Kia berjalan di sepanjang koridor dengan diapit Sasha dan Vicky. Wajahnya tertunduk. Mahasiswa-mahasiswa lainnya menatapnya dengan sinis. Selentingan bisik-bisik terdengar, makian “pelakor” tak terelakan. Kia menyesali perbuatan gegabahnya yang telah menyebar fotonya dan Liam. Dia tak menyangka efeknya bisa sedahsyat ini. Rasanya dia sudah tidak punya muka lagi, seakan setiap penjuru meneriakkan “pelakor” padanya dan tak ada lagi respek dari teman-temannya.
Hari ini Kia menghadap pak Dekan juga Liam untuk meminta maaf. Hatinya semakin berdebar tak menentu saat dia duduk di hadapan pak Dekan dan Liam. Wajahnya tertunduk lesu, tak berani menatap keduanya.
“Saya minta maaf karena telah berbuat salah. Foto-foto itu hasil jebakan saya. Antara saya dan pak Liam tidak ada hubungan apapun.” Kia menitikkan air mata.
“Bapak sangat menyayangkan sikap kamu. Kamu ini termasuk mahasisiwi yang pintar. IPK kamu dari semestar awal hingga sekarang selalu menakjubkan. Kenapa bisa berpikir untuk berbuat seperti ini?” Pak Dekan menatap Kia dengan raut wajah yang melukiskan kekecewaan yang begitu besar.
Kia agak gelagapan. Ia melirik Liam sejenak, sedang Liam memandang ke arah lain. Ekspresi wajahnya terlihat datar.
“Saya...saya...saya menyukai pak Liam.Tapi pak Liam menolak saya. Karena itu saya nekat menjebakknya.”
Pak Dekan geleng-geleng kepala, “astaghfirullah. Bapak heran ama gadis jaman now. Doyannya ama yang udah beristri. Kamu itu masih muda Kia, cantik dan punya potensi. Carilah laki-laki yang single, jangan jadi perusak rumahtangga orang.”
Kia terdiam.
“Sebaiknya kamu meminta maaf juga lewat radio kampus dan i********: serta fanpage fakultas. Seluruh warga kampus sudah terlanjur menuduh pak Liam selingkuh. Nama baik fakultas dan universitas kita juga sempat tercoreng gara-gara kelakuanmu.”
“Baik pak.” Balas Kia sambil menganggukkan kepala.
“Bapak sebenarnya ingin memberi kamu sanksi. Cuma karena kamu lagi skripsi, bapak nggak akan ngasih sanksi akademis. Dari perbuatan kamu rasanya kamu juga sudah menerima sanksi sosial yang cukup berat. Bapak akan memanggil orangtuamu dan meminta mereka untuk lebih mengawasimu. Mungkin karena kamu kost, jauh dari orangtua, makanya kamu bisa lepas kendali.” Lanjut pak Dekan dengan tatapan gahar.
“Dia itu bukan anak-anak pak. Tanpa pengawasan orangtua sekalipun harusnya dia bisa berpikir, mana yang baik, mana yang nggak. Memang sudah karakternya seperti itu. Kalau kamu nggak bisa merubah sifatmu, dimana-mana kamu akan selalu membawa masalah.” Liam menatap Kia tajam. Dia begitu kecewa. Seandainya yang sedang dia hadapi ini bukan perempuan, mungkin Liam sudah kehilangan kontrol untuk meninjunya.
Kia lagi-lagi hanya tertunduk. Dia tak berani menatap balik Liam.
“Ya sudah sekarang kamu keluar dan buat permintaan maaf lewat radio kampus, i********: serta fanpage di facebook.”
Kia mengangguk, “baik pak.”
Kia menuruti semua persyaratan maaf yang diajukan pak Dekan. Dia membuat permintaan maaf lewat radio, i********: dan fanpage di f*******:. Kia pikir masalah selesai dengan meminta maaf, ternyata ini seolah menjadi awal kehancurannya. Banyak mahasiswa yang membullynya, menyebutnya jahat, tak tahu malu, bahkan sakit jiwa. Cemooh di dunia maya pun tak terhindarkan. Kia stres, tertekan dan sedari tadi hanya bisa menangis sesenggukan. Hanya Sasha dan Vicky yang masih setia menemaninya. Apalagi jika teringat permasalahan barunya dengan Kris, pikirannya semakin kalut.
“Sudah Kia, tenang...Jangan nangis terus donk.” Sasha mengusap kepala Kia.
“Gue harus gimana sekarang? Kalau kayak gini gue jadi males ke kampus. Belum lagi foto-foto itu masih ada pada Kris. Gue mesti mastiin jejak foto-foto itu udah dilenyapkan semuanya. Gue takut foto-fotonya bakal disalahgunakan ama dia, disebarin.” Kia menekan pelipisnya. Dia tak bisa berpikir jernih.
“Lo mesti temui Kris. Bilang kalau lo udah minta maaf di publik. Minta dia buat ngilangin semua file foto dan videonya. Dan satu lagi minta kepastian dia tentang apa yang sebenarnya terjadi antara lo dan Kris malam itu.” Vicky menegaskan kata-katanya.
“Gue nggak tahu alamatnya.” Tukas Kia dengan nada frustasi.
“Astaga naga.. Lo abis dilecehkan ama tuh cowok dan lo biarin dia pergi gitu aja. Harusnya lo minta tuh KTPnya, buat jaminan biar dia nggak kabur. Atau seenggaknya minta nomer Hpnya. Kalau kayak gini mau minta tanggungjawab kemana. Sumpah ya Kia, akademis lo cerdas tapi dalam hal lain lo begitu oon.” Sasha tak tahan akhirnya. Kata-kata yang cukup pedas ini membuat Kia semakin terisak.
“Sasha jangan frontal gitu. Saat ini Kia tuh butuh support. Gue mau minta alamat Kris ke pak Liam. Pak Liam pasti tahu.” Vicky beranjak. Tanpa menunggu tanggapan dari kedua temannya, dia melangkah menuju ruangan Liam.
Vicky berdiri di depan pintu dan mengetuknya.
“Ya masuk.” Terdengar sahutan dari dalam.
Vicky membuka pintu. Liam sedikit terperanjat melihat Vicky menemuinya.
“Ada perlu apa ya? Silakan duduk.” Liam mempersilakan Vicky untuk duduk.
Vicky mengatur kestabilan napasnya. Dia cukup gugup juga. Dia harus berani menanyakan alamat Kris demi kebaikan sahabatnya.
“Maaf pak. Bapak kenal Kris? Kalau boleh, saya ingin meminta alamat Kris.”
Serangkaian praduga menari-nari di kepala Liam. Ia menduga Vicky menanyakan Kris pasti ada hubungannya dengan Kia. Liam sendiri tak tahu apa yang dilakukan Kris hingga bisa membuat Kia bertekuk lutut menuruti permintaannya.
“Kris itu kakak saya. Ada perlu apa kamu nanya alamatnya?”
Vicky kaget juga mendengar penuturan Liam barusan. Kris adalah kakak Liam?
“Ini untuk kepentingan Kia. Kia baru saja dilecehkan Kris. Karena itu Kia ingin menemui Kris untuk meminta pertanggungjawaban.”
Liam mendelik. Dia begitu shock.
“Apa? Yang benar saja...” Liam langsung mengeluarkan smartphonenya dan menelpon Kris.
“Liam ada apa? Permasalahanmu udah beres kan? Kia udah minta maaf kan?”
“Kris, gue berterimakasih atas bantuan lo. Cuma gue pingin tahu apa yang udah lo lakuin ke Kia? Temennya menemui gue dan nanya alamat lo. Dia bilang lo habis melecehkan Kia.”
Vicky menyimak perbincangan Liam dan Kris di telpon. Sayangnya Liam tidak mengaktifkan speakernya jadi Vicky tak bisa mendengar apa yang dikatakan Kris.
“Nanti gue jelasin semuanya Liam. Nggak enak ngobrol di telpon. Kasih aja alamat kantor. Gue mau lanjut rapat. Udah dulu ya.”
Tut tut tut...
Liam masih belum mendapat kepastian dari Kris. Tapi ia percaya Kris tak akan mengulang kesalahan yang sama.
“Baiklah, saya akan kasih alamat kantor Kris.” Balas Liam.
******
Suara telepon di meja membuyarkan konsentrasi Kris yang tengah membaca notulen hasil rapat hari ini. Kris mengangkat gagang telpon dan menempelkan di telinganya.
“Halo Helen ada apa?”
“Ada perempuan ingin ketemu bapak. Tapi sebelumnya nggak ada appointment apapun.”
“Siapa namanya?”
“Ehmm.” Terdengar keraguan dari suara Helen.
“Tanyakan siapa namanya.” Ucap Kris lagi.
“Katanya, calon pembunuh bapak.”
Kris terkekeh. Dia sudah menduga pasti Kia yang datang.
“Suruh dia masuk.”
“Tapi pak, dia nggak sopan. Dia bilang akan membunuh bapak. Bahkan tadi sempat bertengkar dengan security di sini.”
“Biarin aja dia masuk. Dia nggak berbahaya kok. Dia hanya patah hati sama saya. Izinkan dia masuk.” Kris meletakkan kembali gagang telpon di tempatnya. Rasanya tak sabar ingin melihat apa yang dibawa Kia untuk membunuhnya.
Kia masuk ke dalam ruangan Kris tanpa mengetuk pintu dan berjalan dengan angkuhnya. Kris masih duduk dengan santainya dan melirik Kia lalu menatapnya menelisik dari ujung kepala sampai kaki.
“Silakan duduk.” Ucap Kris datar.
“Aku nggak mau duduk. Aku udah menuhi permitaan kamu, jadi sekarang aku minta kamu hapus foto-foto dan rekaman kita. Semuanya.”
Kris menyukai nada bicara Kia yang begitu angkuh.
“Untuk apa dihapus? Kalau di lain waktu kamu berulah lagi, aku nggak repot-repot lagi ngajak kamu ke hotel kan?” Balas Kris dengan santainya.
Kia semakin kesal. Telapak tangannya mengepal saking kesalnya.
“Dasar licik, culas. Tak berperikemanusiaan.” Kia menendang kaki meja dan membuat Kris terhenyak.
“Kita sama berarti. Licik, culas dan tidak berperikemanusiaan. Kamu juga melakukan kejahatan pada Liam.” Kris masih saja santai menghadapi Kia dan membuat gadis itu gregetan sendiri.
“Katakan padaku apa yang kamu lakuin malam itu. Aku pingin tahu kejadian yang sebenarnya.” Kia meninggikan intonasi suaranya.
“Apa perlu aku jawab? Kamu sudah tahu jawabannya.” Jawab Kris dengan tatapan mautnya. Kia semakin jengah mendengarnya.
“Aku nggak bisa nyimpulin jawabannya makanya aku pingin tahu.” Kia mengeraskan volume suaranya.
“Kenapa kamu meribetkan hal seperti ini?”
“Ribet? Ini memang hal yang teramat ribet dan rumit buat aku. Aku perlu tahu semuanya. Aku nggak akan tenang kalau aku belum tahu kejadian yang sebenarnya. Ini soal masa depanku. Tentu saja buat kamu mungkin nggak penting. Tapi buat aku penting.”
Kris terkekeh. Dia beranjak dan melangkah lebih dekat pada Kia.
“Penting? Masa depan?” Kris mengernyitkan alisnya.
“Buat perempuan kesucian itu adalah masa depannya, harga dirinya, hidupnya. Kamu mana tahu soal itu. Kamu biasa tidur dengan siapapun tanpa peduli perasaan perempuan yang sudah kamu hancurkan. Aku nggak bisa terima Kris. Sampai kapanpun aku nggak bisa terima.”
“Kamu nggak usah berlagak suci. Kamu juga biasa mempermainkan laki-laki kan? Anggap aja apa yang terjadi antar kita adalah balasan untuk perbuatan jahatmu.”
Kia semakin kalap. Dia memberantakan meja Kris dengan melemparkan dokumen-dokumen dan alat-alat tulis yang tertata rapi. Kris melongo melihat ulah Kia yang super nekat. Tak puas memberantakan meja, Kia membuka lemari dan mengambil buku-buku serta dokumen yang ada di dalam dan melemparnya serampangan. Kris mendekat pada Kia dan meraih kedua tangannya.
“Cukup Kia. Jangan memberantakan ruanganku lagi.”
Kia memberontak. Dia menggerakkan tangannya untuk melepaskan diri dari cengkeraman Kris namun cengkeraman itu begitu kuat. Tenaga Kia tak sanggup menandingi tenaga Kris.
Kris mendorong tubuh Kia hingga menghimpit tembok. Tangan Kia masih ada dalam genggamannya dan ia kunci kuat-kuat dengan menekannya di dinding.
“Jangan macam-macam Kia. Aku bisa berbuat lebih jahat dari kemarin.”
Kia menatap wajah Kris yang sudah begitu dekat padanya. Hembusan napas Kris menyapu wajahnya. Sejenak mata mereka beradu dan napas Kia masih belum stabil karena gejolak amarah yang tak terkontrol.
Air mata Kia mengalir tanpa bisa dicegah. Kia menangis sesenggukan dan membuat Kris kebingungan.
“Berhentilah menangis Kia.”
Kia tak menghiraukan ucapan Kris. Dia masih saja terisak, bahkan suara tangisnya makin keras. Kris takut tangis Kia akan terdengar sampai ke luar dan menarik perhatian orang. Secepat kilat Kris mencium bibir Kia untuk menghentikan tangisnya. Kia terdiam sesaat. Dia kaget luar biasa dengan ciuman Kris yang tiba-tiba mendarat di bibirnya. Saking kagetnya, dia hanya bisa membeku dan tak berkutik. Setelah menyadari apa yang terjadi Kia mendorong tubuh Kris kuat-kuat.
“Kurangajar kau. Cari-cari kesempatan.” Kia membulatkan matanya.
“Kita udah pernah ciuaman sebelumnya. Rasanya tak masalah kalau diulang.” Jawab Kris dengan santainya.
Kia menganga, “waktu itu aku nglakuinnya dalam keadaan nggak sadar.”
“Makanya kita ulang adegannya di saat kamu sadar, biar kamu bisa ngrasain dengan sadar.”
Kia semakin kesal, “dasar playboy.”
Kris menyeringai, “playboy dan playgirl pasangan yang serasi kan?”
Kia semakin geram, “aku beda ama kamu. Aku nggak sembarangan ciuman ama orang apalagi tidur ama sembarang orang.”
“Terus yang kemarin apa? Ciuman ama orang yang baru dikenal dan bobo bareng juga.”
Kia ingin sekali memukul wajah Kris. Ia kepalkan tangannya kuat-kuat.
“Foto-foto dan rekaman itu akan aku hapus. Tapi tolong jangan ngamuk-ngamuk lagi di ruanganku.” Perkataan Kris membuat Kia sedikit lega.
“Kalau udah nggak ada kepentingan sebaiknya kamu pulang aja. Mau aku antar? Mumpung aku bebas.”
Krystal terpekur sesaat, “masih ada hal yang ingin aku tahu. Sebenarnya malam itu apa yang terjadi? Kenapa waktu aku browsing artikel, aku nggak ngalami satupun dari tanda-tanda itu. Sedang kamu selalu bersikap seolah-olah memang terjadi sesuatu malam itu.”
Kris mengernyitkan dahinya, “browsing artikel? Artikel apa? Apa hubungannya dengan malam itu?”
Kia mengalihkan wajahnya ke arah lain, “aku browsing tentang what does it feel when a woman has s*x for the first time.”
Kris menganga sepersekian detik, “what? That means you have never had s*x before?”
Kia memicingkan matanya, “kalau memang malam itu benar-benar ada sesuatu antara kita harusnya kamu nggak perlu nanyain ini kan? Tentu kamu bisa tahu aku udah pernah melakukannya atau belum.” Kia memutar matanya, “oh aku tahu sekarang. Kemarin itu nggak terjadi apa-apa kan? Kamu nggak nidurin aku kan?”
Bibir Kris mengatup. Sebenarnya dia ingin menutupi hal ini lebih lama. Tapi dia keceplosan. Sekarang Kia telah tahu bahwa malam itu memang tak terjadi apa-apa antar mereka.
“Kenapa kamu berpura-pura seolah-olah kita telah berbuat sesuatu? Kamu sengaja ingin membuatku stres, tertekan?”
Kris terdiam, tak membalas apapun. Kia merasa lega dan bersyukur malam itu tidak terjadi apa-apa. Tapi tetap saja Kris sudah mencuri banyak darinya. Ciuman, pelukan, kiss mark dan melihatnya tanpa pakaian? Kia tetap tak bisa menerimanya.
“Tapi tetap saja kamu udah mencari kesempatan buat grepe-grepe.” Ujar Kia ketus.
“Cuma dikit kok.” Balas Kris singkat.
Kia semakin jengkel melihat ekspresi wajah Kris yang seolah sama sekali tak merasa bersalah. Padahal apa yang dilakukan Kris sudah sangat merendahkan harga diri Kia. Gadis itu bertekad tak akan pernah berurusan dan bertemu lagi dengan laki-laki b******k bernama Kris.
“Aku pulang.” Kia berjalan menuju pintu.
“Apa perlu aku antar?” Tanya Kris sambil menatap langkah Kia yang menjauh.
Kia menoleh dengan raut wajah yang masih jutek, “nggak.” Seketika ia keluar dan membanting pintu keras-keras, mengeluarkan suara yang begitu memekakan.
Kris tertegun. Di matanya Kia sangat menarik. Namun sesaat ia teringat Stella. Ia harus menunggunya sampai Stella sembuh dan ia tak tahu kapan waktunya. Sementara ketertarikannya pada Kia mengalir tanpa bisa dicegah.