Liam’s POV
Kupandangi pintu rumahku dengan tatapan nanar dan perasaan sedikit resah. Ami dan aku memang sudah tak lagi saling mendiamkan, namun kami belum benar-benar bisa lepas. Seperti ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Ami. Aku paham benar, kata maaf itu seringkali lebih mudah untuk diucapkan dibanding dituliskan di dalam hati.
Aku mengucap salam dan melangkah masuk. Terdengar jawaban salam dari dalam. Kulihat Ami menuruni tangga. Kamu saling menatap. Ada banyak kata yang ingin kuucapkan padanya, namun aku hanya bisa mematung, memandanginya dengan pakaian kasualnya. Kaos oblong dan celana pendek. Apapun yang ia kenakan bahkan ketika dia tak mengenakan apapun, dia tetap menawan di mataku. Lidahku serasa kelu.
Ami berjalan mendekat kepadaku.
“Callista dimana?” Tanyaku tuk memecah kebekuan.
“Callista diajak Kris. Kris minta izin membawanya menginap di rumah ayah ibu. Ayah ibu juga mengizinkan. Aku memaklumi, Kris juga ingin menghabiskan waktu bersama putrinya. Kamu nggak keberatan kan Callista menginap di sana?”
Aku mengangguk, “tentu aku nggak keberatan. Malah aku senang karena ayah ibu perlahan sudah mulai menerima kehadiran baby Cal di sana, meski cuma menginap semalam.”
Tanpa kuduga, tiba-tiba Ami memelukku, membuat perasaanku hangat seketika.
“Ami, ada apa?” Tanyaku seraya mengusap rambutnya.
Ami melepaskan pelukannya dan menatapku.
“Aku sudah tahu kebenarannya Liam. Kamu nggak pernah punya affair dengan Kia. Kris menceritakan semuanya. Dan aku juga udah membaca permohonan maaf Kia di i********:. Aku minta maaf karena sempat termakan berita nggak benar itu.”
Aku tersenyum. Hatiku begitu bahagia mendengarnya. Lega rasanya akhirya my princess kembali memercayaiku sepenuhnya. Kutangkup kedua pipinya dan kuberikan ciuman lembut di bibirnya.
“Makasih Mi. Aku seneng banget kamu udah percaya lagi sama aku.”
“Ya udah kamu mandi dulu. Aku mau masak untuk makan malam.” Ami melukis senyum yang begitu manis. Rasanya sudah lama aku tak melihat senyum semanis ini.
Aku mengangguk. Sebelum menaiki tangga, kucium dia sekali lagi. Ami berusaha melepaskan diri kala kucoba untuk menciumnya lebih dalam.
“Udah Liam...Kamu mandi dulu gih. Keburu Maghrib entar. Gampang kalau mau lanjut, ntar malam aja.” Ami mengusap pipiku dan mengedipkan sebelah matanya.
“Abis aku kangen banget ama kamu Mi. Udah berapa hari coba kamu nggak ngasih aku ciuman, nggak kasih aku jatah juga.” Tanganku belum lepas dari pelukanku di pinggangnya.
Ami tersenyum, “aku juga kangen ama kamu Liam.”
Kucium pipi kanannya menurun ke lehernya.
“Liam...udah dibilangin mandi dulu sanaaaa...” Ami menepuk-nepuk bahuku.
“Iya iya...Aku minta lulurmu ya. Aku mau luluran, biar wangi, biar kamu makin klepek-klepek ama aku.” Kukedipkan mataku.
Ami tertawa, “tumben kamu minta luluran.”
Aku tersenyum, “iya biar nanti lebih maksimal, bikin kamu makin lengket ama aku karena wangi.”
Ami tertawa lagi, “ya udah sana cepet mandi.”
Aku segera menaiki tangga. Rasanya ingin kuputar waktu agar berjalan lebih cepat. Tak sabar rasanya mendapat vitamin tambahan dari Ami.
******
Malam ini udara terasa lebih dingin. Mendukung banget untuk bermesraan dengan Ami. Sedari tadi Ami begitu lama di kamar mandi, entah apa yang sedang ia lakukan. Pintu kamar mandi terbuka, kulirik Ami yang melangkah keluar dari kamar mandi dengan balutan lingerie yang wow... Rasanya speechless. Lingerie itu begitu seksi dengan belahan d**a yang rendah, rok yang super pendek dan bagian punggungnya terbuka. Aku menganga dan mata ini serasa tak bisa berkedip.
Ami berjalan ke arahku dan aku masih diam seribu bahasa.
“Kenapa diam aja Liam?” Ami seakan menantangku untuk melakukan sesuatu.
Aku mengusap wajahnya. Kutelusuri pipinya dengan jari-jariku. Kudekatkan wajahku padanya. Rasanya masih saja mendebarkan.
“Boleh aku cium nggak?” Bisikku di telinganya.
“Kenapa mesti minta izin? Biasanya langsung nyosor.”
Aku tertawa kecil, “soalnya kemarin-kemarin kamu abis marahan, kali aja izinnya dipersulit.”
Ami tertawa lagi, “ya nggaklah. Aku tahu kamu tuh sangat menginginkan hal ini kan?”
“Iya lah. Rasanya lemes nggak dikasih vitamin tambahan ama kamu.”
Ami tertawa kecil. Dia menggigit bibir bawahnya seolah sudah tak sabar untuk bersiap menerima ciumanku.
Kucium bibir Ami begitu lembut sebelum akhirnya kejujejalkan seluruh bibirku dan menyesap bibir manis Ami dalam-dalam hingga suara saling berdecap memenuhi seisi ruang. Tanganku mulai bergerilya menyentuh apa saja yang bisa disentuh. Sepertinya Ami sudah lemas dan tak berdaya menerima seranganku. Langsung saja kubopong tubuhnya dan kuhempaskan di ranjang. Rasanya aku tak pernah puas untuk menciumnya. Kembali kuciumi seluruh wajah Ami. Aku suka sekali mendengar desahan Ami kala kukecup sepanjang lehernya.
Mata kami beradu sejenak. Ami menatapku begitu dalam seakan aku melihat ada oase di mata beningnya. Begitu meneduhkan. Kami saling mengatur napas kami yang saling berkejaran.
“Sayang...siap?” Ekspresi wajahku mungkin sudah terlihat penuh gairah.
Ami tak menjawab apapun, dia justru menarik kepalaku untuk kembali mencium bibirnya. Tangannya membuka kancing kemejaku satu per satu. Dan tanganku mulai aktif melepas tali lingerienya. Akan kupastikan malam ini akan menjadi malam yang tak pernah terlupakan untuk kami.
******
Kupandangi wajah Amber yang tertidur pulas setelah pergumulan panas kami barusan. Rasanya begitu sejuk menelusuri setiap jejak detail wajahnya yang terpahat begitu sempurna di mataku. Kuusap bibirnya dan aku tersenyum menatapnya. Setiap kali dia marah, aku takut sekali kehilangannya. Aku juga takut kehilangan kepercayaan darinya.
Ami membuka matanya perlahan dan menatapku tanpa ekspresi. Sejenak dia tersenyum, “kamu belum tidur? Dari tadi lihatin aku terus ya?”
Aku membalas senyumnya, “iya rasanya adem banget kalau natap wajah kamu sedekat ini.”
Ami tersenyum lagi, “masa sih? Biasanya kamu suka ngantuk tiap habis tempur, kok sekarang masih melek?”
“Nggak tahu. Aku nggak ngantuk. Aku takut kalau aku tidur, terus bangun, eh kamu udah nggak ada digondol kucing... Ntar aku bingung nyarinya.”
Ami tertawa, “ada-ada aja kamu Liam.”
Kutelusuri pipinya dengan jari-jariku, lalu kudaratkan kecupanku di keningnya.
“Hari ini aku bahagia banget karena masalahku di kampus udah beres dan di rumah juga udah selesai, kita benar-benar berbaikan dan kembali romantis. Aku harap selamanya kita akan seperti ini, saling percaya, saling mencintai dan saling memahami.”
Ami mengerlingkan senyum yang begitu lembut, “ya kita akan belajar sampai kapanpun untuk menjadi pasangan yang baik.”
Kugenggam tangan Ami dan kutempelkan di dadaku, “kepercayaan dan komunikasi itu sangat penting dalam pernikahan.”
Ami mengangguk, “iya. Kemarin waktu kita ngambekan, itu karena aku nggak memercayaimu dan komunikasi kita juga buruk. Aku belajar banyak hal dan semoga saja ke depannya, kita bisa lebih bijak dan dewasa dalam menghadapi setiap persoalan.”
Kuanggukan kepalaku dan kembali tersenyum. Mataku tak jua lepas menyapu wajahnya. Ami terlihat tersipu.
“Kenapa kamu lihatin aku terus Liam?”
“Pingin muas-muasin lihatin kamu. Kemarin-kemarin kamu sombong banget Mi. Rasanya bener-bener tersiksa dicuekin kamu. Malam ini aku puas-puasin lihatin wajah kamu.”
“Emang nggak bosen?” Ami menaikkan alisnya.
Aku menggeleng, “nggak akan pernah bosen Mi.”
Ami menggeser posisinya hingga lebih dekat pada Liam. Liam meraih kepala Ami dan membentangkan lengannya sebagai bantal. Ami menyentuh d**a Liam, merasakan detak jantung Liam yang sudah terdengar lebih pelan dan stabil. Kedua mata itu bertemu lagi.
“Kenapa?” Tanaya Liam.
“Aku suka merasakan detakan jantungmu.” Jawabnya masih dengan senyum dan matanya awas menatapku.
Kupeluk tubuhnya lebih erat. Tak peduli bagaimana kisah pernikahan ini bermula. Tak peduli meski awalnya pernikahan ini berawal dari perjodohan dan paksaan, hanya untuk menyelamatkan situasi yang memang perlu diselamatkan. Nyatanya aku bisa sedemikian jatuh cinta padanya dan rasa cinta ini semakin hari semakin menguat.
Cinta bisa datang dengan caranya yang unik. Begitupun dengan cinta kami. Mungkin aku tak bisa menemukan kata yang tepat untuk mendefinisikan seperti apa perasaanku padanya, karena rasanya tak ada satupun kata yang mampu untuk menjabarkannya. Dia pantas mendapatkan lebih dari sekedar kata-kata. Namun yang pasti, dia membuatku hidup.
Ami lebih dari sekedar cerita yang tak akan habis untuk dibaca, lebih dari sebelah sayap yang melengkapi sayap kiriku untuk terbang bersama, lebih dari kotak pandora yang menyimpan berjuta misteri dan aku harus membukanya untuk bisa mengetahuinya, lebih dari sebuah rumah yang akan selalu kurindukan untuk pulang dan melepas segala penat, lebih dari kata cinta karena aku mencintainya bukan sekedar dengan sesuatu yang terucap tapi benar-benar menyesap hingga lubuk hati yang terdalam. Dia lebih dari segalanya...
******