Briana semakin lemas. Tubuhnya sudah tak sanggup menahan rasa sakit yang terus-menerus diderita. Pandangannya kabur, tetapi ia masih bisa melihat sosok Arum yang berdiri di depannya, memandangnya dengan tatapan penuh kebencian. Darah mengalir dari luka di tangannya. Pisau kecil di genggaman Arum masih meneteskan cairan merah, seolah menjadi saksi bisu betapa kejamnya wanita itu terhadapnya. "Aku sudah bilang, Briana," suara Arum dingin, menusuk hingga ke tulang. "Kau harus mati." Briana menggeleng pelan, air matanya tak lagi bisa terbendung. "Ma... Mama... aku mohon... maafkan aku..." suaranya hampir tak terdengar. PLAK! Arum menampar wajah Briana dengan keras, membuat kepala gadis itu terhentak ke samping. Rasa perih menjalar di kulit pipinya yang sudah lebam. "Tutup mul