***
Hembusan napas berat lolos dari bibir Morgan. Punggung tuanya kian tenggelam pada sandaran kursinya. Sorot matanya tajam, ketika menatap lurus ke cucunya.
“Masih ingat pembicaraan kita dulu … tentang chip yang hanya bisa dikendalikan oleh satu orang?” tanyanya.
Oscar tidak menjawab. Matanya tetap menatap lurus ke sang kakek.
Morgan melanjutkan, perlahan. “Chip itu … sudah bersama kita sekarang. Dan orang yang membawanya ke dunia ini, orang yang menyimpan aksesnya di dalam liontin … adalah gadis yang kau selamatkan malam itu.”
Tubuh tegap Oscar menegang sedikit. Tatapannya langsung berubah.
“Beverlyn Lovandra Vale,” lanjut Morgan, menyebut nama itu dengan tegas.
Sekilas, ada perubahan di mata Oscar. Ia mengernyit tipis. Mulutnya terkatup, rahangnya menegang. Detik kemudian, ia menyandarkan tubuh, menyilangkan tangan. Tatapannya tajam menembus Morgan.
“Bukankah pemilik chip itu seorang laki-laki, Grandpa? Kau sendiri yang bilang begitu dulu. Aku masih mengingatnya.”
Morgan menghela napas pendek. Lalu menggeleng pelan. “Itu hanya manipulasi.”
Ia menatap cucunya lurus. “Grandpa harus melindungi identitas Beverlyn selama mungkin, sampai waktunya tiba.”
Alis Oscar bertaut. Wajahnya mulai menunjukkan tanda bingung. “Apa maksudmu?”
“Sebelum Grandpa memintamu datang ke Marcheline Bay , Grandpa sudah mencium gerakan mereka.”
Morgan mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah namun mantap. “Mereka yang selama bertahun-tahun mencari keberadaan chip itu … akhirnya menemukan jejaknya.”
Oscar diam. Hanya bola matanya yang sedikit bergeser.
“Mereka datang ke rumah Beverlyn karena chip itu. Mereka ingin mengambil chip itu.”
Morgan mengatupkan rahangnya sejenak. “Dan untungnya, kau sampai disana tepat waktu untuk menyelamatkan Beverlyn. Itu pertama kalinya dalam hidup gadis itu dikepung seperti itu.”
Kening Oscar semakin berkerut dalam. “Jadi … semua itu karena chip?”
“Ya,” Morgan mengangguk pelan.
“Selama ini tak ada yang bisa melacak keberadaannya—tepatnya mereka membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menemukan keberadaannya. Dan sekarang mereka telah berhasil. Kita tak bisa membiarkan itu terulang lagi.”
Setelah jeda singkat, Morgan menarik napas dalam sebelum kembali menambahkan. “Maka dari itu, aku putuskan membawa Beverlyn ke sini—New York karena disana sudah tidak aman lagi baginya.”
“Sebentar.” Oscar bersuara pelan, nyaris bergumam, namun nada ragu jelas terdengar. Ia mengubah posisi duduknya, mencondongkan tubuh ke depan sambil memandang Morgan tajam.
“Apa kau yakin kalau wanita itu menyimpan sesuatu sepenting itu—chip, yang sebenar-benar bahaya itu? Bahkan dia tidak punya kekuatan apapun, Grandpa. Dia sangat lemah … polos.”
Hening sejenak.
“Kau tidak salah orang, kan?” Ia menatap sang kakek dengan kedua mata memicing.
Pertanyaan itu wajar. Oscar tahu betul apa yang dimaksud dengan chip —benda paling berbahaya yang pernah ada. Ia telah mempelajarinya selama bertahun-tahun.
Ia tahu isi, fungsi, dan kerusakannya jika jatuh ke tangan yang salah. Karena itu, sulit baginya menerima bahwa gadis selembut dan naif seperti Beverlyn Lovandra Vale adalah sang pemilik utama.
Rasanya mustahil bagi Oscar.
Morgan menarik napas panjang sebelum menjawab, tenang dan yakin. “Grandpa sudah pernah memberitahumu. Chip itu adalah milik sahabatku, Thomas.”
Ia menatap Oscar dalam-dalam. “Namanya Thomas Vale. Dan nama lengkap gadis itu adalah Beverlyn Lovandra Vale. Dia satu-satunya cucu kandung Thomas.”
Oscar menahan napas sejenak.
“Dan chip itu hanya bisa dibuka oleh dia,” tegas Morgan.
Ruangan sempat hening selama beberapa detik. Hanya denting arloji antik di dinding yang terdengar mengisi sela.
Oscar akhirnya mengangguk perlahan. “Baiklah, kurasa itu tidak terlalu penting. Jadi, apa rencana kita sekarang?”
Ia melirik Lucas sekilas, lalu kembali fokus ke sang kakek. “Pemiliknya sudah bersama kita. Seharusnya kita bisa membuka chip itu secepatnya, bukan?”
Morgan mengangguk setuju. “Ya. Kau benar.”
Nada suaranya terdengar serius namun mantap. “chip itu memang harus segera dibuka. Kita perlu kendalikan semuanya sebelum pihak luar bergerak lebih jauh—merampas Beverlyn dari kita.”
Mendengar itu, Oscar menegakkan bahu. Sorot matanya berubah. Ada semangat dan ambisi yang menyala di sana.
Uh, tidak tahu saja dia bagaimana busuknya rencana sang kakek.
“Kalau begitu, aku siap untuk itu.” Nada suaranya begitu dalam dan pasti. Oscar tahu, begitu chip itu terbuka, segalanya akan berubah.
Ia akan mengobrak-abrik semua jaringan yang tersembunyi di dalamnya. Karena chip itu tidak hanya berisi data—melainkan peta kekuasaan, akses, jalur uang, dan rahasia hitam yang bisa menggulingkan siapa pun.
Dan ia tidak sabar untuk melakukan semuanya.
“Jadi… kapan?” Suara Oscar terdengar datar, tapi matanya liar. Bola mata tajam itu bergerak cepat—menatap Morgan, lalu Lucas, bergantian.
Sang ayah hanya diam. Jantung pria paruh baya itu berdetak cepat. Wajahnya sedikit tegang—seperti tak ada kesiapan untuk menyaksikan kemurkaan sang putra setelah ini.
“Kapan kita akan membukanya? Kapan kita akan memulainya?” lanjut Oscar.
Hening. Beberapa detik berlalu tanpa ada satupun jawaban.
Lucas hanya menatap ayahnya lekat, sorot matanya seolah memberi peringatan diam. Ia tahu, badai akan segera datang. Dan ia sangat berharap ruangan ini tidak akan luluh lantak akibat ledakan emosi anaknya sendiri.
Morgan menarik napas dalam-dalam. Jantungnya berdegup sedikit lebih cepat. Dia sama seperti Lucas—takut juga.
Bayang-bayang murka sang cucu mulai terasa, tapi tidak ada lagi ruang untuk ragu.
Oscar kembali bersuara, kali ini nadanya meninggi. “Besok? Lusa? Atau kapan?!”
Morgan akhirnya menjawab, tenang tapi berat. “Setelah kau menikah dengan Beverlyn.”
Seperti petir yang menyambar. Suasana di ruangan itu seketika membeku.
Senyap. Sunyi.
Wajah Oscar menegang. Sorot matanya berubah drastis—dari penasaran menjadi tajam dan penuh kemarahan.
Lucas langsung menoleh ke arah putranya, dan nyaris menghela napas keras ketika melihat tangan Oscar terkepal kaku di sisi kursi.
“Coba ulangi sekali lagi.” Suara Oscar rendah, tajam mematikan. Rahangnya mengeras.
Morgan tetap tenang. “Kau harus menikah dengan Beverlyn, Son.”
Detik itu juga Oscar berdiri. Menendang kuat kursi yang ia duduki hingga terjungkal ke belakang, lalu terpental menghantam sisi meja hingga sejumlah benda di atasnya berjatuhan berantakan.
Brak!
“Are you f*****g kidding me, Morgan?” Oscar menatap sang kakek seolah ingin menghancurkan segalanya.
“Aku tidak suka lelucon menjijikkan seperti ini, Morgan Grey Kingston!”
Jarinya teracung tajam, menunjuk wajah sang kakek. “Hentikan omong kosongmu!”
Menoleh dan menatap tajam. “Turunkan tanganmu, Oscar!” Lucas membentak keras.
Namun, sang putra tidak bergeming. Oscar tetap berdiri garang, matanya menyala, napasnya memburu—seolah siap untuk menarik paksa nyawa sang kakek.
Dan saat itu juga Lucas berdiri. Dengan satu gerakan cepat, ia meraih senjata dari balik punggung. Tangannya tegak, dan laras pistol itu kini mengarah tepat ke kepala putranya.
“Turunkan tanganmu, atau aku tembak kepalamu.” Ancaman itu keluar dengan suara dingin dan datar.
Oscar menoleh. Tatapan tajamnya kini bertemu dengan mata sang ayah.
Dua generasi, dua amarah saling berhadapan.
“Sekarang, Oscar.” Lucas memperingatkan lagi. “Turunkan tanganmu. Jangan kau berani bersikap kurang ajar pada ayahku—pada kakekmu sendiri.”
Tatapan mata Oscar kian tajam—matanya kini menabrak pandangan Lucas. Rahangnya mengeras, rahang itu mengatup rapat, seperti menahan ledakan besar yang sedang menunggu waktu.
Dia tidak gentar. Bahkan ketika laras pistol itu masih mengarah tepat ke kepalanya.
Oscar menatap senjata itu … lalu tatapannya kembali naik ke mata ayahnya. Dan dalam hitungan detik … tangan kanannya ikut bergerak cepat ke belakang.
Oscar menarik senjata dari balik punggung. Tangannya terangkat, senjata itu kini mengarah ke Lucas.
Dua ayah-anak, saling mengacungkan pistol. Mata mereka saling mengunci. Tak ada satupun yang mundur. Tak satupun yang ingin terlihat lemah.
“Sudah kubilang, jangan tunjukkan senjata padaku kecuali kau benar-benar siap memakainya, Dad,” desis Oscar dingin.
“Karena aku tidak akan segan untuk menarik pelatukku lebih dulu.”
Suasana menggelegak. Tegang. Detik terasa seperti menit. Tapi belum sempat salah satu dari mereka menekan pelatuk,
DOR!
DOR!
Dua tembakan meletus nyaring. Sumbernya bukan dari Lucas. Bukan pula dari Oscar.
Itu dari Morgan.
Lelaki tua itu tak kalah cepat. Meski tetap duduk di kursinya, Morgan sudah lebih dulu mencabut pistol dari balik jasnya, dan melepaskan dua tembakan ke arah mereka—menembak tepat ke senjata Lucas dan Oscar hingga lepas dari tangan masing-masing.
“Cukup!!!” bentak Morgan. Suaranya terengah, bergema, membuat dua lelaki beda usia di hadapannya membeku.
Morgan menatap keduanya—putra dan cucu—dengan tatapan tajam mematikan. Senjatanya masih tergenggam, mengarah ke bawah, siap menembak lagi jika perlu.
“Kalian pikir ini arena duel koboi?!” hardiknya.
Oscar dan Lucas tetap saling tatap untuk beberapa detik.
Morgan menghela napas. “Satu lagi aksi bodoh seperti ini, dan aku sendiri yang akan menembak kalian berdua. Mengerti?”
Tak ada yang menjawab.
***