Aku terdiam sepanjang jalan mendengar cerita Abraham Xander yang sangat tidak terduga. Aku juga tidak menyangka jika ia adalah pria waktu itu berbicara ketus dengan wajah datar padaku. Saat itu aku tidak memperhatikan wajahnya, jadi aku tidak ingat persis bagaimana wajahnya 10 tahun lalu. Yang masih teringat di benakku, cara bicaranya 10 tahun lalu tidak berbeda dengan saat pertama kali bertemu Abraham Xander beberapa tahun lalu. Wajah yang acuh tak acuh memberikan aura dingin dan berbicara dengan ketus, sangat menjengkelkan jika tidak mengenalnya lebih dekat. Namun setelah mengenalnya semakin lama aku menyadari, dibalik sikap dinginnya ia memiliki hati yang lembut. Aku tersenyum hangat padanya sambil memeluk tubuhnya yang berjalan di sampingku, “Apa menurutmu aku adalah wanita