Setelah meninggalkan kediaman Rocky, Aaron langsung menuju markas besar dan menunggu di sana. Dikiranya Rocky akan datang ke sana, namun nyatanya tidak. Ia menanyakan keberadaan Rocky pada Javier, namun pria itu tidak ada juga di Riverside Point. Khawatir terjadi sesuatu yang buruk, Aaron langsung mencari keberadaan Rocky lewat kamera keamanan dan mendapati pria itu belum meninggalkan kediamannya sejak tadi.
Rocky mendengkus kasar. “Kau berlebihan.”
“Kau tidak biasanya seperti ini, dan kau tidak pernah semarah tadi,” ujar Aaron. Nada bicaranya benar-benar terdengar khawatir. Saat meninggalkan Rocky tadi, Aaron tidak bisa berhenti merasa cemas. “Dan kau juga tidak pernah bermalam lagi di sini sejak bertahun-tahun lalu.”
“Kau mau bilang kalau aku berlebihan pada Ivy?” tanya Rocky dingin.
“Tidak.” Aaron menggeleng cepat. Untuk kali ini ia bisa memahami kemarahan Rocky. “Aku tahu Ivy memang keterlaluan kali ini. Itulah sebabnya aku khawatir.”
Rocky diam saja, hanya terus memandangi Aaron dengan tatapan tajam.
“Astaga!” Aaron mengerang frustasi. “Berapa kali aku sudah bilang ‘khawatir’ dalam satu menit terakhir.”
Rocky masih tetap diam. Meski dalam hati ia geli juga melihat Aaron salah tingkah di hadapannya.
“Ayolah, jangan seperti ini! Kau membuatku gugup, Rocky. Jadilah Rocky yang biasa, oke?” bujuk Aaron.
“Memangnya seperti apa aku yang biasa?” balas Rocky berlagak bodoh.
“Sudah lupakan saja!” Aaron menggeleng cepat. “Kau mau di sini sampai pukul berapa?”
“Memangnya kenapa?”
“Biar kutemani,” usul Aaron.
Rocky langsung menolak cepat tawaran Aaron. “Pulang saja, nanti Zea khawatir.”
“Dia bahkan lebih khawatir padamu,” sahut Aaron geli. Kediaman Aaron adalah salah satu tempat yang paling sering Rocky kunjungi. Jadi wajar saja kalau Rocky akrab dengan Zea.
“Aku akan lama di sini.”
“Kau mau apa?” tanya Aaron curiga. “Kenapa tidak ikut saja bersamaku?”
“Kurasa aku harus berbicara serius dengan gadis itu.” Rocky sudah memikirkannya tadi, dan rasanya ia tidak bisa terus begini. Ia harus berbicara serius dengan gadis itu.
“Sekarang?! Di tengah malam seperti ini?!” seru Aaron tertahan.
“Jelas tidak, Bodoh!” omel Rocky sambil mendelik galak. “Itulah sebabnya kubilang aku akan lama.”
“Kau akan di sini sampai pagi?”
Rocky mengangkat bahunya. “Aku akan di sini sampai gadis itu bangun.”
“Berarti pagi.” Aaron bergumam menyimpulkan.
“Tergantung pukul berapa dia akan bangun. Bisa saja siang,” sahut Rocky sinis. Pekerjaan Ivy sebagai seorang pelatih capoeira memang tidak mengharuskan gadis itu untuk bangun pagi. Kesibukannya bahkan baru dimulai saat siang menjelang sore, sampai malam hari.
“Dan kau akan terus menunggu?” Aaron semakin sakit kepala memikirkan sahabatnya yang malam ini bertingkah sangat aneh. Ia sangat tahu seberapa besar keengganan Rocky untuk kembali ke kediamannya. Untuk sekadar berkunjung saja rasanya berat, apalagi untuk diam lama. Dan sekarang Rocky akan bertahan sepanjang malam bahkan sampai pagi. Memikirkannya saja terasa gila.
“Hm.” Rocky mengangguk tenang.
“Kau yakin dia tidak akan kabur diam-diam untuk menghindarimu?” ujar Aaron serius. Memikirkan betapa nekatnya gadis itu, bukan tidak mungkin Ivy akan melakukannya demi menghindari Rocky.
“Aku pastikan itu tidak akan terjadi,” sahut Rocky penuh tekad.
“Caranya?” Bukan Aaron ingin memancing kekesalan Rocky, ia hanya ingin mengingatkan. “Kau tahu secerdas apa Ivy.”
“Aku tahu senakal apa dia.” Rocky lebih suka mengakuinya sebagai kenakalan ketimbang kecerdasan, mengingat ulah gadis itu yang selalu berhasil membuatnya sakit kepala.
“Jadi?” tanya Aaron penasaran.
“Tidak perlu kuberitahu,” balas Rocky datar. Jika Aaron tahu apa yang akan ia lakukan, sahabatnya ini pasti akan menertawakan dan mengolok-oloknya.
“Jangan bilang …,” gumam Aaron sambil memicingkan mata, kemudian perlahan senyum jail tampak di wajah pria itu.
“Tutup mulutmu! Sudah pergi saja sana!” hardik Rocky kesal.
Ketika Rocky mengibaskan tangan, barulah Aaron melihat perban yang membalut tangan sahabatnya. “Kenapa tanganmu?”
“Bukan apa-apa.” Cepat-cepat Rocky menyembunyikannya lagi. Ia malas memberikan penjelasan pada Aaron.
“Seingatku tadi tidak ada.”
“Mungkin kau salah ingat,” balas Rocky cepat.
“Aku jelas tidak salah ingat. Saat kau membawakan kopi sore tadi, tanganmu masih mulus,” sindir Aaron.
Kalau seperti ini, Rocky tidak bisa mengelak lagi.
Melihat Rocky diam saja, Aaron kembali bertanya. “Kau menghajar sesuatu?”
“Cermin,” jawab Rocky akhirnya.
Mata Aaron melebar tidak percaya, namun ia memilih tidak berkomentar.
“Pulanglah, Zea pasti menunggumu,” ujar Rocky untuk mengalihkan pembicaraan.
Aaron mengangguk paham. Ia tahu Rocky tidak ingin membahas masalah ini dengannya. “Baiklah, kurasa aku memang harus pergi. Tapi berjanjilah untuk berbicara dengan kepala dingin pada Ivy nanti.”
Setelah mengantarkan Aaron keluar, Rocky kembali ke lantai atas. Tadinya ia ingin kembali ke kamarnya, namun langkahnya malah mengarah ke kamar Ivy. Perlahan ia membuka pintu kamar Ivy yang ternyata tidak terkunci. Rocky berjalan masuk dengan sangat hati-hati.
Ada perasaan bersalah yang tiba-tiba menghinggapi hatinya ketika melihat kamar Ivy berantakan akibat perbuatannya tadi. Barang-barang yang berjatuhan, pecahan kaca yang berserakan di lantai, semua masih persis sama seperti saat ia tinggalkan tadi. Ivy tidak membereskannya. Ketika Rocky mendekat ke tempat tidur, barulah ia menyadari kalau gadis itu bahkan tidak berganti pakaian. Ivy masih mengenakan pakaian tidak layak pakai yang digunakannya di pesta gila tadi.
Rocky menarik selimut untuk menutupi tubuh Ivy, lalu duduk di sisi tempat tidur. Diamatinya wajah gadis itu. Meski penerangan di kamar ini sangat minim karena Ivy tidak menyalakan lampu sama sekali, Rocky masih bisa melihat jejak air mata di wajah gadis itu. Sepertinya eyeliner yang Ivy gunakan sedikit luntur karena bercampur dengan air mata sehingga meninggalkan jejak hitam samar di sekitar pipi gadis itu. Mungkin saat Rocky meninggalkannya tadi, Ivy menangis di hingga tertidur. Memikirkan kemungkinan itu membuat Rocky semakin merasa bersalah.
Tanpa dapat dicegah, jemari Rocky bergerak menyentuh wajah Ivy. Tangannya bergerak ringan menyusuri kening Ivy, turun ke tulang pipi hingga dagu, lalu berhenti di sudut bibir gadis itu. Tiba-tiba Ivy bergerak dalam tidurnya. Cepat-cepat Rocky mengangkat tangan dan mengepalkannya, khawatir Ivy terbangun dan menyadari apa yang baru saja ia lakukan. Namun ternyata gadis itu hanya sedikit mengubah posisi tidur sementara matanya tetap terpejam.
“Saat terlelap seperti ini, wajahmu terlihat sangat manis. Sama sekali tidak terlihat seperti gadis pembuat onar,” bisik Rocky lirih. Ada kerinduan yang tidak dapat Rocky ungkapkan ketika melihat Ivy seperti ini.