'Nggak mungkin! Iya kan nggak mungkin,'
Reya bergumam di dalam hati seraya menunduk dalam dalam, tubuhnya yang masih kaku juga susah untuk dia rileks kan seiring jantungnya yang tidak mau berhenti berdetak kencang
Sejujurnya Reya masih mencoba tidak mempercayai matanya, seraya sesekali mengintip dengan sedikit mengangkat kepala, namun faktanya ketika bahkan sudah mengucek matanya tersebut, dia malah makin melihat jelas jika bos Dhini juga akan melakukan penerbangan yang sama sepertinya.
Jika sudah seperti ini Reya hanya berharap dia yang salah memahami, atau mungkin bos Dhini tidak akan menaiki kelas ekonomi.
Memang dasarnya otak, kalau dalam keadaan genting sulit bekerja, begitupun otak cantik Reya yang terasa berkarat karena panik seperti ini, Reya lupa jika area tunggu penumpang kelas bisnis dengan kelas ekonomi itu berbeda, dan saat itu pria itu tengah duduk di sana seraya memainkan ponsel di tangannya, mungkin berjarak sepuluh meter di depan Reya. Berarti sudah jelas bukan kalau pria itu akan naik kelas ekonomi sama seperti nya.
Reya tak mengerti mengapa seorang pebisnis sukses nan kaya raya macam bos Dhini itu malah menaiki pesawat dengan kelas ekonomi yang pasti tidak akan menyenangkan bagi orang kaya macam Ronaldo Rivendra _begitu kata Dhini nama panjangnya_.
"Aishh," Reya mendesah pelan. Dia sungguh ingin memukul kepalanya sendiri karena kesal akan nasibnya yang selalu tidak berjalan mujur, padahal tadi dia sudah sangat bahagia akan menghilangkan stress nya ini, tapi lihat sekarang pemicu stress tinggi nya malah berada di depan sana.
Sialan memang.
Reya tak tau harus melakukan apa jika sudah seperti ini, tidak mungkin dia membatalkan terbangnya, atau liburannya. Ya gila saja, dia sudah membayar mahal loh, ya kali hanya demi menghindari pria kaya menyebalkan itu dia malah membatalkan dan rela semuanya hangus dalam sekejap tanpa bisa menikmati.
Jadi tidak ada pilihan lain kecuali Reya menggunakan jurus jitunya lagi, yakni bersembunyi, terakhir kali _yakni lusa lalu_ dia juga menyembunyikan diri kan, dan terbukti berhasil meski punggung dan tengkuknya terasa sangat pegal bukan main akibat menunduk terlalu lama. Huhu ... Reya ikhlas asalkan dia tidak ketahuan saja.
Lagi lagi Reya tetap mengintip untuk melihat bos Dhini tersebut, akan tetapi di detik terakhir dia mengintip dia malah melihat pria dengan jas biru navi _yakni bos Dhini_ tersebut bangkit dari tempatnya dan berjalan pergi dari sana entah ke mana.
Sontak saja Reya langsung bisa bernafas lega sekarang. Reya ingin ber-positif thinking bahwa tidak mungkin tuhan sengaja mempertemukan mereka berdua, tidak mungkin juga kan tuhan seperti mendorongnya paksa ke dalam jurang maut dengan cara bertemu bos Dhini tersebut.
Pertama Reya masih tidak sanggup untuk bertatap muka dengan pria itu, kedua sungguh dia amat malu membayangkan segala ketidak sopanan yang telah dia lakukan kepada seorang Billionaire terpandang, lagi Reya tidak sanggup membayangkan apa yang mungkin pria itu lakukan kalau benar bertemu dengannya nanti.
Beberapa menit berlalu, hingga jadwal keberangkatan mereka tiba pun, Reya masih tak melihat sosok bos Dhini. Harusnya jika pria itu memang ada di sana, dia akan langsung melihatnya, mengingat wajah tampan dan tinggi putih itu akan amat sangat mencolok di kumpulan orang orang, dan terlihat sekali kalau pria itu adalah pria kaya.
Reya pun tetap waspada dengan menutup wajahnya dengan topi sedikit di majukan, sampai akhirnya dirinya dan rombongan lain mulai masuk ke dalam pesawat dengan nama salah satu burung tersebut.
Entah kenapa meski Reya sudah duduk di posisinya, duduk di kursinya tersebut, dia sama sekali tidak bisa mengalihkan rasa was was nya terhadap bos Dhini yang mungkin tiba tiba datang.
Dan benar saja seperti ke khawatiran Reya tersebut, saat dia mengangkat sedikit kepalanya untuk melihat orang orang yang masih masuk ke dalam pesawat, dia malah langsung di buat panik lagi ketika pria itu ternyata benar berada di sana, di pesawat yang ini.
Reya buru buru menunduk lagi seraya membenarkan topinya dengan mengurai rambut hingga sangat maju, sehingga pria itu tidak akan bisa mengenali wajahnya karena tertutup rambut.
Meski begitu Reya tetap lah Reya yang merasa kepo dengan akhirnya malah mengintip untuk memastikan di sana.
Pria itu benar sudah ada depan sana, hanya berjarak berapa meter sampai pria itu akan tiba di deretan tempat duduk Reya.
Harap harap cemas Reya haturkan selama pria itu terus melangkah mendekat. Dia hanya berharap tempat duduknya bukanlah di sekitar Reya, terlebih di samping Reya sendiri juga masih kosong, makanya dia amat berharap banyak pada tuhan untuk kali ini bisa menolongnya.
Dan akhirnya ...
Satu ...
Dua ...
Tiga ...
Di detik ke empat, Reya yang masih setia melirik dari sela sela rambut itu dapat melihat jelas kalau pria itu _bos Dhini_ berlalu terus melangkah ke arah belakang dan tidak berhenti di deretan tempat duduk Reya.
Sungguh Reya langsung saja mengucap syukur di dalam hati atas tuhan yang mau mengabulkan permintaanya untuk tidak membuat pria itu duduk di kursi sampingnya tersebut. Kursi samping Reya aman dan akan terisi orang lain.
"Alhamdu __"
Baru juga Reya hendak mengeluarkan syukurnya lagi di dalam mulut, entah kenapa dia malah langsung di buat terkejut dengan adanya seseorang yang tiba tiba duduk di sampingnya, di tempat duduk kosong tersebut.
'___ Lillah ...' Reya melanjutkan syukurnya di dalam hati lagi dengan kecengohan dalam, pasalnya saat ini ternyata tempat duduk di sampingnya tersebut rupanya telah di isi oleh pria ber setelan biru navi yang tak lain tak bukan adalah bos dari Dhini _Ronal_.
'GOBLOKK!'
Reya benar benar tidak tahan untuk tidak mengumpat keras keras di dalam hati, karena dari sudut matanya Reya dapat melihat kalau pria tersebut duduk dengan santainya juga wajah datar tanpa dosa.
Tampan sih ... Reya tidak mungkin menyangkal wajah tampan yang amat enak sekali jika di lihat dari samping tersebut.
Akan tetapi melebihi kekaguman gilanya itu, Reya jauh lebih panik dan tegang karena sekarang dia dan pemangsanya hanya berjarak radius tiga puluh senti meter saja, yang mana itu benar benar sangat dekat. Sekali hap bisa bisa Reya habis tak tersisa.
Di dalam hati Reya tak hentinya berdoa agar pria itu tidak mengenali siapa wanita yang duduk di sampingnya ini, karena ya Reya sudah berusaha keras dengan menutup hampir seluruh wajah mm menggunakan rambut lurus nya itu, jadi sangat mustahil bagi pria kaya ini _yang hanya beberapa kali bertemu dengannya_ untuk bisa mengenali.
Suara yang menginterupsi bahwa pesawat akan mulai take off bahkan tak membuat Reya tenang dalam duduknya, hingga pesawat benar benar terbang sekalipun, Reya merasa suasana tertekan nan panas masih terus melingkupi dirinya.
"Maaf,"
Deg ...
Itu suara pria di sampingnya itu, yakni bos Dhini.
Dan hanya dengan mendengar sepatah kata tersebut, sontak saja tubuh Reya yang mulanya menegang makin menegang saja tak terkendali.
Reya bingung sendiri di sana, hendak menjawab tapi dia takut ketahuan, makanya dia pun berdehem dahulu, dia berniat akan mengubah suaranya menjadi di lengkingan.
"Iya," ucapnya tanpa repot repot mengangkat wajah dan menoleh pada pria itu.
Jujur saja, anak kecil pun akan langsung mengenali kalau suara Reya barusan terdengar begitu aneh dan di buat buat. Reya bahkan merutuki mulutnya sendiri yang tidak sesuai harapannya, dia juga sadar kalau suaranya begitu aneh.
Sungguh Reya tak berani barang melirik saja, dia hanya dapat meremat satu tangannya yang dia sembunyikan di samping badan, dia panas dingin bukan main.
Reya makin tak terkendali ketika pria di sampingnya tersebut malah tak kunjung mengeluarkan suaranya.
"Ada apa?" Sial, Reya tak tahan untuk tidak mengeluarkan suaranya lagi dengan nada yang masih sama melengking macam tikus terjepit itu.
"Tidak jadi, saya kira anda orang yang saya kenal ...,"
DEG ...
Jantung Reya terasa seperti sedang maraton, lidahnya sampai kelu mendengarnya. Apa bentuk Reya sefamiliar itu? Huwaaaa ... Apa bos Dhini ini mengenalinya?
TIDAK! TIDAK BOLEH!
Reya memejamkan matanya erat, rasanya ingin menangis saja di sana saat ini. Reya berdoa dengan sungguh sungguh agar pria ini tak mengenali bahwa wanita yang tengah dia ajak bicara ini adalah pelaku penamparan keji malam itu. Semoga Reya tidak ketahuan, dan pria itu bisa segera menutup mulutnya rapat.
"Anda sakit?" Bukannya doa Reya ter ijabah, yang ada tidak sama sekali, pria itu malah kembali bertanya pada Reya. Yang menjadikan Reya mau tak mau harus membalasnya agar tidak makin terlihat aneh. Reya takut juga kalau malah di anggap teroris atau orang gila semacamnya.
"He'em," Reya bergumam mengiyakan sambil mengangguk sepenuh tenaga.
Dan setelah tak ada suara di sana, pria itu pun membalas, "Hm, okay,"
Lima detik ...
Sepuluh detik ...
Lima belas detik ...
Dan di detik-detik berikutnya yang makin bertambah, Reya sudah tak mendengar suara pria itu lagi.
Reya sungguh masih takut untuk sekedar melirik atau menyibak rambutnya sedikit untuk melihat dengan jelas, makanya dia terus terdiam hingga sepuluh menit berlalu.
Baru lah setelah itu, Reya memberanikan diri untuk melirik pelan pelan, namun pasti.
Sampai akhirnya ... Dia bisa melihat dengan jelas wajah dari pria tampan di sampingnya itu.
Reya agak melongo bercampur senang bukan main melihat hal tersebut, di mana ternyata pria itu tengah memejamkan mata dengan tangan di lipat di depan dadanya, jangan lupakan nafasnya yang terdengar teratur yang dapat di artikan kalau Bos Dhini ini tengah terlelap.
Reya langsung bernafas sangat lega di sana, dia menautkan tangan untuk mengucap syukur kepada tuhan yang maha esa, setidaknya kalau pria di sampingnya ini tertidur Reya tidak akan se-cemas itu ketahuan.
Seorang pekerja keras kaya raya seperti bos Dhini ini pasti sangat lelah setiap harinya makanya dia bisa terlelap di mana saja jika ada kesempatan. Makanya Reya bisa mempercayai hal tersebut.
Reya pun membuka topinya sebentar, hendak membasuh peluhnya yang tanpa sadar memang bercucuran sedari tadi. Dia benar-benar berkeringat dingin loh, sampai sampai peluhnya ada yang masuk kematanya saking derasnya.
Efek takut memang mengerikan ...
"Sial banget emang," Reya bergumam sangat pelan sambil memberenggut kesal.
"Tau gitu gue bisa berangkat besok aja, huhu." ucapnya lagi tak kalah pelan seraya menoleh pada pria tampan yang setia memejamkan matanya tersebut.
Reya melihat wajah si billionaire ini dengan tatapan kesal, masih tidak habis fikir bagaimana orang kaya macam bos Dhini mau maunya duduk di kelas ekonomi. Padahal uangnya kan pasti banyak sekali, membeli jet pribadi pun juga bisa mungkin.
Tapi kenapa malah naik ekonomi, dan juga harus banget bertepatan ketika naik Reya pesawat juga. Sudah sama dengan jam terbang Reya lagi, mana tempat duduknya juga pas di sebelah lagi. Sungguh itu sangat menyebalkan.
Bahkan Reya sempat su'udzon kalau semuanya ini terasa sengaja di setting oleh seseorang, atau malah tuhan yang sengaja menggariskan Reya untuk cepat cepat masuk ke kandang buaya ya?
Aishh ...
Sejujurnya Reya merasa wajah pria ini tidak terlalu menyeramkan ketika tertidur damai seperti ini. Reya akui kalau rasanya tidak mungkin pria ini akan membalas semuanya dengan kekejian. Hanya saja ketika mata tersebut terbuka dan berubah menajam, Reya bisa langsung mencabut ucapannya kalau pria ini tak akan membalas, nyatanya pasti akan membalas. Bahkan perasaan Reya mengatakan hal demikian, entah kapan pastinya, dia benar benar akan jatuh ke dalam lubang yang pria ini sengaja ciptakan.
Kalau dari film-film yang Reya tonton sih, pria kaya akan menyiksa dengan cara menjadikan orang rendahan _macam Reya ini_ sebagai babunya, atau bisa juga Reya di jual ke pada pria tua perut buncit kumisan seperti itu.
Aishh ... Reya ngeri sendiri membayangkan.
Tanpa sadar sebenarnya sedari tadi Reya terus saja menatap wajah bos Dhini tersebut dengan tatapan seolah ingin menangis, belum lagi bibirnya yang di cebikkan,
"Kenapa? Kenapa harus gue?" Reya tiba tiba bergumam tidak terlalu jelas.
"Kenapa gue yang ngalamin ini semua." Tapi sebenarnya dia memang tengah mempertanyakan nasib buruknya itu.
Huft ...
Dia menghela nafas panjang, lalu tersenyum getir di sana, seraya masih fokus menatap mata terpejam itu.
Dia memejamkan mata sebelum akhirnya menjawab, dengan mata yang masih terpejam juga,
"Okay ... Maaf sudah menampar anda, dan sudah menyiram kopi juga di tempat umum, maaf sudah mempermalukan juga ..." Reya terhenti sejenak, dan mulai membuka mata, sejak kemarin kemarin dia ingin mengungkapkan hal ini sebenarnya, agar setidaknya dia merasa lega, bahkan dia menggunakan bahasa formal juga di sana.
"Tapi itu semua karena saya kesal. Anda seenak hati mencium saya. Di kira saya apaan. Permintaan maaf anda sebelumnya rasanya emang nggak cukup, tapi jika saya tau kalau ternyata anda ceo Riven corp, saya pasti akan mencukup-cukupkannya dan tidak mencari masalah lain." Reya ingat ketika bibir terkatup itu mulai menciumnya dengan tanpa permisi kala itu, dan bibir itu sebenarnya juga benar benar masih sering berputar di otaknya, sebab memang Reya juga tidak pernah berciuman selain dengan bibir Bos Dhini ini.
"Okay saya salah, semua salah saya, asal anda akan melepaskan saya . Huhu. Saya tidak tau bisa mengatakan ini tidaknya ketika anda membuka mata. Karena pasti saya sudah takut sendiri."
Cukup di sana ungkapan penuh dari dalam hati tersebut, Reya pun mengakhiri ucapannya dengan mata yang kembali terpejam beberapa detik.
Sebelum akhirnya terbuka lagi setelah dia tersadar.
"Aish bego! Dah lah."
Reya merasa seperti orang bodoh memang, dia hanya berani di belakang, dan malah berbicara pada orang yang tidak sadarkan diri.
Reya pun kembali memposisikan duduknya menjadi lurus ke depan, dia memasang topinya juga seraya membuat rambutnya seperti yang dia lakukan tadi, tergerai ke depan sampai menutupi hampir seluruh wajah. Reya masih takut jika pria di sampingnya itu tiba tiba membuka mata di saat dirinya tidak siap akan kostumnya menutupi wajah. Dia tetap tidak bisa ketahuan apalagi di saat dirinya akan bersenang senang liburan.
Merasa dirinya tidak akan di kenali, dia pun menyandarkan badan penuh ke belakang, dia juga berniat sedikit memejamkan mata tanpa tertidur _tentu saja_ menunggu pesawat ini landing di tempat tujuannya.
Reya tak tau jika perjalannya yang harusnya tidak lama itu, malah terasa amat lama akibat dia tidak sabar untuk segera turun dan pergi dari samping pria ini. Reya sudah tidak tahan, sungguh.
Tidak ada pilihan lain memang selain sabar untuk Reya, membiarkan perjalanan kali ini di dampingi dengan suara nafas teratur dari pria tampan di sampingnya itu. Benar-benar masih setia tidur dengan mata terpejam erat.
Aishh ...