"Sial banget Dhin nasib gue, huhu."
Baru juga sambungan telefon terhubung, Reya langsung saja mengatakan hal tersebut yang mana itu membuat sang lawan bicara yakni Dhini itu kebingungan sendiri.
"Weh ... Ngomong yang jelas, gue belom ngerti alur ceritanya loh."
"Huhu."
"Ck, kenapa lagi sih? Liburan bukannya seneng seneng malah bilang sial sial mulu ya lo." Dhini membalasnya dengan sedikit menggebu gebu, pasalnya aneh juga temannya itu yang langsung saja mengeluh di saat Dhini tak mengerti apa apa.
Bukannya segera membuka suaranya untuk menjelaskan masalahnya tersebut terhadap temannya. Reya malah diam saja seraya memanyunkan bibir maju ke depan.
Reya saat ini memang sudah landing atau malah telah berada di taxi untuk menuju tempat resort yang dia booking itu.
Dan entah kenapa setelah di taxi, dia jadi kepikiran dan ingin menghubungi Dhini untuk menceritakan rasa beban di dadanya atas kesialan yang menimpanya tersebut. Yakni bertemu atau bahkan duduk bersampingan dengan orang yang sangat Reya hindari, yakni bos Dhini.
Memang sih, sampai akhir bos Dhini tersebut sama sekali tidak mengenali Reya bahwa sebenarnya dia pelaku penamparan, bisa di bilang semuanya lancar seperti yang Reya harapkan, meski ada sedikit kendala yang mana bos Dhini bertanya padanya dan hampir ketahuan. Namun semua masih tetap aman.
Tapi kalau di pikir pikir Reya juga tetap merasa adanya tekanan batin di sana. Makanya dia ingin bercerita.
"Bos lo ..." tutur Reya namun tidak melanjutkannya setelahnya, malah kembali cemberut.
Karena hal tersebut di mana merasa temannya makin tidak jelas dengan tidak melanjutkan ucapannya, hal itu sukses membuat Dhini kesal setengah mati. Bosnya memang akhir akhir ini selalu menjadi sumber kegalauan Reya, hanya saja kali ini kenapa lagi. "Kenapa sih?" tanya Dhini gemas sendiri.
Reya menghela nafas cukup panjang, lalu menoleh ke arah luar jendela mobil untuk melihat jalanan yang di penuhi toko toko tersebut, "Bos lo, gue ketemu dia. Bukan cuma ketemu aja sih, tapi juga dia satu pesawat sama gue." berat sangat berat Reya mengatakannya, mungkin karena kesal menyesal dia memilih berangkat liburan hari ini, harusnya besok saja kan. Tapi ya bagaimana lagi semua sudah terlanjur terjadi, dengan Reya yang aman sentosa tidak ketahuan.
Dhini tentu saja terkejut akan penjelasan temannya tersebut. Dia tak menyangka jika temannya itu selalu di pertemukan dengan bosnya, seperti berjodoh saja. Ya amin sih, tapi Dhini membayangkannya saja sangat sulit. Kedua orang itu sama sama kaku terhadap lawan jenis, jadi tidak mungkin. "Hah, terus gimana ketahuan enggak?" tanyanya. Dhini tau kalau Reya terus terusan bersembunyi, wanita itu sudah menceritakan kejadian lusa lalu yang membuat Reya sampai sakit punggung dan tengkuknya itu, hanya karena demi bersembunyi dari bosnya _Ronaldo Rivendra_.
"Hampir aja, soalnya dia duduk di samping gue." Reya membalas lagi dengan nada pelan, lemas lesu tak bersemangat.
Berbanding terbalik dengan Reya yang macam kerupuk masuk air yakni letoi abis, Dhini malah sontak memekik dari seberang sambungan sana, jelas bukan kalau wanita itu terkejut bukan main. "Lah ... Lo duduk di kelas bisnis?"
Dahi Reya berkerut, apa temannya itu lupa kalau Reya adalah orang yang pelit masalah jasa kendaraan seperti itu. Reya tidak akan mau mengeluarkan kocek banyak hanya untuk duduk dengan segala fasilitas nyaman yang padahal hanya terbang beberapa menit. Jadi harusnya Dhini sudah tau dong jawabannya apa. "Enggak. Dia yang ngikut di ekonomi." balasnya.
Dan ...
Dhini lagi lagi malah makin shock di sana.
"Eh sumpah serius lo?"
"Iya dua rius." Reya jadi ikut gemas jadinya, sudah di jawab dengan jujur malah masih ngeyel Dhini itu.
Dhini mendesah masih sepertinya wanita itu masih belum juga sepenuhnya percaya akan apa yang di katakan Reya. "Ya bagaimana ya, soalnya kayak nggak mungkin aja dia naik pesawat di kelas ekonomi."
"Lah buktinya aja tadi bisa." sela Reya di sana.
"Re, rumornya aja bos gue punya jet pribadi loh." Yakali punya jet pribadi malah naik pesawat di kelas ekonomi. Terdengar ngelawak sekali bukan.
Jujur Reya lumayan terkejut mendengar kata jet pribadi yang memang persis seperti apa yang sempat dia pikirkan, jadi sekaya apa sebenarnya orang yang sudah dia tampar itu.
Hiks ...
"Lo boong ya, mungkin lo salah lihat," tuduh Dhini tiba tiba, yang mana langsung membuat Reya naik pitam.
"Mata lo salah lihat, orang dia aja ngajak gue bicara tadi." Reya sedikit mengeluarkan suara kerasnya, yang sampai membuat supir taxi yang dia naiki menoleh sedikit ke belakang, mungkin kaget akibat suara melengking Reya tersebut. Tapi sungguh, bagaimana bisa Dhini setidak percaya itu, di saat Reya sudah mengalami kegiatan tertekan sangat tadi. Lihat sekarang bahkan dia sudah bau badan akibat banyak sekali mengeluarkan keringat di sana.
"Ya siapa tau, cuma lo jangan ngegas elah." Dhini tak terima di teriaki oleh temannya, padahal kalau tuduhannya tidak benar dia juga tidak masalah sih.
Reya memanyunkan bibirnya lagi di sana. "Lo sih nggak percaya sama gue,"
"Ck ... Percaya kok percaya," Bukannya Dhini tidak percaya loh, dia pasti dan akan selalu mempercayai temannya itu, hanya saja dia kan tadi agak sedikit shock merasa tidak mungkin saja fakta tentang bosnya. Kalau kenyataannya memang begitu, ya sudah sih.
"Tapi yang penting aman kan?" lanjut Dhini bertanya dengan sungguh sungguh.
Reya pun mengangguk, "Aman, nggak ketahuan, gue sembunyi nya pinter soalnya." Pinter? Haha, belum tau saja Reya bagaimana fakta sebenarnya.
"Syukur deh kalo gitu." Dhini ikut menghela nafas syukur jika begitu adanya.
"Hu'um, moga aja nggak ketemu lagi. Bali kan luas." Reya berharap sekali tentang hal tersebut. Pasti tidak juga kalau menurut Reya. Tidak mungkin mereka akan terus bertemu seolah ada yang menyeting seperti apa yang dia pikirkan sebelumnya.
Dhini mengangguk setuju meski tanpa di ketahui Reya. Pemikiran dia dengan Reya juga sama persis. "Hooh. Nggak mungkin juga nanti kalian ketemu, kalo sampe ketemu lagi gue sumpahin kalian jodoh!"
Eh ...
"WOY!" Reya sontak berteriak keras tak terima, sungguh dia amat terkejut mendengar ucapan temannya tersebut. Ya nyumpahin jangan seperti itu juga lah.
Dhini meringis bingung, kenapa pula temannya itu emosi berlebihan, lebai sekali, padahal dia hanya bercanda. Meski begitu Dhini tidak mungkin mengatakan hal tersebut, bisa bisa mengamuk berat temannya itu. "Enggak enggak canda doang. Lagi pun jodoh juga kenapa sih, ganteng tajir pula gitu."
Reya memberenggut marah, jelas dia sangat tidak setuju akan candaan yang Dhini lontarkan. Bagaimana jika tuhan khilaf dan malah mengabulkannya, bisa mampus Reya nanti. "Nggak! Gue nggak mau nikah, terlebih itu bos elo."
Dhini menghela nafas pasrah, jika ucapan penuh keyakinan sudah Reya katakan berarti memang tidak akan bisa di ganggu gugat, dari pada nanti terjadi cek cok berat. Dia memilih mengiyakan saja pasrah, terserah apa mau temannya tersebut. "Astaga. Ya udah ya udah, kalo gitu udah dulu ya. Gue mau kerja lagi, soalnya ini gue lagi di toilet." pamitnya sekalian, mengingat memang ketika di telefon Reya tadi dia masih di jam kerja, makanya di memilih pergi ke toilet.
"Iya udah iya," Reya mengerti kalau temannya tersebut memang tengah bekerja, jadi dia tidak boleh egois untuk tetap meminta telefonan.
"Okay, gue tutup." ucap Dhini lagi untuk terakhir kali.
"Hm iya."
Dan akhirnya, sambungan telefon pun terputus di sana. Yang membuat Reya segera menurunkan ponsel dari samping telinganya dan mulai menyimpan kembali di sling bad yang dia pakai.
Reya yang mulanya terus menatap ke luar jendela sampung pun memutuskan untuk menoleh, dan melihat pada pria paruh baya yan tengah menyetir tersebut. Jujur Reya merasa bersalah karena sempat mengganggu ketenangan pria itu, makanya Reya berniat meminta maaf di sana. "Maaf ya pak, saya berisik barusan."
Pria paruh baya tersebut sepertinya mendengar ucapan permintaan maaf yang reya katakan, terbukti dari matanya yang menatap ke arah spion depan itu _untuk melihat Reya yang duduk di belakang_.
"Iya nggak apa apa kok mbak," jawab pria paruh baya tersebut seraya tersenyum sopan, jangan lupakan nada aksen balinya masih sedikit terdengar.
Setelah itu tak ada percakapan lagi di sana. Reya memilih menunggu perjalanan sambil melihat pemandangan luar dari yang mulanya kota, menjadi mulai sedikit naik ke pegunungan, meski tidak lama sih. Walau pun begitu di samping kanan dan kiri juga banyak terdapat tempat tempat penginapan.
Akhirnya setelah kurang lebih lima belas menit Reya melanjutkan perjalanan tersebut, dia pun telah tiba di lokasi yang di tuju, yakni resort paling dia idamkan. Bayangkan jika suatu saat dia memiliki rumah atau mungkin villa deh dengan lokasi seperti ini, hm, bisa mati berdiri Reya itu saking senangnya. Eh tidak mati deng, Reya harus hidup untuk menikmati keindahan dan kemewahan tersebut.
Reya turun dari taxi setelah membayar pada bapak supir tadi dengan semestinya.
Hanya saja dengan tiba menginjakan kaki di pelataran resort saja, entah kenapa Reya bisa begitu senang pake banget seperti itu, dia bahkan sampai melupakan sedikit permasalahannya tadi. Yaitu tentang pertemuannya dengan bos Dhini itu.
Huwaaa ... akhirnya, Reya kira dia tidak akan bisa se-happy ini setelah ada hal yang menyebalkan tadi. Tapi ternyata dia tetap senang pakai banget di sana.
Reya pun masuk ke dalam area resort, dan langsung menuju tempat administrasi yang di sediakan. Setelah menyelesaikan dan menunjukan bukti booking dan lain sebaginya. Akhirnya Reya di beri kartu akses untuk menuju tempat yang dia pesan itu. Jujur ini pertama kalinya dia mengambil yang paket premium room, karena pertama tidak ada sisa lain kedua juga karena dia ingin menikmati fasilitas yang lebih mewah dari yang dia tempati dulu. Macam ranjang dan lain sebagainya lebih luas dan bagus.
Reya pun sampai, dan pertama kali yang dia lakukan setelah membuka pintu tersebut, dia langsung bersiul senang, lalu mengamati keseluruhan ruangan. Seperti dugaan semua nampak mewah nan elegan, terlebih juga luas. Di kamar itu juga memiliki dua ranjang yang berhadapan, di mana telah beri skat sebuah kayu garis garis berjarak 5 senti setiap kayunya, tapi tetap saja jika ada yang tidur di kedua sisi akan bisa melihat masing masih di sana.
Reya berlari senang lebih masuk ke dalam, meletakkan kopernya di lantai begitu saja. Dan melanjutkan melihat lihat sedetail mungkin ruangan yang akan dia tempati beberapa hari ke depan.
Untuk kamar yang pertama bisa langsung terhubung dengan mini balkon, mungkin hanya 1 meter saja ke depannya, sedangkan untuk kamar yang satunya terdapat dinding kaca yang bisa di geser dan langsung bisa keluar untuk menikmati lebih lanjut, yakni terdapat kolam renang dua skat untuk dewasa dan anak anak, dan juga di ujung pojok terdapat dua kursi santai untuk menikmati pemandangan sunset maupun sunrise. Wow ... Reya jelas tidak merasa rugi jika menerima fasilitas seperti ini meski dia harus membayar begitu mahal.
Reya berlari lagi ke dalam, untuk mengambil tas selempang yang sempat dia lempar asal ke ranjang. Dia harus mengambil foto dan menguploadnya ke i********: nanti.
Dan setelah mendapat barang yang dia inginkan yakni ponsel. Reya pun kembali ke luar dengan kesenangan yang masih tak juga reda itu.
Dia duduk di sofa bulat di samping pintu kaca, lalu mulai membuka aplikasi kamera untuk memotret tempat itu, dan juga dirinya sendiri tentu saja. Meski apek apek dan kecut karena banyak berkeringat ini, style Reya masih kecil untuk di foto foto cantik.
Setelah merasa puas dengan semua hasil jepretannya, dia pun masuk lagi ke dalam untuk mengambil makanan yang memang di sediakan oleh pihak resort di sana, tadi sih dia melihat itu.
Dan benar bukan, di meja itu dia langsung mendapati 2 set makanan, satu makanan penutup dan satu minuman. Dengan wajah yang berbinar cerah dia pun langsung mengangkat semua piring makanannya untuk di bawa ke luar, ke sofa bulat samping pintu kaca tadi.
Tak lupa untuk memotretnya dahulu, jarang jarang loh Reya bersikap seperti ini, karena kalau biasanya sih dia orang yang paling malas memotret makanan karena sudah tidak sabar untuk menyantapnya.
Tidak lama dia memotret, Reya akhirnya mulai menyantapnya.
"Hm, surga dunia," ocehnya tiba tiba ketika spaghetti tersebut masuk ke dalam mulutnya, bukan itu saja sebenarnya yang membuatnya teramat senang, yakni pemandangan di depan sana lah inti dari kesenangannya. Sungguh Reya merasa sangat damai sekarang.
Apa itu stress?
Sepertinya Reya memang sampai sepenuhnya melupakan rasa suntup nan kesalnya tadi.
Reya menikmati duduk di sana sekitar 2 jam lamanya, mulai dari menghabiskan makanan dan berjalan jalan kesenangan sampai ke ujung pinggir. Agak ngeri sebenarnya karena bawahnya langsung jurang dalam dan pinggiran hanya di batasi dinding kaca sepinggang. Hm bisa di bilang tempat itu kurang cook jika di peruntukkan untuk anak kecil, karena memang sangat bahaya.
Setelah cukup merasa puas Reya sepertinya harus melakukan kegiatan lainnya, yakni mandi tentu saja, sejak awal dia sudah cukup kegerahan dan bau badannya pasti sangat tercium.
Dia kembali ke dalam kamar, dia berniat untuk mandi di kamar mandi luar, di mana walaupun berada di luar tempat itu tidak akan bisa di jangkau mata mata dari mana mana, kecuali jika ada orang iseng menggunakan drone, jelas pasti akan terlihat. Tapi sepertinya pihak resort sudah menjamin keamanannya.
Reya berjalan menuju kopernya itu, dan berlanjut membukanya di lantai, dia melihat lihat baju apa yang sekiranya dapat dia pakai malam ini. Karena malam ini sepertinya Reya memutuskan untuk tidak kemana mana dahulu, akan lebih baik jika dia menggunakan pakaian santai saja, pakaian kebangsaan ketika sendirian Reya tentu saja, crop tank top dan celana pendek.
Dia mengeluarkan beberapa pakaian beserta dalamannya dan meletakkan di ranjang.
Lalu dia malah menyetel musik santai dahulu sebelum melanjutkan kegiatannya mandi.
Tidak terlalu keras, tapi cukuplah untuk suaranya bisa memenuhi pendengaran Reya.
"Hmm Hmm ..." Reya bersenandung riang menikmati alunan musik di sana, karena gemas dia sampai jingkrak jingkrak sendiri.
Tidak berangsur lama dia akhirnya mulai melepas pakaian yang dia kenakan, mulai dari outer, tank top dan celana tentu saja. Dan hanya menyisakan celana dalam dan kain pembungkus dua melonnya saja _yakni branya_, yang mana hal itu langsung menampakkan bagaimana ke indahan tubuh Reya dari ujung kepala hingga ujung kaki, apalagi saat ini Reya tengah mencepol rambunya tinggi tinggi dan memperlihatkan tengkuk mulusnya.
Dia memang melepas pakaian seraya melihat pemandangan depan sana, seolah sama sekali tidak takut jika benar ada drone yang mengintip.
Hanya saja tiba tiba Reya sayup sayup seperti mendengar sesuatu yang bertabrakan dengan musiknya yang terputar. Tapi di tidak menanggapinya lebih, dan malah asyik menatapi lautan sana untuk beberapa saat.
Hingga akhirnya ketika dia sudah puas, dia pun berbalik hendak mengambil handuk yang biasanya di letakkan di lemari.
Namun baru juga dia membalik badan ...
DEG ...
Dia langsung di buat melongo dan membulatkan mata lebar lebar akibat terkejut di sana. Sumpah saking terkejutnya, bahkan Reya lupa untuk memekik, suaranya macam tercekat di tenggorokan saja.
Jantung Reya berdegup tak karuan, dia shock bukan main, tapi di sisi lain dia juga bingung tak mengerti dengan situasi di sana. Dia seolah linglung.
Reya mungkin awalnya berfikir dia yang terlalu berhalusinasi, tapi jelas wajah datar itu sudah bisa mengatakan kalau semuanya persis dan nyata.
Dan tepat ketika mata tajam itu mulai beralih menurun Reya pun ikut melihat ke arah tatapannya.
"Kyaaa ..."
Sontak saja Reya memekik keras keras, dia bahkan tidak tau bagaimana kondisi mukanya saat ini, dia tidak memperdulikannya lagi. Apalagi dia juga langsung berusaha menangkup kedua aset melonnya dari pandangan mata jahat berwajah datar di depan sana.
Merasa tidak cukup, karena mata itu masih menatapnya dengan wajah yang juga masih datar, Reya langsung saja melompat menuju ranjang dan membungkus tubuhnya tersebut menggunakan selimut putih nan tebal itu, tidak membiarkan mata tajam di sana kembali menatapnya lagi.
Reya bahkan masih menjerit juga saat ini. Antara shock dan merutuki kebodohannya malah linglung dan membiarkan tubuhnya di nikmati oleh mata tajam itu, Sial, Reya lupa kalau hanya mengenakan celana dalam dan branya saja akibat terlalu terkejut.
Dan lagi bagaimana bisa raut wajah itu masih sama sekali tak berubah walau telah melihat sesuatu yang seharusnya tidak di lihat pada diri Reya.
Terlebih bukan itu saja sebenarnya ...
Bagaimana ... Bagaimana bisa pria itu sampai di sini?
Bos Dhini, orang pemicu stress nya, juga orang yang selalu tidak sopan terhadapnya ...
Ronaldo Rivendra ... Bagaimana bisa dia masuk ke dalam kamar ini!
Huwaaa ...