POV VITTORE.
Aku menunggu kepergian Daddy ku, di dalam kamar milik Raline, kami tak henti mendengarkan apa yang di katakan Daddy kepada Zalina. Aku cukup mengasihani dirinya, Daddy memang seperti itu. Daddy selalu berusaha menghalalkan segala cara untuk tercapainya keinginan dirinya, apapun itu yang terpenting adalah tercapainya segala apapun yang di inginkan olehnya.
“Kak Vittore,” panggil Aline.
“Ya kenapa?” tanyaku pada Aline.
“Sepertinya mereka sedang berdebat, namun aku mendengar sepertinya kakak melawan apapun yang di ucapkan oleh Ayah mu.” ujar Aline.
“Baguslah, Zalina memang harus seperti itu. Ia harus bisa menjadi wanita yang tangguh,” sahutnya.
“Kak Vittore,” Panggil Aline kembali.
“Iya,” jawabnya sembari menatap wajah Aline.
“Kau menyukai kak Zalina ya?” tanya Aline kembali.
Entah apa yang harus aku jawab, aku terdiam mendengar pertanyaan aneh yang di lontarkan oleh Aline. Langkah kaki Zalina pun terdengar menghampiri kami, dan benar saja, pintu pun di buka olehnya.
“Syukurlah, dia sudah pergi.” ucap Zalina.
“Apa yang dia katakan?” tanya ku pada Zalina.
“Dia tetap memaksa ku untuk menikah dengan nya, dia juga bertanya kepada ku siapa yang saat itu membantu ku pergi dari rumah nya.” jelas Zalina.
“Dia hanya bertanya seperti itu?” timpal Raline seraya bertanya, wajahnya terlihat menunjukkan bahwa dirinya sangatlah tidak menyukai sosok Daddy.
“Lalu kau jawab apa?” tanya ku kembali.
“Aku katakan bahwa aku pergi sendiri di saat waktu yang tepat,”
“Baguslah,” jawab ku sembari berjalan keluar dari dalam kamar Aline, Zalina maupun Raline terlihat mengikuti langkah ku. Aku pun segera duduk di atas sofa, begitupun dengan Zalina yang duduk di sampingku.
“Aku hanya ingin kau mendengarku,”
“Apa Vittore?” tanya Zalina.
“Kau harus tetap menjadi Zalina yang tangguh, pernikahan ayah ku dengan gadis-gadis muda tak akan bahagia dengan waktu yang lama. Dan bukan hanya kau saja yang aku halangi,” jelas ku padanya.
“Kalaupun kau tidak menghalangi ku, aku tetap tidak mau dengan nya.”
Aline menimpali Zalina, “Dia bukan lelaki yang baik, dia menghina Kak Zalina namun ingin menikahi kakak.” Celetuknya, dia pun segera menatap wajah ku.
“Maaf kak Vittore, aku lupa kalau lelaki tua itu adalah ayah mu.” ujar Raline kembali.
“Tidak apa-apa, tenanglah. Apa yang kau katakan memanglah benar,” ujar ku sembari tersenyum.
“Vittore bisakah kau membantu ku?” tanya Zalina kepadaku.
“Apa Zalina? Semoga saja aku dapat membantu mu,” ucap ku seraya bertanya.
“Begini, aku akan berangkat untuk bekerja. Dan aku sangatlah menglhawatirkan Aline,” ucap Zalina.
“Apa yang harus aku lakukan Zalina?” tanya ku kembali.
“Apakah kau mau menemani Aline sampai nanti Aline tertidur?” tanya Zalina, “Aku takut jika Aline tidak dapat tertidur jika tidak ada teman yang menemaninya?” tambah Zalina.
Aku pun berpikir sejenak, “apa kau tak takut jika aku memperlakukan adik mu macam-macam?” tanya ku.
Zalina menatapku, “aku percaya kepada mu dan kau pasti tidak seperti ayah mu,” ujar Zalina.
“Apa kau mau aku antar terlebih dahulu?” tanya ku padanya, aku hanya dapat mendukungnya serta memperhatikan apapun yang akan dilakukannya. Aku pun berniat untuk tetap melindunginya, entah mengapa aku ingin melakukan itu. Mungkin karena aku tidak mau jika wanita sebaik dan sesabar Zalina tersakiti oleh macam lelaki Daddy ku, dan aku berusaha untuk tetap menjadi Vittore yang sudah seharusnya bertanggung jawab.
Zalina menggelengkan kepalanya dengan pelan, “Tidak usah, aku tidak mau banyak merepotkan mu. Dan nanti jika Aline sudah tertidur, kau boleh menguncinya dari luar. lalu, simpanlah kuncinya di bawah pot bunga besar itu.” tunjuk nya pada salah satu pot bunga yang berada di teras rumahnya.
Aline mengerutkan dahinya, “Aku sudah bilang kan, kakak tidak usah kembali bekerja bersama Morin.” keluh Aline kembali.
Zalina menatap Aline, ia juga mengusap lembut pipi Aline.
“Kau tak usah takut, aku bisa menjaga diriku Aline. Aku sangat membutuhkan uang, apa kau mau rumah ini di sita jika kita tidak bisa membayar sisa hutang Ibu.”
“Tapi Aline merasa khawatir kak.” keluh Aline kembali.
“Tidak perlu khawatir, tugas mu saat ini adalah belajar dan kelak kau akan mendapatkan pekerjaan yang baik. Tidak seperti kakak,” ucap Zalina, ia berusaha membujuk adiknya dan membuat Adiknya tidak terlalu mengkhawatirkan dirinya.
Aline menatap ku, “Baiklah, pergilah sana. Minta antar saja kepada Kak Vittore,” ucapnya ketus.
Zalina memegang kedua pipi Aline, air matanya sudah ia bendung dan tak ingin menunjukkan kesedihan nya di hadapan adiknya itu.
“Doakan kakak ya, kakak ikhlas jika harus bekerja untuk membuat sekolah mu sukses. Kakak hanya meminta, jadilah anak yang baik.” ucapnya kembali, Aline hanya menundukkan kepalanya. Ia terlihat bersedih karena mengetahui kakaknya kembali bekerja di dalam Bar itu, apalagi rasa takut Aline sangatlah besar.
“Ya sudah kakak pergi dulu ya,” ucap Zalina.
Tanpa menjawab, Aline pun terlihat berjalan meninggalkan kami. Ia masuk kedalam kamarnya, lalu menutup pintu dengan dorongan yang cukup keras. Kami berdua pun memperhatikan tingkah Aline, lalu Zalina beralih menatap ku. Tatapan sayu pun di berikan untuk ku, “Vittore aku berangkat dulu ya,” ucap Zalina.
“Biar aku antar Zalina,” tawar ku padanya.
“Tidak usah, aku hanya meminta kau menemani Aline.” tolaknya.
“Aku tidak mau, jika dirimu tidak mau menuruti keinginan ku.” ucap Vittore.
“Baiklah, tapi kau janji akan menjaga Aline.” rengeknya padaku, aku menganggukkan kepalaku dan segera mengantarkan Zalina untuk pergi.
Aku berjalan bersamanya menuju tempat dimana aku memarkirkan mobil milik ku, langkah Zalina begitu berat. Sesekali ia menatap rumah nya yang kini sudah lumayan jauh dari pandangan kami, aku sengaja menarik tangannya, aku genggam tangannya yang terasa sangat dingin itu.
“Pulang jam berapa nanti?” tanya ku padanya.
“Baru juga pergi, udah di tanya pulang.” sahut Zalina tersenyum.
“Ya enggak gitu juga,” seruku sembari tersenyum kecil, aku melihat Zalina tersenyum dengan sangat manis. Entah mengapa aku melihat bahwa Zalina membalas celotehan ku dengan memberikan senyumannya, “Gitu dong senyum, jadi kelihatan cantik nya.” Pekik ku kembali.
Dia menepuk lengan atas ku, “Kamu bisa aja buat aku malu,” ujar nya kembali.
“Gak usah malu-malu, anggap kamu lagi ngobrol atau meminta bantuan dari seorang kakak.” ucap ku menyahuti kalimatnya, Zalina mengalihkan pandangannya tepat memandangku.
Kami pun masuk kedalam mobil, ia duduk dengan sangat manis.
“Zalina,” Panggilku sembari menatap wajahnya.
“Kenapa?” tanya Zalina.
“Apa kamu mau tau, sebenarnya dulu, aku selalu bermimpi memiliki adik perempuan.” ucap ku.
“Tapi?” tanya Zalina.
“Tapi selalu tak kesampaian,” pekik ku kembali.
“Ya Tuhan, sekarang kan kau punya aku dan Aline. Kau bisa menganggapku adik mu, bukankah itu asyik.” ucap Zalina.
“Ya, memang sangat Asyik.” sahut ku, aku mulai menyalakan mesin mobil ku. Di dalam perjalanan menuju Bar tempat nya bekerja, aku mencoba mencairkan suasana dengan memutarkan lagu dengan genre klasik yang sangat aku sukai dan ternyata Zalina mampu menyayikannya. Dia bernyanyi untuk ku dan aku sangatlah menikmatinya, dia bernyanyi dengan merdu dan aku benar-benar menyukai alunan suara yang ia alunkan, sungguh membuatku merasa nyaman saat mendengar suaranya.
“Ini lagu kesukaan Ayah,”
“Oh ya?” tanya ku.
“Mmm, Iya.” jawab nya singkat.
“Selera kita dan Ayah mu sama ya,” ucap ku.
“Dulu aku selalu belajar bernyanyi dengan ayah dan bagiku Ayah adalah guru pertama ku,” ungkapnya, “rasanya ingin sekali mengulang waktu itu semua,” ungkapnya kembali.
“Waktu memanglah sulit untuk diputar kembali Zalina, kenangan yang indah memang akan tersimpan di dalam relung hati kita. Tapi kau harus bersyukur, setidaknya di dalam keasederhaan ayah mu, kau masih dapat banyak belajar darinya.” jelas ku, “Tidak sepertiku,” tambah ku.
“Memangnya kau kenapa?” Tanya Zalina.
“Daddy cuek, sedari kecil hanyalah pelayan yang menemani ku.”
“Ibu mu?” tanya Zalina sembari mengerutkan dahinya.
“Ibu ku pergi meninggalkan ku,”
“Sama dong,” sahutnya singkat kembali.
“Maksud mu Zalina?” tanya ku padanya.
“Kasusnya mungkin sedikit berbeda, ibuku meninggalkan ku beberapa tahun lalu.” jawab Zalina.
“Itu artinya tidak sama, aku ditinggalkan sedari kecil sekali.” ucap ku.
“Ya sedikit berbeda, tapi sama kan sosok Daddy mu itu dan Ayah ku yang berjuang mengurus serta membesarkan kita sebagai anaknya,” timpal Zalina menyela kalimat ku.
“Ya sih,” jawab ku mengakhiri percakapan kami, “ini parkir sebelah mana Zal?” tanya ku kembali.
“Gak usah Vittore, biar aku turun disini saja. Masuk Bar nya tinggal jalan kaki sedikit,” tolak Zalina, ia seakan merengek meminta ku menurunkannya di luar parkiran Bar. Sebenarnya aku ingin sekali masuk bersamanya, namun sepertinya ia akan merasa risih jika seperti itu dan akhirnya aku pun menghentikan laju mobil ku, ia pun keluar dari dalam mobil ku dan berpamitan kepadaku.
“Jangan lupa temani Raline,” ucapnya kembali.
“Siap Bos.” jawab ku sembari tersenyum, Zalina berjalan masuk seorang diri. Dari jauh aku pun menatap langkahnya, aku mulai melihat beban berat yang tersirat di belakang punggungnya, apalagi pekerjaan nya ini adalah pekerjaan yang membuatnya sedikit merasa trauma. Namun ia mencoba menghadapi nya dengan senyuman yang melekat di wajahnya, mungkin demi masa depan Adiknya dan juga masa depan dirinya.