Bab 3: Bertemu Malaikat Pelindung

1858 Kata
*** Beverlyn terpaku. Dadanya naik turun cepat. Napasnya tercekat. Bahkan lidahnya mendadak kelu. Ia tidak tahu harus merespons dengan amarah, malu, atau … syok. Yang jelas, pria di hadapannya kini benar-benar membuat kepalanya nyaris meledak. “Kenapa kamu melakukannya? Siapa yang menyuruhmu mengganti bajuku?” tuntut Beverlyn dengan suara penuh tekanan. Ia masih berdiri di tengah ruangan, menggenggam erat pakaiannya. Matanya menatap Oscar penuh protes. Selama ini, ia menjaga dirinya begitu baik—tidak sembarang pria bisa menyentuh tubuhnya. Tapi sekarang? Seorang pria asing—dan jelas bukan siapa-siapa baginya—telah melanggar batas itu. Bagaimana mungkin dia tidak marah? Oscar hanya mengangkat alis santai. “Kalau bukan aku yang mengganti bajumu, lantas siapa? Penjahat-penjahat semalam yang mengejarmu itu? Ya?” tanyanya dengan nada datar. Beverlyn menelan ludah. d**a naik turun cepat, menandakan napasnya memburu. “Aku tidak bermaksud seperti itu … Tapi kamu tidak perlu melakukannya. Apalagi tanpa seizinku, Oscar! Kamu—kamu terlalu lancang!” Oscar memutar mata dengan gerakan malas. Jelas sekali pria itu sudah kehabisan kesabaran untuk drama semacam ini. “Kenapa ekspresimu seperti itu? Seolah-olah kamu tidak peduli?” sentak Beverlyn, kesal. “Kamu tidak sadar ini masalah serius! Aku seorang wanita dan kamu seorang pria. Kita tidak ada hubungan apa-apa—bukan pasangan kekasih, apalagi suami istri. Tapi kamu … kamu dengan lancang mengganti bajuku! Itu berarti kamu melihat tubuhku!” Oscar mengangkat bahu acuh. “Dan kau pikir aku berbuat yang macam-macam? Really?” Ia menatapnya dengan pandangan yang hampir mengejek. “Kau pikir aku serendah itu, huh? Bahkan aku tidak tertarik sedikitpun dengan tubuhmu. Jangankan menyentuh, melihatnya saja aku tidak bernafsu.” Beverlyn tercekat. Bibirnya terbuka, tapi tidak ada satu kata pun keluar. Dadanya bergemuruh. Marah, malu, tercampur menjadi satu. Oscar menghela napas, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa dengan santai. “Semalam kau berkeringat parah. Saat aku menggendongmu naik ke sini dari mobil, aromamu hampir membuatku pingsan. Makanya aku mengganti pakaianmu.” Nada bicaranya tetap tenang, datar, tapi tajam. Sangat tidak berperasaan. Beverlyn melongo tak percaya. Dengan refleks, ia mengangkat kedua tangannya, lalu mengendus badannya sendiri. Tapi yang tercium justru aroma lembut dari parfum yang ia pakai kemarin masih melekat di tubuhnya. Tidak ada bau busuk seperti yang dikatakan pria itu. “Jangan sembarangan bicara ya! Badanku tidak bau sama sekali!” serunya, kesal. “Itu menurutmu,” sahut Oscar cepat. “Yang mencium tadi hidungmu, bukan hidungku. Dan hidungku … sangat jujur.” Beverlyn nyaris mengumpat, tapi sebelum sempat membalas, Oscar sudah mengangkat tangan, mengibas malas ke udara. “Sudahlah. Daripada kau terus berisik, lebih baik bersiap-siap. Mau mandi, silakan. Tidak juga, terserah. Kita akan berangkat sebentar lagi. Tidak usah sarapan di sini, nanti kita makan di jalan.” Tanpa memberi kesempatan lagi untuk menyela, Oscar berdiri, mengambil gelas winenya, lalu berbalik meninggalkan ruang tengah. Beverlyn berdiri kaku beberapa saat. Bibirnya mengatup kuat. Lalu dengan raut wajah penuh kekesalan, ia memutar badan dan melangkah cepat menuju kamar. Hentakan langkahnya menggema samar di lantai, cukup keras untuk menunjukkan betapa kesalnya dia. ‘Dasar pria b******k!’ rutuknya dalam hati. Kemudian, ia melanjutkan dengan nada kesal. “Dia seenaknya mengganti pakaianku, melihat tubuhku, lalu sekarang bilang aku bau busuk? Mana mungkin! Bahkan kalau aku tidak mandi dua hari pun, aku tidak akan bau. Aku tahu tubuhku. Dan dia? Dia bicara seperti itu tanpa rasa bersalah sedikit pun!” Ia terus mengomel sambil membuka pintu kamar, tidak lagi menahan suaranya. Dari ujung ruang tengah, terdengar suara Oscar dengan nada malas, “Tidak usah mengomel. Segera bersiap. Berisik.” Beverlyn menoleh ke arah pintu yang masih terbuka dan mendengus sebal. “Sialan,” bisiknya, lalu mengempaskan diri ke ranjang. ** Beberapa jam setelah pagi yang penuh tensi itu, Oscar berdiri di balik jendela apartemen. Matanya menatap ke luar dengan fokus tajam. Di tangan kirinya, ia menggenggam ponsel satelit dengan sistem pengacakan frekuensi. Satu demi satu perintah keluar dari mulutnya—cepat, dingin, tanpa basa-basi. “Rute 7 dibatalkan. Ganti jalur L-27. Pastikan kendaraan penjemput tanpa plat dan tanpa sinyal pelacak,” ujarnya. Di ujung sana, suara anak buahnya terdengar jelas. “Copy, Tuan Muda Kingston. Jet siap dalam 45 menit. Kami sudah bersih-bersih di area bandara kecil Montgomery.” Oscar memutus sambungan, lalu berbalik. Beverlyn berdiri di ambang pintu kamar, masih dengan wajah sebal dan rambut tergerai berantakan. “Kenapa menatapku seperti itu?” tanya Beverlyn sengit. Oscar mengabaikannya. Ia melangkah ke lemari kecil di dekat dinding, menarik sebuah koper hitam tipis. Di dalamnya, sejumlah pakaian tersusun rapi. Ia menarik satu set pakaian wanita: sweater oversized abu-abu gelap, celana longgar hitam, dan topi kupluk rajut. “Pakai ini. Jangan tanya. Kau akan keluar dari tempat ini tanpa menarik perhatian sedikit pun,” ucap Oscar, sambil melempar pakaian itu ke sofa di samping Beverlyn. “Aku bukan penjahat. Kenapa aku harus menyamar?” “Kau target. Itu lebih buruk dari penjahat.” Beverlyn terdiam. Oscar membuka laci samping koper. Ia menarik keluar kacamata hitam lebar dan masker kain gelap, lalu menyodorkannya. “Wajahmu harus tertutup separuh. Rambutmu nanti akan kuikat ke belakang. Jangan banyak bicara, cukup ikuti aku.” Beberapa menit kemudian, Beverlyn muncul dari kamar mandi dengan pakaian itu. Rambut panjangnya dikuncir rendah. Oscar menatap sebentar, lalu mengangguk kecil. “Lumayan.” Dengan langkah cepat, mereka menuruni lorong apartemen sempit itu. Satu mobil hitam berlapis kaca anti peluru sudah menunggu di belakang gedung. Oscar membuka pintu, mempersilakan Beverlyn masuk lebih dulu. Setelah ia menyusul dan menutup pintu, mobil segera melaju—bukan ke jalan utama, tapi memutar masuk ke jalur servis bawah tanah yang hanya diketahui sedikit orang. “Ke mana kita?” gumam Beverlyn. Oscar tidak menjawab. Beberapa menit kemudian, mobil berhenti di area tersembunyi dekat landasan pacu kecil. Dua pria berpakaian serba hitam berdiri di sisi Stratos M9, jet pribadi berdesain stealth dengan mesin yang sudah menyala pelan. Asap tipis mengepul dari belakang ekor pesawat, menandakan semuanya siap untuk tinggal landas. Oscar turun lebih dulu, memindai sekeliling, lalu memberi isyarat. “Turun,” perintahnya tanpa menoleh. Begitu Beverlyn turun, suara mesin jet semakin terdengar jelas. Angin hangat dari dorongan knalpot jet menyapu rambutnya pelan. Beverlyn mengangkat kepala, menatap burung besi ramping berwarna hitam matte itu yang bersiap di ujung landasan. Oscar menggenggam tangan wanita itu dan menariknya masuk ke dalam kabin jet. Begitu mereka duduk, pintu jet ditutup, dan burung besi itu pun meluncur ke langit. Beverlyn menatap Oscar, yang kini duduk di seberangnya, bersilang kaki, membuka tablet kecil di tangannya sambil menelusuri dokumen. ** Beberapa Jam Kemudian – New York, Markas Black Tiger Setelah lebih dari lima jam terbang tanpa jejak radar komersial, jet pribadi itu mendarat mulus di landasan tersembunyi milik Black Tiger—lahan eksklusif yang tak tercantum dalam peta penerbangan resmi, dijaga ketat oleh orang-orang bersenjata. Hari sudah berganti, dan langit tampak mulai menggelap saat mobil hitam yang membawa Oscar dan Beverlyn melaju menyusuri jalanan kota dengan kecepatan stabil. Hanya dalam waktu kurang dari empat puluh menit, mereka tiba di depan sebuah gedung kokoh berlapis kaca gelap dan baja hitam. Tidak ada plang nama. Tidak ada tanda-tanda aktivitas mencolok. Tapi aura kekuatan begitu terasa sejak mobil memasuki gerbang utama. Inilah markas utama Black Tiger. Beverlyn menelan ludah saat pintu mobil dibuka oleh pria berbadan besar dengan jas hitam dan headset di telinganya. Sorot mata pria itu tajam. Dingin. Oscar keluar lebih dulu, lalu menoleh padanya. “Ayo.” Beverlyn mengangguk pelan dan melangkah keluar. Tapi langkahnya seketika ragu begitu melihat barisan pria-pria bertubuh kekar berdiri di sisi kanan dan kiri koridor masuk. Semuanya bersenjata. Ada yang memegang senapan panjang, ada pula yang membawa pistol di pinggang. Wajah-wajah mereka tak ada senyum. Tegas. Tegang. Seolah hanya butuh satu isyarat untuk menembak siapa pun yang mencurigakan. Refleks, Beverlyn menahan napas dan … memeluk lengan Oscar. Tangannya mencengkeram erat jaket pria itu, tubuhnya menempel, napasnya memburu. Ia terlalu takut untuk berkata apa-apa. Oscar menghentikan langkahnya sejenak, melirik ke samping. Alis kirinya terangkat melihat tangan Beverlyn yang melingkar di lengannya. Tapi dia tidak menepis. Hanya mendengus pelan, lalu melanjutkan langkahnya menyusuri koridor utama gedung itu. Beverlyn masih menempel padanya, bahkan saat mereka melewati dua lapis pintu keamanan yang dibuka otomatis dengan sistem retina. Pria-pria bersenjata itu hanya menunduk hormat saat Oscar lewat. Beberapa dari mereka menatap Beverlyn, tapi tak satu pun berani membuka suara. Begitu melewati lorong utama, tampaklah interior dalam markas itu—megah dan modern, perpaduan antara gaya industri dengan sentuhan kemewahan khas kerajaan bisnis kelas atas. Beverlyn tetap diam. Matanya menatap ke segala arah, bingung sekaligus cemas. Ia bukan hanya merasa seperti orang asing—ia merasa kecil di tengah kekuasaan sebesar ini. Oscar melangkah menuju lift khusus di ujung koridor. Sebelum masuk, ia sempat menatap Beverlyn sebentar. “Kau bisa lepaskan lenganku sekarang. Mereka tidak akan menembakmu.” Beverlyn menunduk buru-buru dan melepas tangannya, wajahnya memerah karena malu. Lift terbuka. Mereka masuk. Dan pintu tertutup. Naik menuju lantai tertinggi—ruang inti kekuasaan Black Tiger. Bunyi dentingan halus terdengar saat pintu lift terbuka perlahan. Oscar melangkah keluar lebih dulu, diikuti oleh Beverlyn yang masih gugup setengah mati. Lantai tertinggi ini jauh berbeda dari yang lain. Jauh lebih senyap, lebih megah, lebih menekan. Karpet gelap menyelimuti lantai, lampu gantung kristal berpendar redup, dan di sisi kanan tampak sebuah ruangan besar dengan pintu kayu mahoni yang tertutup rapat. Di sisi kirinya, terdapat sebuah ruang tengah—ruang tunggu eksklusif dengan sofa berbahan kulit premium dan meja kecil berisi set teh dan majalah lawas. Oscar berhenti. “Di sini saja,” katanya singkat, lalu menunjuk salah satu sofa yang terletak tidak jauh dari pintu besar di ujung lorong. “Tunggu aku di sini. Jangan bergerak ke mana pun.” Beverlyn hanya mengangguk patuh, meski pikirannya masih diliputi banyak tanya. Ia duduk perlahan, tubuhnya tenggelam ke dalam sofa empuk itu, matanya mengikuti Oscar yang kini melangkah menuju ruangan utama. Tanpa mengetuk, Oscar membuka pintu kayu berat itu dan masuk begitu saja. Ruangan itu luas. Cahaya alami dari jendela besar di sisi kanan menyinari interior klasik yang dominan dengan kayu tua dan emas antik. Meja besar dari kayu ebony berdiri di tengah ruangan, dan di baliknya—duduk seorang pria tua berambut putih keperakan, mengenakan setelan jas gelap yang tampak lebih mewah dari jas bisnis kebanyakan. Punggungnya menghadap pintu. Tapi saat mendengar suara pintu terbuka, kursi besar tempatnya duduk langsung berputar perlahan. Morgan Grey Kingston. Pendiri utama klan Black Tiger yang kini telah diserahkan penuh kepada sang cucu. Raja bayangan dunia kriminal dan bisnis gelap Amerika Timur. Wajahnya penuh garis usia, tapi sorot matanya tajam. Wibawanya masih utuh, bahkan mungkin semakin menakutkan dari waktu ke waktu. Tangannya menyentuh tepi meja, lalu ia melirik ke arah pintu yang kini sudah tertutup kembali. Senyum tipis terbit di bibir tuanya. “Bravo, cucuku yang tampan...” katanya pelan. Suaranya berat, menggetarkan, nyaris berbisik. Oscar hanya berdiri diam di ambang ruangan. Tak ada senyum, tak ada sapaan balik. Pandangannya tajam, rahangnya mengeras. “Aku sudah membawa calon istri mudamu,” ucap Oscar dingin, nyaris tanpa nada. Morgan terkekeh pelan, suara tawanya dalam dan penuh makna. “Kau memang cucu yang kurang ajar,” balasnya santai, seolah mengabaikan sikap tak hormat Oscar. “Tapi setidaknya, kali ini, kau menuruti permintaanku, Little Devil.” Oscar masih tak bergeming. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN