"Terserah kau mau bilang apa! Tapi yang pasti kau memakai nama yang sama denganku. Jadi berhentilah bertingkah macam-macam selama kau masih memakai nama belakangku dan tinggal di kediamanku!" tandas Rocky dingin.
Rocky berhenti melangkah di depan lobi, tempat mobil Aaron sudah menunggu. Ia tidak peduli dengan tatapan heran para tamu dan staf hotel yang melihatnya membopong seorang gadis di pundak. Ditambah lagi gadis itu terus memaki dan meronta sejak tadi. Dibukanya dengan kasar pintu belakang mobil Aaron, kemudian menunduk cepat untuk memasukkan Ivy ke dalam.
"Kepalaku!” seru Ivy tertahan ketika kepalanya membentur langit-langit mobil Aaron saat Rocky memaksanya masuk dengan kasar.
“Menunduklah kalau sudah tahu akan terbentur,” ujar Rocky datar sambil mendorong tubuh Ivy.
“Aw!” Lagi-lagi Ivy berseru tertahan ketika kepalanya kembali membentur sesuatu yang lain, jendela mobil kali ini.
“Sudah?” tanya Aaron dari kursi pengemudi.
“Jalanlah!” sahut Rocky.
Aaron melirik dari spion dan tidak berkomentar sama sekali. Ia tahu Rocky sedang dalam kondisi sangat marah, dan lebih baik untuk tidak mengganggu sahabatnya itu. Melihat Rocky semurka ini merupakan pemandangan langka, karena biasanya pria itu adalah sosok paling ceria di antara mereka berempat. Hanya saat berhubungan dengan Ivy saja sosok Rocky bisa berubah sedrastis ini.
“Mau apa lagi?” tanya Ivy galak ketika Rocky beringsut mendekat ke sisinya.
Rocky melingkarkan lengannya di sekeliling tubuh Ivy untuk mengunci pergerakan gadis itu, lalu dengan santai menjawab, “menahanmu agar tidak coba-coba melarikan diri.”
Rocky tidak berlebihan. Ivy memang bisa jadi sangat nekat dalam situasi terdesak. Bukan tidak mungkin gadis itu akan melompat keluar meski mobil sedang melaju kencang.
Aaron menggeleng tidak percaya menyaksikan kelakuan Rocky dan Ivy. Sudah bukan hal asing bagi ketiga sahabat Rocky melihat pemandangan semacam ini. Sudah sejak belasan tahun yang lalu tepatnya. Inginnya ia diam saja, tapi terpaksa Aaron harus bertanya juga. “Kau ingin kuantar ke mana?”
“Kediamanku saja,” balas Rocky singkat.
“Oke,” balas Aaron tanpa berkomentar sama sekali. Saat menyampaikan informasi mengejutkan mengenai keberadaan Ivy pada Rocky, Aaron sudah tahu akan seperti ini kira-kira akhirnya.
Perjalanan menuju kediaman Rocky terasa hening dan panjang. Setelah hampir 40 menit, mobil Aaron memasuki kediaman Rocky. Diam-diam Rocky memandangi kediamannya dengan rasa rindu. Rumah masa kecil yang selalu ia jaga namun tidak pernah ditempatinya lagi. Rumah sederhana yang ia pugar tahap demi tahap hingga berubah menjadi tempat tinggal yang megah. Tempat yang akan selalu ia pertahankan karena menyimpan sedemikian banyak kenangan indah masa kecilnya bersama ayah, ibu, dan adik kecilnya yang manis.
“Aku turun. Terima kasih tumpangannya,” ujar Rocky begitu mobil Aaron berhenti.
“Kau tidak ikut bersamaku?” tanya Aaron heran. Setahunya, Rocky tidak pernah mau lagi tidur di tempat ini sejak bertahun-tahun yang lalu.
“Nanti aku menyusul. Sekarang ada hal yang perlu kuselesaikan dulu di sini,” sahut Rocky cepat.
“Kenapa tidak ikut saja dengan Aaron?” sindir Ivy.
“Diam sajalah! Tidak perlu bicara apa-apa.” Rocky melompat turun dari mobil Aaron, kemudian berbalik cepat dan menjangkau ke dalam.
“Mau apa?” tanya Ivy sambil berusaha menghindari tangan Rocky.
Rocky tidak memedulikan pertanyaan Ivy. Disambarnya pinggang Ivy lalu menarik gadis itu keluar dengan kasar.
“HEI!” teriak Ivy ketika dalam sekejap dirinya kembali berada di atas bahu Rocky, sama seperti tadi saat meninggalkan kamar hotel. “Kau sudah gila, apa?!”
Rocky sama sekali tidak mengindahkan jerit protes Ivy, ia hanya terus berjalan memasuki kediamannya, melangkah cepat menuju satu tempat. Kamar tidur Ivy.
Ditendangnya pintu kamar gadis itu, melangkah cepat menuju tempat tidur, kemudian melempar tubuh Ivy ke atas sana.
“Aw!” jerit Ivy terkejut.
Dan untuk melampiaskan kemarahan yang sudah menggunung, Rocky membanting semua barang di kamar Ivy yang berada dalam jangkauannya. Pertama lampu tidur, kemudian beker, pajangan, vas bunga, dan terakhir, ia meninju cermin hingga pecah berderai ke lantai.
Ivy terdiam kaku di atas tempat tidur, menatap ngeri pada sosok kalem yang tiba-tiba berubah brutal. Belum pernah dilihatnya Rocky sampai semarah ini padanya. Bahkan sejak menyeretnya keluar dari kamar hotel, Rocky memperlakukannya dengan cukup kasar. Padahal sepanjang 21 tahun Ivy mengenal Rocky, pria yang berusia sepuluh tahun lebih tua darinya itu tidak pernah memperlakukannya dengan kasar. Galak memang sering, namun kasar tidak pernah. Mungkinkah kali ini ia memang sudah keterlaluan?
“Katakan padaku apa maumu?!” tanya Rocky dengan suara menggelegar ketika amarahnya mulai bisa ia kendalikan. Rocky memilih melampiaskannya pada barang-barang ketimbang ia kehilangan kendali dan menyakiti tubuh Ivy. Semarah-marahnya Rocky, ia tidak akan pernah melayangkan tangannya pada gadis itu. “Kenapa kau sulit sekali diatur?!”
Namun bukan Ivy jika ia gentar menghadapi kemarahan Rocky. Bukannya meminta maaf, ia malah balas menantang. “Apa hakmu mengaturku?”
“Tidak perlu membahas hal ini lagi! Berhenti berlagak tidak tahu!” hardik Rocky.
“Oke! Tapi aku sudah dewasa sekarang, dan aku berhak melakukan apa saja yang aku suka,” bantah Ivy.
“Tidakkah kau sadar betapa bahayanya pergaulanmu saat ini?” Tanpa sadar tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya.
Ketika Rocky mengangkat tangannya, barulah Ivy melihat darah yang cukup banyak mengalir di tangan pria itu. Ada sedikit rasa khawatir yang menyelinap di hati Ivy, namun ia tidak bisa menunjukkannya. Tapi tanpa sadar, sikapnya sedikit melunak. “Aku bisa menjaga diri.”
“Tidakkah kau ingat akhir hidup ibumu?” Suara Rocky kini juga terdengar sudah lebih terkendali. Perlahan Rocky terduduk di lantai, bersandar pada dinding dengan posisi berseberangan dari Ivy. Kemarahan yang tadi begitu meledak-ledak, berangsur mereda dan berganti kesedihan. “Apa kau ingin memilih jalan yang sama dengan dia?”
Ivy tersenyum sumbang. “Memangnya kenapa kalau aku juga akan berakhir seperti dia?”
“Aku ….” Lidahnya kelu. Rocky tidak bisa menuntaskan jawabannya. “Sudahlah!”
Sulit sekali membuat Ivy mengerti kalau ia hanya memikirkan kebaikan gadis itu. Rocky terlalu peduli padanya, hingga ia tidak ingin hal buruk menimpa Ivy. Hanya itu. Namun sikap Ivy yang selalu menentang dan melawan membuat Rocky habis akal.
“Jangan sampai aku melihatmu dalam situasi seperti tadi lagi. Aku tidak yakin kali berikutnya masih akan sanggup mengendalikan diri. Entah mereka yang akan kuhabisi, atau kau,” ujarnya sungguh-sungguh. Jika tidak ingat akan janji mereka berempat untuk tidak pernah lagi melenyapkan nyawa orang lain, ingin rasanya Rocky membantai kelima belas pria yang terlihat bersama Ivy tadi.
“Kumohon, berhentilah mencampuri urusanku, Rocky,” pinta Ivy. Ia sudah lelah terus berusaha menghindar dan keluar dari bayang-bayang Rocky sepanjang hidupnya. “Urus sajalah hidupmu sendiri.”
Rocky langsung menggeleng sebagai jawaban. Ia juga sama lelahnya seperti Ivy. Lelah menjaga Ivy yang selalu membangkang dan memusuhinya. Rocky bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu kamar Ivy, sebelum meninggalkan gadis itu ia berujar, “kelak saat kau menikah nanti dan tidak lagi memakai nama belakang yang sama denganku, aku akan berhenti mengganggu hidupmu.”
***