Arum mengangkat cangkir kopinya dan mencoba menenangkan diri. Rasa hangat dari kopi itu tidak mampu mengusir dinginnya perasaan di dalam hatinya. Di hadapannya, Taylor duduk dengan angkuh, menyeringai puas. Wanita itu memainkan rambut pirangnya yang rapi, seolah sedang menikmati pertunjukan pribadi. "Jadi, bagaimana rasanya?" tanya Taylor dengan nada mengejek, matanya berbinar penuh kejahatan. "Dikhianati oleh putri yang kau rawat dan cintai seperti hidupmu sendiri? Rasanya pasti sangat menyakitkan, bukan?" Arum mengepalkan tangan di bawah meja, mencoba menahan diri agar tidak meluapkan amarahnya. Nafasnya mulai berat, dan matanya menatap Taylor tajam. "Aku tidak punya waktu untuk mendengar ocehanmu. Jika kau tidak punya hal penting untuk dibicarakan, lebih baik kau pergi." Taylor