Jika di tanya perasaan Reya saat ini itu bagaimana ... Hmm, jelas semua itu tidak bisa di deskripsikan secra betul betul, bisa di bilang Reya teramat bingung untuk mengatakannya. Dia kesal, dia marah, dia takut, terlebih dia juga merasa malu saat ini, pokoknya campur aduk sampai Reya tidak tau perasaan apa yang lebih mendominasi.
Meski begitu, untuk saat ini dia tidak mau jika malah diam saja meratapi perasaanya tersebut, dia ingin mengusahakan dahulu untuk mendapat kamar itu. Meski sebenarnya kepercayaan dirinya tidak semenggebu gebu tadi _ketika berbicara dengan bos Dhini_, tapi ya apa salahnya mencoba.
Sekarang, Reya memang sudah memakai pakaian lengkap yakni pakaian yang sempat dia tanggalkan itu, celana putih, tank top, dan outer.
Reya pun berjalan dengan langkah lebar menuju lobi resort, untuk menemui staff resort yang tentu saja dia ingin meminta penjelasan sekaligus pertanggung jawaban pihak resort.
Tidak lama akhirnya dia sampai di depan meja administrasi yang mana terdapat dua wanita muda yang sepertinya berusia di bawahnya tersebut, salah satunya juga orang yang telah memberinya kartu akses tadi.
"Maaf ibu, bisa saja bantu?" tanya gadis yang tadi memberi kartu pada Reya sopan, tepat ketika Reya baru saja sampai.
Reya yang mulanya akan langsung melontarkan kemarahan jadi mengurungkan niatnya tersebut sebab tidak tega, dia ingin mengetahui situasi yang telah terjadi sebelum bertindak lebih, bisa di bilang dia tidak ingin gegabah di sana.
Reya memejamkan matanya sejenak sebelum terbuka kembali, dia ingin mencoba menetralisir perasaanya. "Saya ingin mempertanyakan pelayanan resort ini. Saya sudah booking tempat inap di kamar vvip sweet room lewat website semalam. Tapi kenapa hari ini tempat itu juga di isi oleh orang lain! Dan itu benar benar merugikan saya sebagai customer!" ucapnya panjang lebar, walaupun tidak menunjukkan kemarahan serius, namun Reya tetap mengatakan dengan nada tegas, agar dirinya juga tidak di remehkan nantinya.
Kedua gadis itu nampak kebingungan dengan menatap satu sama lain, dan akhirnya wanita yang memiliki tahi lalat di atas bibir _bukan yang memberinya kartu akses_ akhirnya bersuara, dia mempertanyakan kebingungannya. "Hah? Maaf, bagaimana ibu?"
Reya sendiri menghela nafasnya menahan kesal, "Huft ... Di kamar itu sekarang ada seorang pria yang juga mendapat kartu akses dari anda!"
Makin bingung lah kedua staff wanita itu dengan ucapan Reya, makanya Reya jadi geram sendiri. Tidak mungkin pria itu _bos Dhini_ berbohong padanya dan mengatakan kalau mendapat kartu akses dari staff. Lalu kenapa pekerja ini tidak mengerti yang padahal Reya sudah mengatakan dengan sejelas jelasnya menurutnya.
"Ibu maaf, tolong jelaskan lebih detail. Saya tidak mengerti." Gadis yang memberinya kartu lagi lagi berucap penuh kesopanan sambil membungkuk sedikit untuk meminta maaf.
Langsung saja Reya mendesah kasar, dia tak tau harus mengatakan bagaimana lagi. "Anda memberikan kartu akses kepada saya. Dan barusan, beberapa menit yang lalu ada pria lain yang datang juga membawa kartu akses yang sama seperti yang saya miliki. Bagaimana bisa kalian memberikannya pada costumer lain di saat saya yang juga sebagai customer di sana telah memboking lebih dulu!" Kali ini Reya menjelaskan dengan pelan pelan namun pasti karena dia juga menekannya di setiap kata yang keluar.
"Hah?"
Kedua gadis itu kembali hah heh saja, terkejut lagi dan lagi! Aishh ini benar benar mengesalkan! Apa Reya harusnya tidak boleh bertindak se kalem ini ya, jika Reya bar bar dan langsung marah marah apa kedua gadis ini tidak terus terusan bertindak bodoh.
"Maaf ibu, tapi apa yang ibu katakan sepertinya tidak mungkin." Gadis tahi lalat nampak menjelaskan dengan pelan pada Reya, mungkin agar Reya tidak tersinggung di sana.
Namun Reya malah mendengus tidak percaya, "Yang benar saja, buktinya orang itu ada di kamar yang sama seperti yang saya tempati." ucapnya dengan nada yang sedikit naik oktaf sambil menunjuk ke arah belakang di mana jalan menuju kamarnya tadi.
Tapi dengan penuh keyakinan, gadis itu _yang memberikan kartu_ malah menggeleng, "Tidak ibu, saya tidak merasa memberikan kartu kepada siapapun, hanya kepada anda."
"Hah nggak mungkin!" Reya mengerjap erjapkan mata tidak percaya di tempat.
Apa pria itu berbohong? Apa pria itu tak mendapat kartu dari staff? Tapi jika pria itu berani melakukan sesuatu yang melanggar, bukannya hal itu malah akan merusak reputasinya sebagai seorang pebisnis keturunan Rivendra.
"Ada apa ini?"
Tiba tiba seorang pria paruh baya dengan perut buncit dan kacamata bulat itu bertanya setelah dia mendekat ke arah Reya juga dua gadis staff administrasi tersebut, mungkin pria itu datang karena mendengar keributan antara Reya dengan dua gadis itu.
Reya menoleh begitu pun dua staff itu. Kalau dari penampilannya sih, Reya menduga kalau pria paruh baya _yang memakai pakaian adat Bali_ tersebut sepertinya petinggi resort ini.
"Ini pak, kata ibu ini, di kamar dia ada orang lain yang juga mendapat kartu akses yang sama." Gadis tahi lalat juga menjelaskan tak kalah sopan seperti ketika mengatakannya pada Reya tadi.
Dan persis macam reaksi kedua gadis tersebut saat Reya beritahu, pria paruh baya tersebut juga nampak terkejut sampai sedikit melebarkan mata.
"Hah? Benarkah? Kamar mana itu?" Pria paruh baya itu nampaknya begitu tidak mempercayainya, mungkin karena tempat ini tidak pernah terjadi kelalaian sampai menawarkan satu kamar untuk dua customer yang berbeda. Karena ya, untuk pembelian lewat online juga di lakukan secara teliti, yakni menunjukan e tiket, dan juga karu identitas lainnya, jadi tidak mungkin staff melakukan kesalahan sampai memberikan kartu kepada dua orang sekaligus,
"Vvip sweet room 4!" balas Reya malas, bukan malas sih, lebih tepatnya kesal saking kesalnya jadi seperti itu.
Duarr ...
"Hah?"
Dan setelah itu pria paruh baya nampak jauh lebih terkejut dari sebelumnya, sampai sampai pria itu memegang dadanya sendiri.
Reya dan juga dua staff ikut kebingungan akibat reaksi yang tentu saja menurut mereka terlalu lebai itu.
"B Bagaimana anda bisa menempati tempat itu?" tanya pria itu tanpa mengurangi rasa keterkejutannya.
Reya mengernyit aneh, kenapa pula pria paruh baya itu malah mempertanyakannya. "Itu kamar saya pak, semalam saya memesannya lewat website," balas Reya penuh penekanan.
"Tidak mungkin, kamar itu jarang di gunakan untuk publik." Pria itu berucap yang sebelumnya menggeleng kuat.
Heh? Maksudnya bagaimana? Yang padahal Reya bisa memesan kamar itu dan juga di beri kartu akses oleh staff di sana yang sekarang terlihat terkejut bukan main.
"Tapi buktinya saya memesan, saya sudah membayar mahal untuk tempat itu! Jadi saya mau pihak resort bertanggung jawab untuk membawa pria itu pergi dari sana!" Benar bukan keputusan Reya, dia juga memiliki hak sebagai customer di sana , yang pertama datang lagi.
Bukannya langsung menjawab, pria paruh baya tersebut nampak kebingungan sendiri, lalu tiba tiba dia mengalihkan pandangan yang mulanya menatap Reya menjadi menoleh pada kedua gadis di sana itu.
"Siapa yang menyetting website terakhir kali?" tanya pria paruh baya tersebut dengan menggebu gebu, jangan lupakan wajahnya yang ikut memerah.
Karena pertanyaan yang pria itu lontarkan penuh kemarahan, langsung saja pegawai itu terlihat menciut penuh ketakutan.
Dan dengan perlahan lahan sebab mau tak mau harus mengaku, gadis yang memberinya kartu akses nampak mengangkat tangannya seraya berucap, "Sa saya pak?"
Dan kemarahan pada wajah pria paruh baya itu makin terlihat jelas di sana, "Kamu!" lontarnya sambil mengacungkan jari tinggi tinggi.
Reya tak mengerti kenapa harus semarah ini, apa sesusah itu mengusir bos Dhini tersebut. Karena merasa tidak tega dengan raut ketakutan setengah mati dari gadis tersebut, dia memilih melerai, "Sudah sudah, yang saya mau hanya agar pria itu pergi dari kamar saya!" tekannya dalam.
Dan pria paru baya itu kembali menoleh pada Reya, wajahnya benar benar menunjukkan ke frustasian saat ini, "Sebentar ibu, sebentar ... Tapi kami tidak bisa melakukannya!"
Mata Reya sontak melotot tajam di sana.
"Kenapa tidak? Apa karena dia membayar lebih besar dari saya hah?" Reya sudah benar benar marah kali ini, dia tidak bisa menahannya. Sebagai customer dia terasa di injak injak.
Bukannya menjelaskan, pria paruh baya tersebut malah menunjuk seraya menyatukan kedua tangan kepada Reya, "Maaf, tapi kami tidak bisa."
Reya mengepalkan kedua tangannya erat erat, kesal bukan main, "Pokoknya saya mau dia pergi, atau anda memberi saya ganti tempat yang sama seperti itu di sini."
Meski Reya tau kalau tempat inap di sini sudah full, tapi dia tetap ingin agar pihak resort bisa mengusahakannya, jadi dia tidak akan mempermasalahkannya nanti.
Tapi jawabannya, pria paruh baya itu nampak menggeleng kuat, "Untuk sekarang tidak ada kamar kosong di sini, maaf." Mungkin jika dari pemikirannya, resort tidak bisa mengorbankan kenyamanan costumer lain demi menutup kesalahan pada Reya. Itu juga tidak salah sebenarnya, namun Reya yang merasa makin tidak terima di sana.
"Sial." Reya sampai mengumpat pelan tidak tahan. "Jadi anda mau menelantarkan customer begitu? Haha, Bagaimana sebenarnya pelayanan tempat ini. Saya bukan sekali dua kali loh menginap di sini, tapi kenapa sekarang staff nya sangat teledor." Reya tak bisa menutup mata jika gadis yang ketakutan bahkan hampir menangis itu melakukan kesalahan, tapi dia juga kesal karena pria paruh baya tersebut malah mempertahankan nos Dhini yang padahal datang terakhir dari pada dirinya.
Pria paruh baya tersebut tidak bisa mengatakan apa apa kecuali menunduk dan terus meminta maaf terhadap Reya, "Kami akan mengembalikan penuh dana ibu." ujarnya sungguh sungguh, sebagai bentu kompensasi tentu saja.
Sudah terlanjur kesal dan masih ingin menempati kamar yang baru saja dia tempati 2 jam lamanya, dia juga ngotot tidak mau akan penawaran itu, tadi saja di tawari bos Dhini dia juga tidak mau. "Tidak tidak bisa. Saya mau tempat itu!"
Makin frustasi lah pria paruh baya tersebut, "Astaga, maaf tapi kami tidak bisa. Saya berjanji akan memecat dia karena teledor sebagai bentuk kompensasi. Juga uang ibu akan di kembalikan penuh plus akan mendapat voucher kamar nantinya."
Mendengar kalau gadis yang hampir menangis tersebut akan di pecat, Reya langsung saja meliriknya, dan benar gadis tersebut juga nampak terkejut bahkan sudah mulai menitihkan air mata. Bukan hanya takut nan sedih, tapi pasti wanita itu cukup malu setelah di pecat dan di permalukan di depan customer dan beberapa orang yang berlalu lalang.
"Sial!" Reya mengumpat pelan, dia tidka tahan melihatnya. Sungguh Reya tidak tega karena gadis tersebut nampak begitu kasihan di mata Reya. Dia tidak ingin hanya karena dirinya yang ngotot malah membuat staff itu kehilangan pekerjaan.
Okay ...
"Tidak perlu di pecat. Ck, kembalikan saja uangnya." ucap Reya dengan berat hati, lalu mendesah lagi.
Reya pasrah, dia kalah dari perdebatan itu! terutama dari bos Dhini. Untung saja dia tidak bertaruh tadi dengan pria itu tadi, bisa bisa dia makin rugi kalau itu benar terjadi.
Pria paruh baya perut buncit nampak tersenyum senang di sana, meski begitu wajah tertekannya belum juga hilang, seolah masih memikirkan hal lain. Ah sudahlah Reya juga tidak harus perduli.
"Baiklah." ujar pria paruh baya itu.
"Hm,"
Setelah itu Reya memutuskan untuk pergi dari sana dengan masih berat hati _sangat_, samar samar Reya juga mendengar ucapan sang gadis dengan sesenggukan itu.
"Maafkan saya pak, saya tidak tau kalau kamar itu selalu di biarkan kosong."
Reya mendengus di sana, setelahnya dia juga sudah tidak bisa mendengar percakapan, akibat jarak antar dirinya dari kerumunan tadi udah terpaut makin jauh.
Reya masih tak mengerti kenapa kamar itu di biarkan kosong. Tapi bos Dhini malah tidak berani di usir ...,
Ah tunggu ...,
Apa mungkin? ... Ronal adalah pemilik resort ini?
Tapi tidak mungkin, Reya dulu pernah melihat website kalau, resort ini bukan lah salah satu milik pt Riven corp.
Lalu kenapa bisa begitu?
Aishh ...
Sudahlah, toh sekarang Reya juga sudah kalah dan tidak bisa menempati kamar itu, jadi dia tidak perlu memikirkan hal lebih.
Tapi jujur, saat ini Reya merasa begitu sedih, cita citanya liburan dengan bahagia bahkan sudah hancur padahal belum ada seperempat hari.
Reya mengangkat ponsel yang sedari tadi dia tenteng tersebut, tiba tiba dia teringat Dhini. Temannya yang selalu mendengarkan keluh kesahnya itu.
Makanya kali ini dia juga ingin bercerita lagi. Dan ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah 5 lebih tersebut, Reya pun memutuskan untuk menelefonnya saja, karena tau di jam seperti ini Dhini biasanya sudah pulang ke rumahnya.
Reya mencari nomor kontak temannya tersebut, dann segera menekan tombol hubungi ketika sudah menemukan nomornya. Berlanjut menempelkan ponsel di samping telinganya seraya tetap berjalan di iringi suara tut tut tut tanda jika sudah terpanggil namun belum di angkat oleh temannya itu.
Dan tidak perlu menunggu lama, akhirnya,
Panggilan terhubung ...
Reya membuka mulutnya hendak bersuara, namun ternyata Dhini menyelanya dari seberang sana dan berbicara lebih dulu.
"Apa lagi?"
Mendengar pertanyaan Dhini yang berkesan tengah jengah tersebut tak membuat Reya mengurungkan niatnya bercerita, namun dia hanya memanyunkan bibirnya beberapa detik sebelum membalas pertanyaan temannya yang sepertinya sadar kalau dirinya hendak bercerita itu. Kalau di fikir fikir suara Dhini nampak tidak terllau jelas, apa mungkin wanita itu tengah bersikat gigi ya.
"Gue makin sial Dhin," ujarnya dengan helaan nafas di akhir kalimat. langkahnya sendiri entah kenapa terlihat makin memelan juga _ketika sudah memasuki lorong panjang_ menuju kamarnya tadi.
"Kenapa emang?" Dhini balik bertanya, dan dari sana Reya pun mengerti kalau dugaannya memang benar, jika temannya itu tengah menggosok gigi sekarang, karena sebelum Dhini bertanya, dia mendengar suara Dhini meludah macam tengah menghilangkan busa saat bersikat gigi.
Reya mengangkat pandangannya ke samping di mana dinding kaca terlihat menembus ke arah luar sana, di mana hamparan hutan hijau dan setengah lautan tersebut, cantik dan pemandangan bisa di nikmati sepanjang lorong itu. "Bos lo ..., bos lo, juga ada di kamar yang sama kayak gue."
"HAH?"
Sepertinya Dhini nampak begitu terkejut di seberang sana, sebab dari suara kerasnya saja sudah bisa mengartikan demikian.
Tidak lama setelahnya, Reya bisa mendengar suara tawa Dhini yang entah kenapa cukup mengesalkan di pendengaran Reya itu.
"Haha, siang bolong gini jangan halu dong, Re." Dan lihat Dhini temannya itu malah berucap begitu.
Reya pun sampai menghentikan kegiatan berjalan pelannya tersebut, dan langsung berbicara pada Dhini, "Gue serius!" tekannya.
Kemungkinan Dhini merubah pemikirannya ketika Reya terdengar seserius itu dalam berucap, makanya tawa Dhini juga sudah berhenti sepenuhnya, "Kok bisa?"
Dhini mungkin saat ini tengah melongo di tempat akibat terkejut.
Reya melipir ke arah pinggir, dia memutuskan untuk berhenti total dan berbicara pada Dhini dahulu,
"Nggak tau hiks. Tapi karena kesalahan staff resort. Hiks, gue mau kamar itu, gue udah cinta mati." ujarnya seolah di tambahi tangisan, namun sepertinya tidak wanita itu sama sekali tak mengeluarkan air mata.
By the way, kalian bisa melihat bukan, bagaimana perasaan senang Reya ketika menempati kamar itu tadi. Dia tidak pernah merasa sesenang itu akhir akhir ini, makanya dia cukup tertekan mengetahui kedatangan bos Dhini yang bagi Reya adalah lalat pengganggu tersebut.
Dhini ikut mendesah kasar di seberang sana, wanita itu jadi merasa frustasi juga saat ini, mungkin karena Dhini tau jika memang kalau udah berhubungan dengan Ronaldo Rivendra semua akan menjadi amat sulit. "Astaga ya tapi gimana dong?" tanya Dhini melanjutkan.
Reya terdiam sejenak sambil mencebikkan bibirnya itu beberapa senti ke depan, "Hiks, terpaksa tetep pindah. Ternyata gue tetep kalah sama orang berduit. Hiks."
Ya begitulah akhirnya, sejak awal Reya sih tidak sadar diri, padahal kan kalau di lihat dari kaca mata keuangan, pria itu _Ronal_ jauh banyak memiliki presentase menempati kamar itu.
Aishh ... Sialan sekali bukan!
"Iya tuh, dari pada lo makin habis." Dhini juga ikut setuju di sana, pasrah sekali dengan tidak menyemangati Reya kalau kalau ingin ngotot mendapatkan kamar itu lagi.
Sudah lah!
"Tapi gimana masalah lo yang nampar?" Secara tiba tiba, Dhini malah bertanya hal seperti itu. Dan selama di lobi tadi dia tidak sempat memikirkannya lagi.
Yang padahal bos Dhini sudah mengancamnya lagi sebelum dia kemari tadi.
"Tauk ah, pusing." desah Reya sambil mengacak sedikit rambutnya, merasa frustasi akut.
Untuk beberapa saat, tak ada percakapan di sana, ya ada malah Reya membuka menutup bibirnya sendiri seolah ingin berbicara namun suaranya tidak kunjung keluar, Reya berfikir tentang masalah bos Dhini telah melihat tubuhnya itu, dia ragu harus bercerita juga atau tidak tentang perkara itu.
Tapi akhirnya Reya juga menceritakannya.
"Em ... Sebenernya, pas bos lo masuk, gue cuma pake celana dalem sama penutup anu atas doang." Jujur, Reya tak berani mengatakan kalau dirinya juga sudah menunjukkan nya untuk kedua kali, mana kemauannya sendiri lagi yang ke dua. Memang tengah gila Reya tadi itu.
Dan sudah persis seperti dugaan Reya Dhini di sana malah terdiam sejenak tak menanggapi. Dan rupanya wanita itu teramat shock di tempat.
"Astaga Reya goblog!" Dan begitulah tanggapan Dhini untuk pertama kali. Dia sampai membodoh bodohkan Reya.
Padahal kalau di fikir fikir kesalahan pertama bukan lah keinginan Reya, dia juga tidak ingin tubuhnya di lihat oleh ke dua mata bos Dhini itu.
"Bukan salah gue. Tapi dia yang masuk!" ujar Reya sedikit membela diri. Walaupun yang kedua memang kesalahannya sih.
"Astaga Reya," Dhini makin terdengar frustasi, sama tertekannya seperti yang Reya rasakan.
"Udah ah, udah terlanjur juga, mau gimana lagi," balas Reya meski berat mengatakannya. Tapi juga jauh lebih berat jika membayangkan bos Dhini tidak mau melepaskannya.
"Astaga," Lagi lagi Dhini berucap seperti itu.
Reya memanyunkan bibirnya entah sudah ke berapa kali itu, lalu dia mulai berbicara lagi. "Kayaknya segitu dulu ya ceritanya, gue mau berkemas dulu dan angkat kaki dari kamar itu, lalu pergi cari tempat lain."
Reya tidak mau jika tidak mendapatkan tempat inap yang sesuai seleranya ketika hari sudah gelap, jadi di tidak boleh terlalu membuang waktu sekarang ini.
Dhini yang mengerti di sana pun mengiyakan ucapan Reya, "Huhu, jangan lupa nanti kabari kelanjutannya." ucapnya.
Dan Reya mengangguk setuju, walaupun Dhini tidak bisa melihat gerak tubuhnya, "Iya."
Tut ...
Dan akhirnya Reya pun memutuskan sambungan telefon tersebut, berlanjut menghela nafas panjang dan akhirnya melangkah lagi seperti sebelum menelefon Dhini temannya.
Jujur Reya sedikit memikirkan ketika dirinya tiba di kamar itu nanti. Apa yang mungkin pria itu lakukan ya, apa dia langsung melayangkan kekejaman? Tapi meski begitu, Reya cukup sadar kalau tadi bos Dhini tidak semenyeramkan yang dia pikirkan kemarin kemarin. Ah tapi Reya tidak tau kalau ke depannya. Atau malah berbanding terbalik pun.
Namun yan pasti, terlihat jelas jika Bos Dhini tidak berniat melepaskannya dengan mudah.
Aishh ...