Briana kembali datang ke rumah sakit jiwa, berjalan perlahan di sepanjang lorong yang terasa begitu sunyi. Aroma khas rumah sakit dan suara langkahnya menggema di sepanjang lantai ubin putih yang mengkilap. Dia berhenti di depan sebuah ruangan yang dipisahkan oleh dinding kaca besar. Di dalamnya, Arum duduk di lantai, memeluk boneka lusuh yang warnanya sudah memudar. Jantung Briana mencelos melihat kondisi wanita yang selama ini ia panggil ‘Mama’. Arum tampak jauh lebih kurus daripada terakhir kali Briana melihatnya. Rambutnya berantakan, matanya kosong, dan tangannya yang dulu begitu kuat kini tampak lemah dan gemetar. Tapi bibirnya masih bergerak, terus-menerus menggumamkan sesuatu yang tidak jelas. Briana menarik napas dalam, mencoba menguatkan dirinya sebelum melangkah lebih deka