Bab 2: Siapa Yang Mengganti Pakaianku?

2527 Kata
*** Beverlyn perlahan berbalik. Ia mengangkat wajahnya—dan mendapati pria itu berdiri tegak di hadapannya, lebih tinggi darinya. Pria itu menatap langsung ke matanya. Tatapan gelap, dalam, dan tak terbaca. Cahaya temaram dari ujung gang menyinari sebagian wajahnya—cukup untuk menampakkan rahang tegas, garis mata yang tajam, dan ekspresi tanpa ampun. Tubuhnya dibalut jaket kulit hitam. Celananya gelap. Sosoknya tegap, penuh kendali. Tatapan pria itu begitu menusuk, membuat Beverlyn mundur satu langkah. Tubuhnya bergetar. Ia ketakutan. Ia tidak bisa melihat seluruh wajah pria itu dengan jelas, tapi matanya … sorot mata itu seolah menguliti isi hatinya. ‘Apakah dia juga ingin membunuhku?’ batinnya bergemuruh hebat. Beverlyn menggeleng pelan. Ketakutan. Bibir pucat bergetar. “Tolong … jangan bunuh aku,” isaknya lirih, nyaris tak terdengar di antara napas yang tercekat. “Aku mohon … aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu salahku apa. Jadi kumohon … jangan bunuh aku…” Suara tangisnya tertahan di kerongkongan. Pria itu mendekat satu langkah. Beverlyn langsung mundur. Tangannya gemetar, kakinya nyaris tak berpijak. “Aku tidak akan menyakitimu,” bisik pria itu dengan suaranya berat. “Kita harus keluar dari sini.” “Tapi … tapi aku tidak mengenalmu,” Beverlyn berbisik. Suaranya kian bergetar. “Kamu siapa?” Pria itu menatapnya tanpa berkedip. “Teman dari seseorang yang ingin kau tetap hidup.” Tanpa menjelaskan lebih lanjut, pria itu melirik ke ujung gang. Lalu dengan cepat ia menarik tuas kecil di dinding—membuka pintu besi tersembunyi yang menyatu dengan bangunan tua. “Lewat sini.” Beverlyn masih ragu. Namun suara dari belakang kembali terdengar—langkah kaki berat, dan teriakan kasar, “Cek semua gang! Dia pasti masih berada di sekitar sini!” Tanpa pikir panjang, Beverlyn mengikuti pria itu masuk ke ruang gelap dan lembab. Mereka menuruni tangga besi sempit yang berujung pada lorong bawah tanah. Bau tanah, oli, dan logam tua menyengat di hidung. Beberapa langkah kemudian, pria itu membuka pintu besi lain. Sebuah mobil hitam tanpa plat nomor sudah menunggu di ujung lorong, mesinnya menyala. “Masuk.” Perintah itu singkat. Dingin. “Aku … aku tidak tahu siapa kamu,” kata Beverlyn dengan suara nyaris putus. “Bagaimana aku tahu kamu bukan bagian dari mereka?” Pria itu menatapnya. Tatapannya kini berubah dingin, menusuk serta rahang yang kian mengetat kuat. “Kalau aku bagian dari mereka, kau sudah mati lima menit yang lalu.” Beverlyn menatapnya beberapa detik. Masih bingung. Masih takut. Pria itu menyipitkan mata. Suaranya tajam ketika ia kembali berucap. “Apa kau akan tetap berdiri di sana seperti wanita bodoh dan membiarkan mereka menangkapmu? Masuk … atau akan kuantar langsung ke tangan mereka.” Ancaman itu terlontar seperti geraman—tertahan tapi mematikan. Napas Beverlyn tersendat. Dadanya naik turun tak beraturan. Jari-jarinya gemetar saat hendak meraih gagang pintu mobil. Namun sebelum tangannya menyentuh besi itu—kepalanya mendadak berdenyut. Dunia berputar. Matanya berkunang-kunang. Tubuhnya oleng, tak punya tenaga. Lalu … semuanya gelap. “s**t!” Pria itu mengumpat sambil cepat menangkap tubuh Beverlyn sebelum jatuh menghantam lantai beton. “Wanita ini benar-benar menyusahkan,” desisnya tajam. Dengan satu gerakan cekatan, ia membuka pintu mobil dan mengangkat tubuh Beverlyn ke dalam kabin. Ia sendiri ikut masuk, lalu menutup pintu dan memberi isyarat pada sopir di depan. Mobil itu meluncur pergi, meninggalkan lorong gelap dan segala bahaya yang masih mengendap di sana. ** Pagi itu, suasana kamar terasa sunyi. Cahaya matahari menelusup lembut di antara sela tirai, menyentuh permukaan ranjang berukuran sedang yang terletak di tengah ruangan. Sebuah apartemen sederhana—tidak mewah, tapi bersih dan tenang. Masih berada di kota yang sama tempat Beverlyn tinggal. Tapi bukan rumahnya. Dan jelas bukan tempat yang ia kenal. Di atas ranjang, Beverlyn terbaring tenang. Masih tertidur. Tubuhnya berbalut selimut putih, wajahnya pucat namun damai. Hanya helaan napasnya yang pelan menandakan bahwa ia masih hidup. Namun di lantai, sesuatu menarik perhatiannya. Pakaian yang ia kenakan malam sebelumnya tergeletak di sana, berantakan dan kusut. Pakaian itu jelas berbeda dari yang menutupi tubuhnya sekarang. Beverlyn memakai pakaian tidur yang bersih, ringan, dan nyaman — pakaian yang bukan miliknya. Waktu terus berjalan. Menit demi menit berlalu, hingga akhirnya tubuh di atas ranjang itu menggeliat pelan. Tangannya terangkat, lalu bergerak ke pelipis. Ia meringis sambil memijit sisi kepalanya yang berdenyut. Perlahan, matanya terbuka. Pandangan pertama yang tertangkap adalah langit-langit kamar yang tidak dikenalnya, pencahayaan temaram yang hanya berasal dari sinar mentari pagi dan satu lampu tidur di sisi ranjang. Ruangan itu terasa asing, sepi … dan entah kenapa, terlalu tenang untuk pagi yang datang setelah malam yang begitu brutal. “Uh … sakit…” rintihnya pelan. Suaranya nyaris tak terdengar. Kepalanya berat. Lidahnya kering. Dan tubuhnya terasa seperti baru saja digilas truk. Saat Beverlyn mencoba duduk, tubuhnya limbung. Ia mengedarkan pandangan ke sebelah kanan, mencoba mengenali tempat ini, namun semua terasa asing. Ia tidak tahu di mana dia berada. Dan lebih penting lagi … siapa yang membawanya ke sini? Tiba-tiba, sebuah suara tajam memecah keheningan. “Aku sudah menunggumu bangun sejak tadi.” Beverlyn tersentak—nyaris berteriak. Tubuhnya menegang, napasnya tertahan. Ia menoleh cepat ke arah sumber suara—matanya membulat. Pria bertubuh tegap itu duduk di sebuah sofa tunggal, tak jauh dari jendela kamar. Posisi tubuhnya santai, tapi aura dinginnya menguasai seluruh ruangan. Beverlyn menelan ludah dengan kasar. Tatapannya gugup. Matanya tak berkedip, seolah mencoba memastikan bahwa apa yang ia lihat itu nyata. Pria itu berdiri perlahan, tubuhnya tegap dan tak berbalut atasan. Hanya celana kain hitam panjang yang membingkai siluetnya. Cahaya pagi yang muram menyorot d**a bidang dan perut ratanya, sementara di sisi kiri perutnya, empat tato bintang membentuk jejak vertikal yang mencolok. Kekar. Kokoh. Maskulin. Beverlyn mengumpat dalam hati. Kenapa justru sekarang pikirannya ke mana-mana? Kenapa tubuh pria itu malah mencuri fokusnya saat nyawanya sendiri masih belum aman? Pria itu melangkah mendekat ke ranjang. Beverlyn masih memperhatikan, tak mampu berpaling. Jantungnya berdetak lebih cepat. “Kamu … yang semalam menolongku, kan?” tanyanya dengan suara tercekat. Kata-kata itu nyaris tak terdengar, seperti dipaksa keluar dari tenggorokan yang kering. “Ya.” Jawaban pria itu pendek, datar. Ia menghentikan langkah tepat di sisi ranjang. Satu tangan menggantung di sisi tubuhnya, sementara tangan lainnya dimasukkan ke dalam saku celana. Ia berdiri tegak, tanpa kesan canggung sedikit pun, seolah tubuh setengah telanjangnya adalah bagian dari otoritas yang sengaja dipamerkan. Tidak ada keraguan. Tidak ada sopan santun basa-basi. Yang ada hanya sikap dingin dan percaya diri yang membuat Beverlyn semakin terintimidasi. “Terima kasih … karena semalam kamu sudah menolongku.” Kalimat itu nyaris terdengar ragu. Tapi jujur. Pria itu langsung menimpali, cepat dan dingin. “Aku terpaksa menolongmu.” Beverlyn terdiam. Bibirnya kaku. Matanya terpaku pada wajah pria itu, menunggu kejelasan. “Aku dipaksa. Didesak oleh seseorang … untuk datang menyelamatkanmu. And then … banyak pekerjaan yang kutinggalkan hanya untuk urusan tidak penting seperti ini.” Nada suaranya tetap tenang, tapi ketus. Seperti seseorang yang sedang menjalankan tugas yang tidak ia sukai. Ah, dan kenyataannya memang seperti itu, bukan? Dia tidak suka. Menyelamatkan nyawa Beverlyn semalam adalah sesuatu yang merepotkan baginya. Sungguh kejam. Lalu ia bergerak ke samping ranjang. Tangannya terulur ke arah laci nakas. Ia menarik laci itu tanpa suara, mengambil sebuah map berwarna kuning yang tampak sudah disiapkan sebelumnya. Ia melirik sekilas ke arah Beverlyn, lalu—tanpa banyak kata—melemparkan map itu ke arahnya. Map itu jatuh ringan di pangkuan Beverlyn. “Bacalah.” Nada suaranya tajam namun tetap terkontrol. “Supaya kau tahu … siapa orang yang telah memaksaku datang ke sini untuk menyelamatkanmu.” Beverlyn, di tengah kegugupan yang belum juga reda, segera meraih map yang jatuh di pangkuannya. Dengan tangan yang masih gemetar, ia membuka bagian penutupnya perlahan. Sesekali, matanya melirik ke pria yang masih berdiri di sisi ranjang. Tegap. Diam. Mengintimidasi. Begitu map terbuka, halaman pertama yang ia lihat menampilkan sebuah foto seorang pria tua. Rambutnya sudah seluruhnya memutih. Wajahnya dingin—mirip sekali dengan pria yang tengah berdiri di sisi ranjangnya, namun tampak berwibawa. Di sisi kanan foto itu, tercetak jelas satu nama dalam huruf kapital: MORGAN GREY KINGSTON Beverlyn menahan napas. Orang ini… Nama itu tak asing di telinganya. Bahkan, terasa hangat di hatinya. Sosok yang tak pernah ia temui seumur hidupnya—namun justru menjadi bayangan yang selalu hadir dalam diam. Seseorang yang membiayai kehidupannya, pendidikannya, dan memastikan semua kebutuhannya terpenuhi. Sosok yang melindunginya dari kejauhan. Yang selama ini hanya ia kenal lewat surat-surat dan pesan suara singkat dari perantara. Inilah orangnya. Morgan Grey Kingston. Beverlyn mengangkat wajah. Menatap pria di hadapannya. “Jadi … kamu disuruh oleh Grandpa Morgan untuk menolongku ke sini?” “Iya,” jawab pria itu singkat. Lalu menambahkan, dengan nada datar. “Aku cucunya.” Mata Beverlyn membulat lebar. “Apa?” suaranya nyaris memekik, tapi tertahan di tenggorokan. Yang keluar hanya bisikan gemetar. “Kamu … kamu cucunya Grandpa Morgan?” Pria itu menghela napas, seakan bosan menjelaskan. “Namaku Oscar Grey Kingston. Dan aku dipaksa oleh Morgan untuk datang menjemputmu. Dia ingin kau pergi dari sini … dan menemuinya di New York. Jadi sekarang, kau harus ikut denganku.” Kata-kata itu mengalir tanpa emosi, seolah semuanya hanya tugas, bukan niat. Beverlyn menatap pria itu lama. Pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan. ‘Ya Tuhan … apa benar dia cucu Grandpa Morgan? Tapi kenapa … kenapa sikapnya begitu dingin? Dia sangat berbeda dari Grandpa Morgan.’ Selama ini, meski ia dan Morgan tak pernah bertemu langsung, setiap komunikasi mereka selalu menyiratkan kehangatan. Ada ketulusan. Ada kepedulian. Bahkan dari balik pesan suara pun, Beverlyn bisa merasakannya. Tapi pria ini… Pria ini seolah membencinya. Seolah kehadirannya hanyalah beban yang dipaksakan oleh orang lain. Ia bisa merasakan nada jenuh di setiap kata yang diucapkan Oscar. ‘Dia tidak ingin berada di sini. Dia tidak ingin menolongku. Tapi dia melakukannya … karena disuruh.’ Beverlyn menggigit bibir bawahnya, menunduk. Oscar kemudian melangkah mundur satu langkah. Suaranya kembali terdengar—datar, tegas, dan jelas. “Segeralah bersiap. Kita harus meninggalkan kota ini sebelum siang.” Oscar kemudian keluar dari kamar itu tanpa menutup pintunya rapat. Beverlyn menarik napas panjang, lalu mengembuskannya berat. Pandangannya masih tertuju pada pintu yang ditinggalkan pria itu, sebelum akhirnya ia menunduk menatap map di pangkuannya. Dengan lembut, ia mengusap permukaan foto pria tua yang terpampang di halaman pertama. Morgan Grey Kingston. “Terima kasih, Grandpa…,” bisiknya lirih. “Kau mengirimkan cucumu di waktu yang sangat tepat. Semalam, nyawaku hampir melayang … Tapi dia menyelamatkanku tepat waktu.” Setetes air mata jatuh di pipinya. Segera ia menyekanya, mencoba menguasai perasaannya. Map itu lalu ia tutup rapi dan letakkan di atas nakas. Perlahan, Beverlyn bergeser, hendak turun dari ranjang. Begitu telapak kakinya menyentuh lantai yang dingin, matanya menangkap sesuatu—sepotong kain yang familiar tergeletak di lantai. Refleks, ia menunduk sambil menyibak selimut dari tubuhnya. Detik berikutnya, matanya membelalak. Pakaian yang melekat di tubuhnya … bukan pakaian yang ia kenakan semalam. “Astaga…” gumamnya lirih, napasnya tercekat. Dengan panik, ia bangkit dari ranjang. Langkahnya limbung, hampir terjatuh, tapi ia segera menopang tubuhnya dengan tangan, mencoba menenangkan diri. Setelah berhasil berdiri tegak, ia meraih pakaian lamanya yang tergeletak di lantai, menggenggamnya erat. Matanya kembali menelusuri tubuhnya yang kini dibalut pakaian bersih berwarna pastel—pakaian yang tidak pernah ia miliki. “Siapa yang menggantikan pakaianku?” bisiknya dengan suara gemetar. Kepalanya menggeleng cepat, panik. “Bukan aku … Aku ingat betul, semalam aku pingsan. Aku bahkan tidak sadar bagaimana aku sampai di sini.” Ia menatap sekeliling ruangan. Hening. Sunyi. “Jangan bilang … pria itu…” gumamnya lagi, suaranya tercekat. “Tapi … kalau bukan dia, siapa lagi?” Beverlyn memeluk pakaian lamanya semakin erat. “Apa ada orang lain di tempat ini selain aku dan dia?” “Oh, Tuhan … kenapa ini harus terjadi padaku?” bisiknya frustasi. Pikiran itu datang tanpa bisa ditahan. Jika memang Oscar yang menggantikan pakaiannya semalam—itu berarti … pria itu sudah melihat seluruh tubuhnya. “Astaga!” serunya, nyaris berteriak. Ia panik, heboh sendiri di dalam kamar itu. Tubuhnya gemetar, kepalanya dipenuhi dugaan-dugaan buruk. Beverlyn menatap pakaian bersih yang melekat di tubuhnya, lalu memindahkan pandangan ke baju lamanya yang ada di tangannya. Kedua kakinya mulai bergerak gelisah, pahanya merapat, lalu menekan-nekan pelan. “Tapi … aku tidak merasa sakit…” gumamnya perlahan, penuh kekhawatiran. Tangannya pun bergerak, menyentuh area sensitif di antara kedua pahanya. Ditekan pelan. Tidak ada rasa sakit di area itu. “Syukurlah … aman,” desahnya lega, namun itu tidak cukup menghapus rasa malu yang membakar wajahnya. Meski tubuhnya baik-baik saja, kenyataan bahwa Oscar bisa saja melihatnya dalam kondisi tanpa busana sudah cukup membuat darahnya naik ke kepala. “Kenapa dia lancang sekali?” gumamnya penuh emosi. “Berani-beraninya mengganti pakaian wanita yang bukan siapa-siapa baginya…” Ia menggertakkan gigi. “Aku harus bicara dengannya. Aku harus menuntut penjelasan! Aku tidak bisa diam saja seolah ini hal biasa!” engahnya penuh kemarahan. Beverlyn pun segera melangkah keluar. Matanya langsung bergerak liar, menelusuri setiap sudut apartemen yang asing baginya. “Oscar?” panggilnya, dengan suara setengah ragu. Tak ada jawaban. Ia terus berjalan menyusuri lorong, lalu berbelok ke sisi kanan. Kosong. Tak ada siapa pun di sana. Ia kembali berbalik dan melangkah lurus, menapaki ubin dingin hingga akhirnya tiba di ruang tengah. Ruang itu lebih terbuka—sofa kulit hitam modern, meja kaca rendah, dan jendela besar dengan tirai separuh terbuka memperlihatkan panorama kota yang masih diselimuti kabut tipis pagi. Namun … pria itu tidak ada di sana. Ruangan itu sunyi. Terlalu sunyi. Beverlyn berbalik dan melangkah lurus, menyusuri lorong kecil hingga tiba di ruang tengah. Dan disanalah pandangannya langsung tertumbuk pada sosok Oscar, yang tengah duduk santai di sebuah sofa berlapis kulit. Penampilannya masih sama—setengah tubuhnya terbuka, menampilkan d**a bidang dan otot yang membentuk lekuk sempurna. Ia duduk setengah rebah, satu tangan bertumpu di sandaran sofa, sementara tangan satunya memegang gelas bertangkai panjang berisi wine merah. Tatapan Oscar langsung tertuju padanya—datar, tanpa ekspresi. Bahkan sedikit pun tak terlihat tanda bahwa pria itu merasa bersalah atau canggung. Sementara itu, raut wajah Beverlyn jelas tak bisa berbohong. Malu, gugup, kesal, dan bingung—semuanya bercampur menjadi satu. Ia menarik napas perlahan, lalu melangkah lebih dekat ke arah pria itu. “Apakah di tempat ini … ada orang lain selain kita berdua?” tanyanya pelan. “Tidak ada,” jawab Oscar singkat. Suaranya tenang, dingin seperti biasa. Beverlyn menelan ludah, mencoba menahan gemuruh di dadanya. “Artinya … hanya kamu dan aku yang berada di sini?” “Ya.” ‘Oh, sial…’ batinnya menjerit. Tangannya yang menggenggam pakaian lamanya mengepal makin erat. Ia sudah bisa menebak arah jawaban selanjutnya, tapi tetap berharap itu tidak seperti yang ia bayangkan. “Jadi maksudnya apa ini?” tanyanya dengan nada naik satu oktaf. “Ini bajuku yang kupakai semalam. Dan barusan baju ini tergeletak di lantai, sementara yang melekat di tubuhku adalah pakaian lain yang jelas bukan milikku. Siapa yang menggantinya?” Oscar tetap diam. Ia hanya menyesap winenya perlahan, lalu menaruh gelas itu di meja sebelum menjawab. “Aku yang menggantinya. Memangnya kenapa?” “Apa?!” seru Beverlyn memekik, matanya membelalak lebar. Oscar menatapnya tanpa bergeming—tanpa senyum, tanpa penyesalan, tanpa pembelaan diri. Hanya tatapan dingin dan tajam yang terasa menyebalkan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN