Bab 7: Pertemuan Tiga Generasi

2586 Kata
*** Di sisi lain, sementara Morgan sedang menghubungi putranya, Lucas, dan meminta pria itu datang ke markas bersama Oscar, ternyata sang cucu justru sedang berada di Mansion—Mansion Kingston. Tepatnya, di area teras pribadi milik Celine—istrinya Morgan, nenek dari Oscar Grey Kingston. Meskipun kamar Celine berada di lantai dasar, ruang santai itu didesain menyerupai balkon pribadi, lengkap dengan atap kaca bening dan pilar-pilar marmer krem yang menopang struktur terbuka di sekelilingnya. Langit-langitnya tinggi, dihiasi lampu gantung kristal kecil, dan di sisi luar terbuka langsung ke arah taman pribadi yang ditata elegan dengan jalur bebatuan dan kolam kecil. Di tempat itu, tersedia sofa panjang berlapis beludru putih gading, kursi rotan premium dengan sandaran tinggi, serta sebuah meja teh bundar dengan permukaan marmer. Satu vas bunga segar selalu menghiasi meja itu setiap hari—tradisi kecil yang dijaga para pelayan atas permintaan Nyonya Besar Kingston. Oscar saat ini tengah berbaring santai di sofa panjang, satu lengannya terlipat di belakang kepala, sementara kepalanya bersandar di paha sang nenek. Celine dengan lembut mengelus rambut cucunya itu, dan sesekali menatap wajah Oscar dengan tatapan penuh kasih—meski tahu, ada banyak hal yang sedang dipendam pemuda itu. Hening menyelimuti mereka sejenak. Suasana tenang, hanya suara angin malam yang berdesir dari sela taman, membuat tirai tipis melambai pelan. “Pekerjaanmu sudah selesai, sayang?” tanya Celine lembut, jemari keriputnya terus mengelus rambut tebal cucunya dengan ritme yang tenang dan penuh kasih. Oscar segera menjawab tanpa membuka mata. Suaranya berat, serak namun pelan. “Pekerjaan yang mana, Grandma?” Celine tersenyum kecil mendengar respons itu. Ia tahu, saking banyaknya urusan yang ditangani pemuda itu, sampai-sampai Oscar sendiri tak tahu harus menjawab yang mana. Tatapannya jatuh pada wajah tampan cucunya, lekat dan penuh kasih. “Semuanya,” jawabnya akhirnya. “Pekerjaanku tidak akan pernah selesai, Grandma. Aku berhenti karena tubuhku lelah, bukan karena semuanya telah selesai,” balas Oscar lirih, dengan nada letih. Celine menatap iba. “Kalau begitu, jangan memaksakan diri, nak. Kamu bukan robot. Kamu manusia biasa. Sehebat apa pun kamu, tubuhmu tetap akan berteriak meminta istirahat.” Suaranya tenang, dan penuh perhatian. Oscar hanya tersenyum tipis tanpa membuka matanya. Satu tangannya terangkat, meraih tangan neneknya yang masih mengelus rambutnya, lalu menggenggamnya perlahan dan membawanya ke bibir. “Aku menyayangimu, Grandma,” gumamnya, sebelum mengecup punggung tangan itu dengan lembut. Celine terkekeh pelan. “Tidak terasa … cucuku sekarang sudah dewasa. Tiga puluh tahun. Rasanya baru kemarin aku membantu putriku—Anna mengganti popokmu,” ujarnya mengenang, suara lembutnya diselimuti tawa kecil yang hangat. Oscar pun tertawa pelan. Matanya akhirnya terbuka, menatap wajah sang nenek dari bawah dengan sorot mata yang sedikit melembut. Suasana terasa hangat, sejenak memudar segala ketegangan dunia luar. “Aku semakin dewasa, dan kamu semakin tua, cantik, dan seksi,” goda Oscar, masih berbaring santai dengan kepala di pangkuan neneknya. Celine tertawa geli, mencubit gemas pipi cucunya. “Dasar genit.” Tangannya kembali mengusap rambut hitam tebal Oscar dengan lembut. “Kamu harus cukuran. Rambutmu sudah sangat panjang.” “Mommy sibuk mengurus suaminya, tidak ada waktu untuk merapikan rambutku,” sahut Oscar datar, tapi penuh sindiran halus. Celine tertawa lagi, kali ini lebih lepas. “Suaminya itu ayahmu. Tidak boleh bicara seperti itu.” “Aku tidak bilang kalau dia bukan ayahku, Grandma.” Celine menarik napas pendek. “Sayang, kenapa kamu kesal sekali pada ayahmu?” “Karena dia menyebalkan. Sama seperti suamimu.” Tawa Celine meledak. “Kamu benar-benar keterlaluan.” Tapi ucapannya lembut, tidak benar-benar menegur. Bagaimana Celine bisa menyangkal itu—jika apa yang dikatakan oleh cucunya adalah fakta. Suaminya—Morgan memang teramat menyebalkan. “Mereka membuatku pusing, Grandma. Di markas, Grandpa nyaris membuatku gila. Di kantor, Dad terus mengulang hal yang sama, menjelaskan sesuatu yang sebenarnya sudah aku pahami. Itu membuatku muak sekali. Aku sangat lelah dengan mereka berdua,” adu Oscar. Celine mendengarkan dengan sabar, tangannya tetap mengelus lembut rambut cucunya. “Sebenarnya, kalau Grandma boleh berpendapat … mungkin bukan mereka yang salah.” Oscar membuka mata yang tadinya di pejamkan kembali, menatap neneknya dengan pandangan tajam. “Jadi sekarang Grandma menyalahkanku?” “Grandma tidak menyalahkan. Tapi kamu terlalu gampang emosi. Mereka baru bicara satu-dua kalimat, kamu sudah bereaksi berlebihan. Ya, kamu pasti lelah sendiri, sayang.” “Mereka memang menyebalkan, Grandma. Bisa tidak kamu bantu aku sedikit saja? Tegur mereka, setidaknya supaya tidak membuatku pusing setiap hari. Takutnya aku kelepasan. Lepas kendali.” “Dan kamu akan melawan mereka begitu?” sahut Celine tenang. Oscar tidak menjawab—hanya tertawa ringan. Dia menggeser tubuhnya pelan, lalu memeluk pinggang sang nenek. Tangannya menyusup ke balik tubuh wanita tua itu yang bersandar di sofa. Pelukannya erat, seperti anak kecil yang mencari perlindungan. Wajahnya tenggelam di perut sang nenek, dan suaranya terdengar sedikit teredam. “Grandpa kalau aku lawan, dia suka sesak napas. Kasihan sekali dia sudah tua,” gumamnya. Meski nyaris tak terdengar, Celine masih bisa menangkap kalimat itu dengan jelas, hingga tawanya meledak keras. “Kamu memang nakal sejak kecil,” ucapnya sambil mengelus pelan kepala cucunya. Tak berselang lama setelah gelak tawa mereka reda, ponsel Celine berdering pelan dari atas meja kecil di samping kursi. Wanita tua itu segera meraihnya dan menjawab panggilan tanpa banyak kata. Suara di seberang sana adalah milik putranya, Lucas—ayah Oscar—yang meminta agar Celine menghubungi cucunya. Lucas tak tahu bahwa Oscar saat itu sedang berada di kamar ibunya sendiri, bersantai di pelukannya. Celine hanya menyahut singkat dan langsung menutup telepon begitu pembicaraan selesai. Setelah itu, tanpa membuang waktu, Celine menoleh ke arah Oscar dan memberitahunya bahwa kakeknya, Morgan, sedang menunggu di markas. Ada hal penting yang ingin dibicarakan malam ini, dan Oscar diminta untuk segera datang. Oscar sempat menghela napas panjang. Raut wajahnya menunjukkan keengganan, jelas dia tidak menyukai perintah mendadak seperti ini. Tapi karena permintaan itu datang langsung dari sang nenek, yang selama ini selalu dihormatinya, Oscar tak punya alasan untuk menolak. Ia bangkit dari sofa panjang, lalu membungkuk sejenak untuk mengecup kening Celine sebagai tanda pamit. Tanpa banyak bicara, ia pun meninggalkan kamar, melangkah keluar dari mansion Kingston menuju markas Black Tiger yang telah menunggunya malam itu. ** Beberapa waktu kemudian, di markas Black Tiger. Waktu sudah lewat tengah malam. Jarum jam menunjuk pukul 12.48. Suasana di dalam ruang pribadi Morgan terasa tenang namun penuh tekanan. Morgan duduk di kursi pribadinya. Di depannya, Lucas Spencer Kingston, putranya, duduk di salah satu kursi berlapis kain gelap, bersandar santai. Oscar belum tiba. Pemuda itu mungkin masih dalam perjalanan dari mansion Kingston. Sementara itu, suasana di antara ayah dan anak ini diselimuti keheningan sejenak sebelum Lucas akhirnya angkat bicara. “Jadi, pemilik chip itu seorang wanita?” tanyanya datar, namun kedua matanya memicing tajam ke arah sang ayah. Morgan mengangguk pelan. “Iya.” Alis tebal Lucas terangkat agak tinggi. “Dan sekarang wanita itu sudah ada di sini? Di New York?” “Sudah,” jawab Morgan tegas. “Beberapa jam lalu, Oscar yang membawanya ke sini.” Punggung lebar Lucas kian tenggelam pada sandaran kursi. “Jadi Oscar sudah tahu tentang ini?” “Belum,” jawab Morgan tenang, memutar cincin di jarinya. “Dia belum tahu kalau gadis itu adalah pemilik chip. Aku hanya memintanya untuk menyelamatkannya karena musuh sepertinya mulai mencium keberadaan chip tersebut.” Lucas menyipit. “Kau bilang dia gadis … berarti muda.” Morgan mengangguk. “Namanya Beverlyn Lovandra Vale. Gadis itu … adalah kunci.” Lucas menatapnya lekat. “Dan chip itu … ada padanya?” Morgan membenarkan duduknya, condong sedikit ke depan. “Tidak hanya ada padanya. Chip itu ditanam dalam liontin yang dia pakai. Thomas menyamarkannya sebagai warisan keluarga. Tapi kenyataannya, itu adalah pemicu akses ke sistem Shadow Line. Hanya Beverlyn yang bisa membukanya. Dan ketika dibuka, hanya satu orang yang bisa mengendalikan isi di dalamnya.” Lucas mengerutkan dahi. “Oscar?” Morgan tidak menjawab. Dia hanya menatap mata putranya dengan ekspresi yang tak terbaca. Lucas menajamkan tatapannya. “Sebentar. Bukankah kau pernah mengatakan dulu … kalau chip itu dipegang oleh seorang laki-laki? Kenapa sekarang tiba-tiba jadi perempuan?” Suaranya dingin, datar, namun tajam—seperti sedang mengupas satu kebohongan yang selama ini disimpan rapat-rapat. Morgan terdiam sejenak. Ia tahu pertanyaan itu akan datang. Maka, ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Tubuhnya yang semula tegak, kini perlahan bersandar ke kursi empuk yang menopang punggung tuanya. “Itu hanya manipulasi,” ucap Morgan tenang. Tatapannya jatuh lurus ke mata putranya. “Jadi … kau berbohong?” tanya Lucas, nyaris tanpa kedipan. Morgan terkekeh pelan. Bahu tuanya bergetar kecil. “Aku tidak berbohong, son,” katanya ringan. “Aku hanya menyembunyikan sebagian kebenaran. Untuk memastikan semuanya tetap terkendali.” Lucas menggeleng pelan, tampak tak percaya. “Kalau kau memanipulasi orang-orang di luar sana, itu masih bisa aku maklumi. Tapi aku? Aku ini putramu, Dad. Kau memilih merahasiakan ini dariku juga?” Morgan tidak langsung menjawab. Ia hanya mengamati raut wajah Lucas—yang kini tampak sangat mirip dengannya di masa muda: keras kepala, penuh prinsip, dan mudah merasa dikhianati. “Aku menutupinya darimu karena aku tahu pikiranmu sejalan dengan Alexander’s…” Lucas menyipitkan mata. “Alexander’s?” Morgan mempertgas ucapannya. “Maksudku … Michael Alexander’s. Kau dan dia sama. Kalian mendukung cucuku bersama Cassie.” Lucas merapatkan rahangnya. “Apa hubungan Michael, Cassie dan cucumu dengan ini semua?” Morgan tidak langsung menjawab. Sorot matanya kini dingin, nyaris seperti Oscar ketika sedang menahan emosi. “Aku tidak mendukung Cassie bersama cucuku,” lanjutnya pelan. “Karena pemilik chip ini akan menjadi istri Oscar. Titik. Dan sekarang, kita tahu siapa orang itu.” Lucas sontak tercengang. Morgan melanjutkan dengan suara yang lebih tegas. “Gadis itu … Beverlyn Lovandra Vale. Dan aku sudah memutuskan. Dia akan menikah dengan Oscar. Bukan Cassie, bukan orang lain.” Suasana ruangan seketika terasa lebih berat. Lucas terdiam. Tak ada suara selain dengung samar mesin pendingin udara. Kalimat terakhir sang ayah terasa seperti palu yang menghantam satu bab dalam sejarah keluarga mereka. Lucas menarik napas pendek. “Jadi semua ini sudah kau atur sejak awal?” Morgan mengangguk pelan. “Ya. Beverlyn pemilik chip—yang artinya dia akan lebih sering bersama dengan Oscar karena mereka berdua saling membutuhkan. Kalau Oscar menikah dengan Cassie … maka kehadiran Beverlyn diantara mereka hanya akan membuat Cassie terluka.” Lucas menghela napas berat, mengusap wajahnya sendiri, lalu berkata dengan nada tegas, “Aku yakin Oscar akan menentang keputusan ini. Kau sendiri tahu seperti apa cucumu itu. Dia akan menolak mentah-mentah pernikahan ini, Dad.” Morgan tidak bereaksi langsung. Ia hanya memandangi putranya dalam-dalam, lalu bersuara dingin, nyaris mengintimidasi. “Aku tahu dia akan menolak,” katanya. “Tapi sebelum itu terjadi, aku harus mengingatkanmu satu hal, Lucas. Jangan pernah berpihak padanya.” Lucas mendongak, menatap ayahnya dengan sorot tak percaya. “Biarkan dia berdiri sendiri,” tegas Morgan. “Jangan ada satupun dari kalian yang ikut memperkuat penolakannya. Jangan berikan dia jalan keluar. Karena kalau itu terjadi, kalau Oscar benar-benar meninggalkan Beverlyn … maka kamu bisa melihat sendiri dunia ini hancur. Chip itu bukan benda biasa. Kau sendiri tahu itu.” Lucas bergeming. Ia mendengarkan, dan Morgan melanjutkan dengan suara yang lebih dalam. “Thomas memberiku amanat, son. Sebelum dia meninggal, dia menitipkan Beverlyn padaku. Gadis itu adalah kunci terakhir peninggalan sahabatku. Tapi aku tahu diriku … aku tak bisa melindunginya terus-menerus. Terlalu banyak musuh, terlalu banyak pihak yang mengincar chip itu. Maka satu-satunya jalan adalah mengikatnya secara resmi dengan orang yang bisa mengendalikan sistem itu.” “Dan itu … hanya Oscar,” gumam Lucas pelan, akhirnya mengerti arah pembicaraan sang ayah. Morgan mengangguk tegas. “VKC-89—chip yang tersemat di liontin itu—adalah unit pemrosesan tingkat tinggi yang terhubung langsung ke jaringan Shadow Line, tempat semua transaksi gelap dan struktur keuangan ilegal global disimpan,” jelas Morgan. “Tapi, chip itu tidak bisa diakses oleh siapa pun, kecuali oleh biometrik Beverlyn. Itu sistem keamanan utamanya.” Lucas mengernyit. “Lalu Oscar?” Morgan menyandarkan tubuh. “Oscar … adalah satu-satunya individu yang memiliki proxy decryption key—kunci pengendali yang dirancang Thomas untuk menyatu secara neuro-psikis melalui pelatihan khusus dan paparan sistem sejak dini. Sejak kecil, Oscar sudah aku perkenalkan pada sistem ini. Tanpa Oscar, chip itu tidak bisa diarahkan. Dan tanpa Beverlyn, chip itu tidak bisa dibuka.” “Jadi … Beverlyn adalah pembuka,” simpul Lucas, “dan Oscar adalah pengendali.” Morgan mengangguk. “Sistem ini disebut dual-biometric control. Proteksi ini tidak hanya mengandalkan sidik jari, tapi juga denyut jantung, resonansi saraf, dan neuro-sinkronisasi. Mereka harus bersatu. Secara fisik, legal, dan mental. Pernikahan adalah cara terbaik menyatukan itu semua dalam sistem. Jika orang lain mencoba memaksakan akses, chip akan menghancurkan dirinya sendiri. Dan … orang yang memaksakannya juga akan binasa.” Lucas mengembuskan napas perlahan, memahami betapa dalam dan rumit semua ini. ** Beberapa saat kemudian… Pintu ruang pribadi Morgan terbuka dengan perlahan, tanpa ketukan. Sosok tinggi dan berwibawa itu masuk begitu saja. Oscar Grey Kingston. Langkahnya mantap, tenang, namun aura dingin yang selalu menyertainya langsung memenuhi ruangan. Pandangannya menyapu singkat, menatap tajam ke arah kakek dan ayahnya—secara bergantian—sebelum akhirnya ia menarik salah satu kursi di samping Lucas dan duduk dengan gerakan ringan namun tegas. Tanpa basa-basi, Oscar membuka suara. “Kita ini manusia, bukan?” katanya sambil melirik keduanya. “Butuh tidur. Kalau kita tidak tidur, kita bisa mati. Apalagi yang sudah tua—” Ia menatap Morgan lurus, “—fisiknya tentu lebih cepat kelelahan. Apa tidak takut mati?” sarkasnya terdengar tajam, tanpa sedikit pun menahan lidah. Morgan hanya mengulum senyum. Tidak ada sedikitpun raut tersinggung di wajah tuanya. Pria itu terlalu paham karakter cucunya—terlalu dingin, terlalu blak-blakan, dan terlalu terbiasa bersikap seenaknya. Sementara itu, Lucas hanya bisa menghela napas berat. Setiap kali berada di antara ayah dan putranya, selalu saja kepalanya terasa berdenyut. Terlalu banyak ketegangan dalam satu ruangan. Dalam hati, Lucas kembali mengingat mendiang kakeknya, Jordhan Kingston. Dulu, dia justru sangat dekat dengan Jordhan. Setidaknya, hubungan mereka tidak sedingin hubungan Oscar dan Morgan. Dan semuanya karena sikap Morgan sendiri. Memang benar kata orang-orang di luar sana—bahwa dari seluruh garis keturunan Kingston, Morgan adalah yang paling keras kepala, paling manipulatif, dan paling menyebalkan. Dan tampaknya, darah itu mengalir begitu kental dalam diri cucunya yang satu ini. “Biasanya juga yang lebih mudah,” ujar Morgan santai, suaranya tetap tenang, “kalau terlalu sering kurang ajar, bisa mati duluan.” Oscar tidak membalas. Ia hanya diam di kursinya, namun sorot mata tajamnya menatap lurus ke arah kakeknya. Tatapan itu dingin—tanpa ekspresi, tapi penuh perlawanan dalam diam. Lucas yang duduk di sebelahnya menggeleng samar, seolah sudah terlalu lelah menghadapi pertarungan ego antara dua generasi Kingston itu. “Jadi, kalian yang merasa paling muda,” lanjut Morgan sambil bersandar santai di kursinya, “belajarlah untuk tidak kurang ajar. Konon katanya, orang seperti itu umurnya pendek. Terutama kau, Little Devil—hidup itu seharusnya dijalani dengan sopan santun.” Oscar berdecak pelan, lalu mengibas tangannya ke udara dengan gerakan ringan dan acuh. “Tidak perlu berbahasa-basi. Langsung saja. Apa yang ingin kalian bicarakan sampai memanggilku ke sini?” Lucas menjawab lebih dulu, tanpa menoleh. “Bukan aku yang ingin bicara,” sahutnya dingin. “Grandpamu yang ingin.” Oscar sempat menoleh ke arah ayahnya, hanya sejenak. Tak ada ekspresi di wajahnya selain tatapan singkat. Lalu dia kembali menatap Morgan. Morgan mengerti. Dan kali ini, pria tua itu perlahan membenahi posisi duduknya, tangan bertumpu di atas meja. Lalu ia membuka suara, membuka topik yang sudah lama dipendam. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN