bc

Gairah Menggelora Sang Mafia

book_age18+
484
IKUTI
3.7K
BACA
dark
contract marriage
family
HE
arranged marriage
mafia
heir/heiress
drama
sweet
lighthearted
serious
office/work place
like
intro-logo
Uraian

Diburu karena menyimpan chip warisan berbahaya, Beverlyn Lovandra Vale (28), seorang dokter muda, diselamatkan oleh Oscar Grey Kingston (30)—pemimpin dingin dan penuh rahasia dari klan mafia Black Tiger.

Atas perintah kakeknya, Oscar terpaksa menikahi Beverlyn demi perlindungan dan stabilitas kekuasaan. Mereka sepakat, pernikahan ini hanyalah kontrak. Tidak ada cinta. Tidak ada perasaan.

Namun ketika Beverlyn mulai menarik perhatian pria lain, Oscar yang selama ini bersikap dingin mulai goyah. Cemburu yang tidak diharapkan muncul perlahan, membenturkan logika dan ambisi. Di tengah dunia kelam yang penuh pengkhianatan, darah, dan rahasia keluarga—mampukah cinta tumbuh dari pernikahan yang semula hanya sebuah kewajiban?

chap-preview
Pratinjau gratis
Bab 1: Diburu Penjahat
*** Langkah kakinya menggema di antara gang-gang sempit Marcheline Bay yang malam itu nyaris tanpa suara. Napasnya terengah, tidak teratur, sementara keringat dingin membasahi pelipisnya meskipun suhu musim semi menusuk kulit. Beverlyn Lovandra Vale, 28 tahun, tidak pernah berlari sejauh ini seumur hidupnya. Terlebih lagi sambil membawa tas selempang berisi dokumen, liontin tua, dan satu ponsel dengan layar retak. Ia tidak tahu siapa mereka. Ia tidak tahu dari mana mereka datang. Tapi satu hal pasti—mereka ingin dia mati. Dua puluh menit lalu, listrik rumahnya padam secara tiba-tiba. Ia sempat mengira fuse rumah bermasalah, hingga suara kasar terdengar dari jendela belakang—diiringi denting gagang pintu yang diputar paksa dan langkah kaki berat yang menyusup masuk ke rumah kecil itu. “Dia di dalam! Jangan biarkan dia lolos!” Suara mengerikan itu menggema, membuat jantung Beverlyn seakan hendak melompat keluar dari rongga d**a. Tak menunggu lama, ia menyambar jaket dan tas, lalu melompat keluar lewat jendela samping dapur. Dalam sekejap, ia sudah menyusuri lorong sempit penuh bayangan, berlari ke arah yang bahkan tidak ia kenali. Sepatu flat dan setelan semi-formal yang biasa ia kenakan di rumah sakit sama sekali tidak mendukung pelarian ini. Ia bukan agen rahasia. Ia bukan polisi. Ia hanyalah seorang dokter spesialis jantung muda—dan malam ini, dunia seperti sedang memburunya tanpa alasan yang jelas. Terkadang ia menoleh, hanya untuk memastikan langkah-langkah kasar itu tidak semakin dekat. Tapi kenyataannya—mereka semakin dekat. Terlalu dekat. Kepanikan mulai merayap di kepalanya, menggusur logika. Di tengah usahanya untuk bertahan, Beverlyn terpeleset dan jatuh menghantam tanah kasar. Ia meringis, membekap mulut dengan sebelah tangan untuk meredam suara isak. Tak hanya keringat yang membasahi wajahnya—air mata kini mengalir deras di pipi. Ia takut. Sangat takut. “Ke arah kanan! Dia lari ke arah gang pelabuhan!” Suara itu kembali terdengar, lebih dekat. Lebih ganas. Seolah siap mencabut nyawanya. Beverlyn menahan napas. Dengan pergelangan kaki yang nyeri, ia memaksakan diri untuk berdiri. Gerakannya terseok-seok, tapi ia tetap berlari, menyeret kakinya menuju gang bata yang sempit di kiri dan kanan. Lampu jalan di atas kepala berkelap-kelip, seakan ikut mempermainkan nasibnya. Ia menyelinap masuk ke celah gelap di antara dua bangunan, berharap bisa menemukan tempat untuk bersembunyi. Namun naas—gang itu buntu. Napasnya tercekat. Gang ini ternyata buntu. “Ya Tuhan … aku harus bagaimana sekarang?” bisiknya gemetar. Suaranya lirih, nyaris tak terdengar, namun hatinya menjerit pilu dalam ketakutan yang menggulung. Wajah cantik kian pucat. Ia menoleh ke belakang, dan suara langkah kaki berat itu kini hanya berjarak beberapa meter. Napasnya memburu. Jantungnya berdentam kencang, seolah ingin meledak dari dalam dadanya. ‘Tuhan … kumohon, kirimkan seseorang yang bisa menolongku. Tolong selamatkan aku, Tuhan. Aku tidak mau mati di tangan mereka.’ Pikiran itu meluncur seperti doa panik yang terus-menerus menggema dalam benaknya. Ia bahkan tak tahu apa kesalahannya. Ia tak tahu siapa mereka, atau mengapa kematian dirinya menjadi tujuan mereka. ‘Tuhan, siapapun itu … kirimkan dia untukku. Kumohon … selamatkan aku…' Dalam kepanikan yang menyesakkan, Beverlyn hanya bisa bersandar pada satu harapan: Tuhannya. Tidak ada senjata, tidak ada tempat berlindung, tidak ada teman. Hanya iman yang tipis—tapi tetap ia genggam erat-erat, meski tangannya sudah gemetar. Ia ingin menghubungi seseorang. Rekan sejawatnya, mungkin. Tapi di tengah malam seperti ini, dan dalam situasi seperti ini … tidak. Ia tahu itu bukan pilihan. Ia tidak ingin mereka terlibat. Ini bukan hanya berbahaya—ini mematikan. Pria-pria itu tidak hanya mengejarnya. Mereka membawa senjata tajam. Bahkan, dari celah pintu sebelumnya, ia sempat melihat salah satu dari mereka memegang senjata api. Gambaran itu tak pernah keluar dari kepalanya. Sebagai dokter, ia tahu nyawa begitu rapuh. Tapi selama ini, ia hanya melihat senjata dari layar televisi atau berita. Tidak seperti ini. Tidak nyata. Tidak beberapa meter dari dirinya. Beverlyn semakin terpojok. Seperti gang buntu tempatnya berpijak saat ini—pikirannya pun ikut buntu. ‘Aku harus ke mana?’ tanyanya dalam hati. Bingung. Lelah. Panik. Dan saat Beverlyn siap berbalik, mencoba berlari kembali ke arah sebelumnya meski dengan napas tersisa dan harapan yang nyaris mati … sebuah tangan tiba-tiba menarik tubuhnya keras dari sisi kiri. Ia tidak sempat menjerit. Mulutnya dibekap. Tubuhnya dipeluk erat dari belakang. Seseorang—seorang pria—menyeretnya ke sudut gelap yang tersembunyi di balik tumpukan palet kayu dan tong-tong besi tua. Panik tentu saja. Beverlyn menggeliat. Ia menendang, mencoba melawan, menyikut tubuh pria itu semampunya. Tapi sia-sia. Lengan pria itu keras seperti baja. Tak tergoyahkan. Ia terperangkap, tak bisa ke mana pun. Dan untuk beberapa detik yang terasa seperti seumur hidup, hanya ada satu suara yang memenuhi telinganya—dentuman jantungnya sendiri. “Diam.” Suara itu pelan, tapi tajam. Mengiris udara malam seperti pisau. “Kalau kau mau tetap hidup, jangan bergerak. Jangan bersuara. Jangan berisik.” Napas pria itu berat, terdengar dekat—sangat dekat—hingga hembusannya menyapu daun telinga Beverlyn. Tubuhnya membeku. Suara itu terdengar asing. Dingin. Tidak seperti suara penyelamat … lebih seperti ancaman yang lain. Namun ada sesuatu dalam intonasinya—tegas, tapi tidak panik. Menakutkan, tapi tidak kasar. Beverlyn kaku dalam pelukannya, matanya membelalak, tubuhnya masih menggeliat pelan dalam usaha sia-sia untuk bebas. Air matanya kembali mengalir tanpa suara. Tanpa histeria. Hanya ketakutan murni yang menetes dari sudut matanya yang gemetar. Namun perlahan langkah kaki berat yang tadi mengejarnya mulai terdengar menjauh. Suara sepatu menginjak kerikil gang. Teriakan samar di kejauhan, lalu sunyi. Para pengejarnya melewati mereka begitu saja. Tidak menyadari bahwa mangsanya sedang bersembunyi tepat di balik tumpukan bayangan. Jantung Beverlyn masih berdentam cepat. Tapi pria di belakangnya tetap tenang. Ia tidak bergerak, tidak bicara, tidak melepaskan. Untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya, hanya ada suara napas mereka berdua—saling bersaing, satu panik, satu terkendali. Dan saat bahaya itu mulai mereda, tangan pria itu perlahan-lahan melonggarkan cengkeramannya dari mulutnya. Beverlyn menahan napas. Ia masih belum tahu—apakah pria ini penyelamat, atau justru ancaman baru yang menunggunya dalam gelap? ***

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Shifted Fate

read
691.6K
bc

Chosen, just to be Rejected

read
142.7K
bc

Corazón oscuro: Estefano

read
984.7K
bc

Holiday Hockey Tale: The Icebreaker's Impasse

read
144.7K
bc

The Biker's True Love: Lords Of Chaos

read
313.2K
bc

The Pack's Doctor

read
702.9K
bc

MARDİN ÇİÇEĞİ [+21]

read
809.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook