PART 1. Dipaksa Papa
Suara jam dinding di ruang kerja Adrian Hartono terdengar jelas di antara keheningan yang menegangkan.
Setiap detiknya seperti memukul d**a Winona Pradellisa Hartono yang berdiri di depan meja kerja sang papa dengan wajah bingung sekaligus marah.
"Papa bisa ulangi lagi?" Suaranya bergetar, tapi tatapannya tajam. "Papa barusan bilang aku harus menikah menggantikan Mischa?"
Adrian mengangkat pandangan dari berkas-berkas di hadapannya. Wajahnya tegas, rahangnya mengeras seperti batu. "Iya, benar. Minggu depan kamu akan menikah dengan Abimanyu Putra, cucu dari sahabat kakeknya Mischa."
Winona tertawa kaku, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar.
"Papa bercanda 'kan? Aku menikah dengan siapa tadi namanya? Abimanyu? Papa bahkan tahu siapa dia?"
"Seorang pria desa. Keturunan keluarga yang dulu punya hubungan baik dengan kakek Mischa," jawab Adrian singkat.
"Kakek Mischa sudah berjanji sejak lama pada keluarga Abimanyu. Mischa menolak perjodohan itu, maka kamu yang akan menggantikannya."
Winona terpaku.
Beberapa detik ia hanya bisa menatap sang ayah, berusaha memastikan kalau ini bukan lelucon absurd.
"Aku?" Suaranya meninggi. "Papa meminta aku menikah dengan pria desa itu, hanya karena Mischa menolak? Papa sadar tidak kalau perjanjian itu bahkan dibuat oleh kakek kandungnya Mischa, bukan kakekku!"
Adrian menatap putrinya dalam-dalam.
"Tidak ada bedanya. Kamu bagian dari keluarga ini, Winona. Kamu tinggal di rumah ini, menikmati harta keluarga ini, menikmati semua fasilitas yang Papa sediakan. Jadi, kamu juga harus ikut tanggung jawab."
"Tanggung jawab?" Winona nyaris berteriak. "Papa menyebut pernikahan konyol ini sebagai tanggung jawab? Aku bahkan tidak tahu siapa Abimanyu itu! Aku bukan Mischa, Papa! Aku bukan anak dari istri Papa yang--"
Tamparan keras mendarat di pipinya sebelum kata-katanya selesai.
Suara itu bergema, membuat tubuh Winona bergetar.
"Jaga bicaramu!" bentak Adrian. "Kamu tidak berhak bicara seperti itu di hadapan papamu!"
Air mata gadis itu mengalir tanpa bisa ditahan.
"Kalau memang aku anak Papa, kenapa Papa selalu memperlakukan aku seperti orang luar? Kenapa setiap kali ada masalah di keluarga ini, aku yang harus disalahkan?"
Adrian menatapnya tanpa raut penyesalan sedikit pun.
"Papa pikir ini adalah jalan terbaik untuk kamu. Sebagai anak perempuan tertua, kamu yang akan mengambil alih tanggung jawab ini."
Winona tertawa getir. "Papa tahu aku tidak punya siapa-siapa. Itu sebabnya Papa pikir aku bisa Papa korbankan kapan pun."
Winona berbalik, hendak keluar dari ruangan itu, tapi suara papanya menghentikan langkahnya.
"Kalau kamu menolak, Papa tidak akan mengakui kamu sebagai anak Papa dan bahkan saham yang kakek titipkan atas namamu. Semuanya akan kembali ke perusahaan."
Nada Adrian dingin, datar, penuh ancaman.
Winona menatapnya, matanya memerah.
"Papa mengancam aku?"
Adrian berdiri dari kursinya.
"Papa tidak mengancam kamu," katanya. "Papa pikir kamu masih belum sadar, Winona. Semua ini demi menjaga nama baik keluarga. Kakek Mischa dulu berjanji kepada keluarga Abimanyu."
"Jadi, ini semua hanya karena nama baik?" Winona membentak dengan suara serak.
"Papa rela mengorbankan kebahagiaan anakmu sendiri hanya demi seseorang yang tidak ada hubungan darah denganku."
Adrian berjalan memutar meja, berdiri di depan Winona, menatapnya lurus tanpa ragu.
"Papa tidak peduli kamu mau berpikir seperti apa, tapi yang pasti kamu tidak bisa menolak."
Winona menggeleng pelan, napasnya tersengal karena marah yang tertahan.
"Aku tidak akan menikah dengan orang yang bahkan belum pernah aku lihat. Aku tidak mau hidup dengan orang asing, Papa. Aku bukan boneka yang bisa Papa pasangkan dengan siapa pun hanya karena kesepakatan bodoh!"
"Kamu pikir Papa mau melakukannya?" Suara Adrian meninggi. "Kamu pikir kamu harus sadar kenapa Papa seperti ini. Ini karena perbuatan kamu sendiri."
Winona menatapnya heran. "Apa yang aku perbuat? Aku bahkan tidak tahu salahku di mana."
Adrian memejamkan mata sebentar, lalu berkata pelan tapi menusuk,
"Celine."
Nama itu membuat darah Winona seolah berhenti mengalir. Gadis itu terdiam, menatap papanya dengan dahi berkerut.
"Celine?" ulangnya tak percaya. "Papa menyinggung Celine? Kecelakaan itu murni tidak sengaja, Papa! Aku sudah meminta maaf Pada keluarga Celine dan aku sudah bertanggung jawab. Aku juga mengalami luka saat itu."
"Tapi kamu tetap penyebabnya!" seru Adrian. "Kalau bukan karena kamu yang meminjamkan mobil tanpa izin, semua ini tidak akan terjadi. Papa sudah cukup menutupinya dari media agar nama baik keluarga tidak rusak. Jadi sebagai gantinya, kamu akan menikah dengan Abimanyu.”
Winona menatapnya tanpa percaya.
Jantungnya berdegup kencang, matanya berair, suaranya pecah.
"Papa, jadi ini sebenarnya bukan tentang janji kakek Mischa, ya? Ini tentang Papa yang ingin menebus kesalahan keluarga lewat aku, karena aku dianggap aib yang harus menanggung semuanya."
Adrian menunduk sesaat, lalu berkata lirih, "Kamu boleh menganggap Papa kejam. Tapi inilah satu-satunya cara untuk memperbaiki segalanya. Abimanyu anak yang baik. Dia akan menerimamu, dan kamu akan belajar menghargai hidup dengan kehidupan yang sederhana."
Winona tertawa kering, suaranya getir.
"Hidup sederhana? Papa pikir aku tidak tahu siapa Abimanyu itu? Seorang petani miskin yang tinggal di desa? Papa ingin anak perempuan Papa yang lulusan luar negeri menikah dengan petani, hanya demi menjaga nama keluarga?"
Adrian tidak menjawab. Wajahnya kaku, tanpa ekspresi.
Winona berjalan maju, menatap mata ayahnya dengan tajam.
"Baik, Papa. Kalau Papa pikir uang dan nama baik lebih penting dari kebahagiaan anak sendiri, silakan. Tapi, jangan harap aku akan ikhlas. Aku akan menikah, tapi jangan salahkan aku kalau nanti Papa menyesal."
Winona berjalan keluar ruangan, menahan air mata yang jatuh satu per satu di pipinya.
Langkahnya terdengar berat di lantai marmer, seolah tiap langkah menginjak harga dirinya sendiri.
Begitu pintu tertutup, Adrian menghela napas panjang.
Pria itu duduk kembali di kursinya, menatap foto lama di mejanya, foto dirinya bersama mendiang istri pertamanya, mamany Winona.
"Maafkan Papa, Naya," gumamnya pelan. “Kalau ini satu-satunya cara untuk menebus kesalahan kamu."
Winona mengurung diri di kamar sepanjang malam.
Air matanya tak berhenti menetes, membasahi bantal yang kini penuh noda mascara.
Gadis itu menatap cermin besar di hadapannya, melihat pantulan wajah yang dulu selalu tampak kuat kini tampak hancur.
"Dipaksa menikah dengan petani miskin." Winona berbisik pelan, seolah ingin meyakinkan diri kalau hal itu benar-benar nyata.
Tangannya meremas sprei putih di tempat tidur.
"Papa pikir aku bisa bahagia dengan hidup seperti itu?"
Winona berdiri, melangkah ke jendela besar kamarnya, menatap lampu-lampu kota dari lantai atas rumah mewahnya.
Udara malam masuk melalui celah jendela, dingin dan tajam.
"Papa menang kali ini," ucapnya lirih. "Tapi, aku akan buktikan suatu hari nanti, aku tidak akan jadi beban siapa pun. Aku akan keluar dari bayangan mereka semua."
Hujan turun perlahan, memantulkan cahaya lampu di kaca jendela.
Di balik tirai kamar, seorang gadis berdiri sendiri, terjebak antara harga diri dan takdir yang tidak bisa ia lawan.
Satu hal yang pasti, sejak malam itu, hidup Winona Pradellisa tak akan pernah sama lagi.