Bab 4: Sulit Di Taklukan

2063 Kata
*** Kini kedua pria itu duduk saling berhadapan, hanya dipisahkan oleh meja kayu mahoni tua yang mengilat. Oscar Grey Kingston, 30 tahun, menatap datar ke arah satu-satunya orang yang selalu punya seribu satu cara untuk mengendalikan hidupnya di dunia ini—Morgan Grey Kingston. Sang kakek. Pendiri Black Tiger. Penguasa bayangan di balik puluhan perusahaan, jaringan intelijen, dan pasukan bayaran. Posisi duduk mereka nyaris identik. Santai, tetapi tetap penuh aura dominan. Punggung Oscar bersandar ringan pada sandaran kursi, satu kaki disilangkan, sementara tangannya menggenggam lengan kursi dengan tenang. Di hadapannya, Morgan melakukan hal serupa. Meski tubuhnya sudah termakan usia, sorot matanya masih tajam dan penuh perhitungan. Sorot mata seorang raja yang tidak pernah turun takhta. Hening sempat membungkus ruangan itu. Suara jam antik berdetak pelan di sudut ruangan. Hingga akhirnya, Oscar membuka suara, datar dan langsung ke inti. “Aku sudah membawa gadis itu keluar dari Marcheline. Tidak ada yang mengikutinya. Tidak ada yang tahu ke mana dia dibawa,” ujar Oscar dengan nada suara datar yang khas. Menatap sang cucu lekat-lekat, kemudian Morgan mengangguk ringan. “Dan tak satupun jejak tertinggal?” Oscar menarik napas pendek. Ia paham maksud kakeknya. “Sudah dibersihkan. Termasuk CCTV di jalur pelarian. Tidak ada yang bisa mengaitkan kepergiannya denganku.” Morgan menyatukan jemari di atas meja. Matanya tenang menatap lekat cucunya. “Bagus. Artinya semuanya benar-benar aman. Dan … kita tidak perlu menyembunyikan identitasnya.” Mendengar itu, seketika Oscar mengerutkan alis, meski tak terlalu terkejut. Karena ia sudah menduga sebelumnya. “Dia akan tetap menjadi Beverlyn Lovandra Vale, berusia 28 tahun—seorang dokter spesialis jantung. Tidak ada yang berubah,” tegas Morgan. “Kau yakin?” tanya Oscar sembari menatap sang kakek dengan tatapan—meragukan. Morgan tersenyum tipis. “BT-13 bukan organisasi murahan yang perlu menyembunyikan nama. Kita punya kuasa. Kita punya jaringan. Gadis itu akan tetap hidup sebagai dirinya, tapi di bawah perlindungan penuh kita—Black Tiger-13.” Terdiam sejenak sembari menarik napas dan menghembuskan perlahan. Oscar menyandarkan punggungnya ke kursi. “Dan dia akan bekerja di rumah sakit milik Kingston Group?” Morgan mengangguk. “Rumah Sakit Kingston Memorial. Kita akan atur semuanya. Data medisnya tetap. Riwayat pendidikannya utuh. Tapi setiap orang yang berusaha menyentuhnya … akan berakhir di daftar hitam Black Tiger.” Oscar mengangguk sekali. Tidak ada yang perlu ditambahkan. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Morgan menatap cucunya dalam-dalam dengan sorot mata tak berkedip. “Kau hanya perlu pastikan satu hal, Oscar. Dia tidak akan pergi ke mana pun … kecuali denganmu.” Oscar tidak langsung menjawab. Namun tatapan tajamnya sudah cukup berbicara. Pandangannya menusuk langsung ke mata tua sang kakek, penuh ketegasan dan sedikit … penolakan. Detik berikutnya, alis tebal Oscar terangkat tinggi. Senyum sarkas terselip di sudut bibirnya. “Really?” ujarnya dengan nada tajam. “Setelah aku menyelamatkannya semalam, membawanya ke sini—ke New York—sesuai perintahmu, sekarang kau masih ingin merepotkanku dengan menjaganya juga?” Oscar menggeleng pelan, mencibir. “Apakah kau sehat, Tuan Grey Morgan?” Tak ada rasa gentar sedikitpun. Di bumi ini, mungkin hanya Oscar Grey Kingston yang berani bicara setajam itu kepada Morgan Grey Kingston. Bahkan Lucas Spencer Kingston—ayah Oscar sendiri—tidak pernah seberani itu melawan sang ayah. Morgan tetap tenang, suaranya tidak berubah sedikit pun. Tetap datar. Begitulah rumus mutlak ketika dia menghadapi cucunya yang satu ini. Tidak boleh meledak-ledak, atau Oscar akan mencekik dan mencabut nyawanya. “Kita sudah membahas hal ini sebelumnya. Grandpa harap kau tidak melupakannya, son.” Oscar menghela napas pendek. “Oh, ya. Tentu saja aku mengingatnya. Aku ingat sangat jelas malam itu—malam saat kita duduk dan membahas ‘persoalan penting’ ini.” Oscar sengaja menekankan kalimat itu. “Kau ingin aku menjemput calon istri mudamu dari kota itu dan membawanya ke sini. Dan aku sudah melakukan semuanya, Tuan Morgan. Semalam aku menyelamatkan nyawanya. Aku datang tepat waktu—dan membawanya ke sini. Bertemu denganmu!” Ia bersandar lebih dalam ke kursinya. “Aku menjalankan tugasku dengan baik. Rapi. Cepat. Tanpa jejak. Aku rasa itu sudah cukup, bukan?” Morgan nyaris tak bereaksi. Tapi bibirnya sempat berkedut, seolah menahan senyum. Ah, bocah iblis ini… ‘Calon istri mudaku?’ gumam Morgan dalam hati, geli. Kalau saja Oscar tahu—bahwa wanita itu justru disiapkan untuknya. Uh, bisa langsung di hantam wajah Morgan dengan bogeman mentahnya. Yaah! Kalau saja Oscar tahu sekarang bahwa wanita itu justru disiapkan untuknya … mungkin markas ini akan langsung dibakarnya dalam detik itu juga. Tapi Morgan tidak bodoh. Ia tahu waktu yang tepat untuk mengungkap semuanya. Biarkan Beverlyn tenang terlebih dahulu. Biarkan ia bicara langsung dengan sang calon cucu mantu—sebelum si cucu iblis itu sadar dan menolak mentah-mentah semua rencana ini. Detik berlalu dalam keheningan. Morgan menarik napas dalam, menahan sejenak, lalu mengembuskannya perlahan. “Semua ini demi kelangsungan kita. Kau, aku, ayahmu dan seluruh orang yang berdiri di balik nama Black Tiger.” Tatapannya mengeras. “Beverlyn adalah kunci. Kalau dia jatuh ke tangan yang salah, Oscar … maka semuanya berakhir. Tidak hanya kekuasaan, tapi kehidupan kita. Nama kita. Klan kita. Habis, rata dengan tanah.” Ia menunduk sebentar, lalu menatap Oscar tajam. “Dan Grandpa tahu satu hal dengan pasti: kau tidak akan membiarkan hal buruk itu terjadi, bukan?” Oscar masih bersandar, tampak malas menanggapi. Beberapa detik kemudian, ia menegakkan tubuhnya sedikit, menyandarkan lengan ke sisi kursi, dan menatap pria tua di depannya itu dengan tajam. “Aku sangat penasaran, Grandpa,” katanya datar. “Sebenarnya … rahasia apa yang sedang kau simpan, huh?” Dagu Oscar terangkat sedikit, nadanya menantang. “Sebesar apa pengaruh wanita itu sampai-sampai kau menganggap dia seperti bom waktu?” Morgan tidak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, sorot matanya sedikit bergeser. Diam-diam, ia tahu—waktu mereka untuk menyembunyikan semuanya tidak akan lama lagi. “Jika sudah waktunya, Grandpa akan memberitahumu. Akan kuceritakan semuanya, sampai kau benar-benar mengerti,” ucap Morgan tenang, namun serius. Oscar hanya mendengus malas. Muak. Sungguh, kehadiran Beverlyn Lovandra Vale adalah gangguan terbesar yang pernah dilemparkan kakeknya ke dalam hidupnya. Kemarin dia dipaksa terbang ke Marcheline Bay—kota tempat tinggal Beverlyn, menyusup dan menyelamatkan wanita yang bahkan belum pernah dia lihat sebelumnya. Dia harus meninggalkan urusan bisnis penting, mempertaruhkan reputasi, dan sekarang? Setelah menyelamatkan wanita itu, sang kakek masih juga menyuruhnya menjaganya. Apakah Morgan pikir dia ini seorang bodyguard? Pemimpin tertinggi Black Tiger saat ini—turun tangan menjadi pelindung pribadi wanita yang bahkan bukan siapa-siapanya? What the fùck! Lelucon macam apa ini? “Terserah,” Oscar akhirnya angkat bicara, tajam dan acuh. “Terserah apapun yang kau katakan, Grandpa. Apapun yang kau rencanakan—aku tidak peduli.” Matanya menatap sang kakek lurus-lurus. “Yang jelas, tugasku sudah selesai. Aku sudah menyelamatkan nyawa calon istri mudamu, membawanya ke sini dalam keadaan utuh. Anggap saja aku telah membayar lunas semua janjiku kepadaku.” Oscar bersandar kembali dengan santai. “Selepas ini, apa pun yang kau ingin lakukan terhadap wanita itu, aku tidak akan ikut campur. Kalau kau butuh penjaga untuknya, suruh saja salah satu anak buahmu. Masih banyak anggota Black Tiger yang cukup setia untuk itu.” Morgan mendengus pelan. Tapi kali ini, sorot matanya menajam. “Beverlyn hanya bisa dijaga olehmu,” katanya pelan, namun terasa begitu bermakna. “Bukan oleh orang lain. Apalagi sekadar bodyguard.” “Aku tidak akan melakukannya,” Oscar menjawab cepat. “Aku bukan pelindung pribadi sewaanmu!” tambahnya dengan desis pelan namun begitu tajam dan menusuk. Morgan tidak langsung menanggapi. Diam sebentar. Ia menatap cucunya dengan tajam. “Dan kau tahu, cucuku—ucapanku adalah perintah. Siapa pun tidak bisa menolaknya.” Oscar ikut berdiri, menatap sang kakek dari seberang meja. “Kata siapa?” desisnya pelan. “Aku bisa menolaknya. Dan kau tahu, aku bukan orang yang bisa dipaksa. Kau mau apa?” Sejenak, keheningan menegang di antara dua generasi penguasa Black Tiger itu. Morgan menyipitkan mata, bibirnya mengerucut tipis. Tapi ia tak menjawab. Karena dia tahu, untuk bisa menundukkan Oscar, diperlukan lebih dari sekadar perintah. Sementara itu, Oscar tampaknya benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Ia bangkit dari duduknya dengan gerakan cepat. Namun bukan untuk segera pergi. Kedua tangannya menekan permukaan meja besar itu dengan keras, tubuhnya condong ke depan, menatap lurus ke arah pria tua di hadapannya. “Sudah cukup bertahun-tahun kau mengacak-acak hidupku, Grandpa,” desisnya tajam. “Jangan pernah mengira aku tidak tahu apa-apa soal itu. Aku tahu semuanya. Termasuk soal perpisahanku dengan Cassie—itu juga permainanmu, bukan?” Morgan tidak terkejut. Ia hanya mengangkat dagunya sedikit, menatap balik dengan ekspresi datar. “Aku tidak pernah melakukan apapun terhadap Cassie.” “Kau pikir aku akan percaya?” balas Oscar cepat, matanya menyala dingin. Morgan mendesah pelan, tetap tenang. “Terserah kau mau percaya atau tidak. Itu bukan urusanku. Tapi satu hal pasti—apa yang terjadi dengan Cassie sekarang, bukan karena aku. Itu karena kesalahanmu sendiri dan—dia.” Oscar mengepalkan rahangnya. Tapi sebelum sempat membuka suara lagi, Morgan menambahkan, “Kalau kita memang harus membahas tentang Cassie hari ini, maka dengan berat hati aku akan mengatakan satu hal—hubungan kalian itu toxic. Tidak sehat. Dan sudah seharusnya kalian berpisah.” Oscar terdiam. Bibirnya mengatup rapat. Beberapa detik berlalu dalam keheningan, sebelum akhirnya ia menegakkan tubuhnya. Kedua tangannya terangkat dari meja, lalu bersedekap di depan d**a. Tatapannya tajam, penuh tekanan. “Jangan libatkan aku dalam urusan apapun lagi, seolah aku ini bidak catur yang bisa kau geser sesukamu,” ucapnya dingin. “Tentang wanita itu—aku sudah cukup sabar menghadapi semua permintaanmu, Grandpa. Jangan sampai kesabaranku habis. Dan kau akan bernasib sama seperti putramu—Lucas Spencer Kingston! " Morgan mendongak sedikit. Alisnya terangkat samar. “Oh? Jadi maksudmu, kau juga akan menembak kakekmu sendiri?” “Kenapa tidak? Kalau kehadiranmu hanya membuat hidupku repot, susah, aku tidak akan segan-segan menghabisimu,” jawab Oscar tanpa sedikitpun ragu. Morgan terdiam. Untuk pertama kalinya, wajah itu tampak sedikit tegang. Oscar melangkah mundur. Matanya masih mengunci milik sang kakek dengan dingin, sebelum akhirnya ia memutar tubuh dan melangkah keluar dari ruang kerja itu, membanting pintu dengan kencang. Di balik meja, Morgan menghela napas panjang. Kepalanya sedikit menoleh ke arah pintu yang telah tertutup. “Iblis kecil itu memang begitu sulit ditaklukkan…” gumamnya. “Tapi baiklah, aku yakin aku pasti bisa. Meski usiaku tak lagi muda, aku tak pernah ketinggalan. Aku selalu satu langkah di depannya.” “Hmm … aku adalah titisan Mark Kingston," gumamnya penuh percaya diri."Mark Kingston yang selalu selangkah di depan Jordhan Kingston,” lanjutkan diiringi oleh kekehan pelan. Ya, Morgan begitu mengidolakan sosok mendiang kakeknya—Mark Kingston. Sudut bibir pria tua itu kian melengkung. “Anak nakal itu memang perlu diajari.” Sementara itu, suara dentuman pintu terdengar nyaring—keras dan menggetarkan dinding—ketika Oscar menghantamnya saat keluar dari ruangan kakeknya. Beverlyn yang sejak tadi duduk diam di sofa yang terletak di ruang tunggu luar, langsung terlonjak kaget. Tangan kanannya refleks menekan d**a. ‘Astaga … kenapa dia menutup pintunya keras sekali?’ gumam Beverlyn dalam hati, napasnya ikut tersentak oleh suara mendadak dan keras itu. Matanya langsung menatap ke arah Oscar yang kini muncul dari balik pintu. Tapi pria itu tidak menghampirinya. Bahkan tidak melirik sedikit pun. Tanpa sepatah kata, Oscar justru berbalik, melangkah ke arah yang berlawanan. Langkah-langkahnya lebar dan penuh emosi, menyusuri koridor panjang. Beverlyn menatap punggung tegap pria itu dengan dahi berkerut. Kebingungan dan kecemasan langsung menyerbu pikirannya. ‘Dia mau ke mana?’ ‘Kenapa tidak bilang apa-apa dulu?’ ‘Terus … aku harus bagaimana sekarang?’ batinnya bertanya-tanya. Ia berdiri dari duduknya, ingin menyusul atau sekadar memanggil. Tapi tubuhnya hanya bisa terpaku, menatap Oscar yang semakin menjauh dan sepertinya hendak masuk ke dalam lift yang akan membawanya ke lantai bawah. Dan tepat di detik itu— Ceklek! Pintu ruangan yang tadi ditutup Oscar dengan keras perlahan terbuka dari dalam. Refleks, Beverlyn menoleh cepat ke arah suara tersebut. Kedua matanya langsung bertemu dengan tatapan asing dari seorang pria tua berambut putih perak yang kini berdiri di ambang pintu. Tatapan mata itu dalam, penuh tekanan, dan entah kenapa… menakutkan. Beverlyn menegang di tempat. Langkahnya yang hendak maju terhenti. Ia menatap pria itu lekat-lekat, mencoba mengenali siapa dia—tanpa tahu bahwa orang itulah Morgan Grey Kingston. Pendiri klan Black Tiger. Dan pria yang memegang semua rahasia tentang masa depannya. Sosok yang beberapa jam lalu sempat ia lihat melalui foto di dalam berkas—meski tak begitu jelas. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN