Bab 6: Harus Menikah

2679 Kata
*** Beverlyn menunggu jawaban itu sambil meremas-remas jemarinya di atas paha. Kedua matanya menatap lekat, penuh rasa penasaran dan gelisah ke arah Morgan. Pria tua itu menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. Tatapannya makin tajam. Ia menatap wajah cantik cucu sahabatnya itu dalam diam. Wanita yang kini telah tumbuh dewasa—wanita yang selama ini ia lindungi dan jaga dengan segala cara. Beverlyn bukan sekadar titipan. Ia adalah janji yang harus ditepati, peninggalan terakhir dari Thomas Vale—sahabatnya yang harus dilindungi. “Oscar Grey Kingston,” ucap Morgan akhirnya, suaranya berat dan dalam. Sekejap, kedua mata Beverlyn membulat lebar. Wajahnya pucat dalam sekejap. Bibirnya bergetar. “A-Apa?” lirihnya tercekat, nyaris tak terdengar. “Oscar? Maksud Grandpa … dia … dia yang semalam menyelamatkanku, kan? Pria itu … yang membawaku ke sini?” Morgan mengangguk pelan. “Ya. Kamu benar. Oscar adalah cucuku. Dan aku telah mempersiapkannya untukmu. Sama seperti aku telah mempersiapkanmu untuknya.” Napas Beverlyn seketika memburu. Dadanya naik-turun tak beraturan. Ia menggeleng pelan, berulang kali, nyaris tak terlihat. “G-Grandpa … apakah … apakah tidak ada cucumu yang lain? Maksudku, tidak adakah pria lain selain dia?” suaranya bergetar. “Apakah aku benar-benar harus menikah dengannya…?” Bayangan ekspresi dingin Oscar, sorot mata tajamnya yang menusuk, serta sikap menyebalkan pria itu kini memenuhi kepalanya—membuat bayang-bayang penderita memenuhi benaknya. Pria itu arogan, tajam, tak punya simpati. Dan sekarang … dia harus menikah dengannya? Rasanya seperti lelucon yang pahit. Beverlyn menunduk. Bibirnya bergetar hebat, seperti ingin menangis namun tak punya alasan yang cukup kuat untuk memprotes keputusan itu. Karena ia tahu, bila Morgan sudah menetapkan sesuatu … maka semua akan terjadi. “Baiklah,” ucap Morgan perlahan. “Aku akan ceritakan sedikit, dengan singkat, agar kamu mengerti, Nak.” Ia menatap wajah Beverlyn dalam-dalam. “Aku paham. Kamu tidak benar-benar mengenal dunia bawah tanah. Dan memang sebaiknya seperti itu. Tapi kamu juga tahu—bahwa kakekmu sendiri, Thomas Vale, bukan orang biasa. Dia bukan sekadar pensiunan dokter atau pria tua penyayang keluarga seperti yang orang-orang kira.” Morgan mencondongkan tubuhnya sedikit. “Thomas bukan orang biasa di dunia ini. Dia dikenal sebagai The Vault—brankas hidup yang menyimpan semua rahasia keuangan kelompok-kelompok bawah tanah. Dia adalah shadow banker, orang di balik pengaturan aliran dana gelap lintas negara, penyamaran aset melalui perusahaan legal, dan pengelolaan kekayaan rahasia milik berbagai klan besar. Perannya sebagai financial overseer menjadikannya pusat dari stabilitas ekonomi dunia hitam. Dan itu sebabnya… begitu dia tumbang, semua yang bergantung padanya ikut berguncang.” Beverlyn menatap Morgan, membisu. Wajahnya perlahan berubah, seakan mencoba memahami setiap kalimat itu. “Selama bertahun-tahun, Thomas menjaga semua itu dalam diam. Tidak pernah ada catatan resmi. Semua transaksi hanya disimpan dalam memorinya—dan satu lagi.” Morgan menoleh pada liontin yang kini sudah tergantung di leher Beverlyn. “Benda itu. Di sanalah dia menyimpan sebagian data rahasia terakhirnya, dengan sistem chip yang tak bisa dibuka sembarang orang.” Morgan menghela napas perlahan. “Dan saat situasi mulai memanas … saat dia tahu hidupnya dalam bahaya, dia tidak menyimpannya di markas atau menyerahkannya pada rekan bisnis. Dia memberikannya padamu.” “Karena dia percaya … kamu satu-satunya orang yang tidak akan dicurigai oleh siapapun. Satu-satunya orang yang bisa menjaga liontin itu tanpa menarik perhatian musuh. Dan yang terpenting…” Morgan berhenti sejenak, menatap mata Beverlyn. “Kamu adalah cucunya. Darah dagingnya.” Morgan menatap lekat wajah Beverlyn yang mulai terlihat tegang. Napas pria tua itu terdengar berat sebelum akhirnya kembali bicara. “Dan pada akhirnya, Nak … liontin itu tetap membuatmu diburu—menjadi target,” ucapnya pelan namun tajam. “Nyawamu sekarang berada dalam bahaya, entah kamu menyadarinya atau tidak. Kamu tidak akan bisa lepas dari kenyataan ini.” Ia mengambil jeda, lalu melanjutkan dengan suara yang lebih dalam. “Andai kamu memutuskan untuk pergi sekarang—meninggalkan tempat ini, meninggalkan kami, menolak pernikahan dengan Oscar—Grandpa tidak yakin kamu masih bisa bernapas dalam waktu lebih dari dua puluh empat jam.” Beverlyn menahan napas. Matanya membelalak perlahan. “Chip yang tertanam dalam liontin itu … bukan sekadar penyimpanan data biasa. Itu perangkat berteknologi tinggi. Dibuat khusus oleh Thomas, kakekmu, dengan sistem enkripsi yang hanya bisa dibuka oleh satu orang—kamu.” Morgan menunjuk liontin di d**a Beverlyn dengan isyarat lembut. “Mereka yang menginginkan data itu … mereka akan melacaknya. Dan bukan hanya liontinnya yang mereka cari—tapi dirimu. Karena tanpa kamu, chip itu tidak bisa diakses. Tidak bisa dibuka. Tidak berguna.” Beverlyn terpaku, menunduk pelan menatap liontin yang seolah tiba-tiba berubah menjadi bom waktu di lehernya sendiri. “Dan ketika kamu membuka chip itu, Nak—saat kode enkripsinya aktif—akan terbuka akses ke semua jaringan rahasia yang pernah dikelola Thomas. Jalur transaksi, nama-nama klan, rekening gelap, bahkan lokasi aset tersembunyi. Semuanya.” Morgan mencondongkan tubuh ke depan, menatap wanita itu dalam. “Jika sampai jatuh ke tangan yang salah … dunia ini tidak akan pernah sama lagi. Mereka yang serakah akan menguasai segalanya. Mereka akan menggunakan semua data itu untuk kekuasaan, untuk menghancurkan, memeras, membunuh. Apa yang tersisa dari dunia bawah akan porak-poranda. Dan kamu akan menjadi pemicunya—meski tanpa sengaja.” Suasana menjadi hening. Suara napas Beverlyn menggema di antara dinding ruangan remang itu. Morgan akhirnya menambahkan, dengan suara yang lebih lembut. “Karena itu, Grandpa menjodohkanmu dengan Oscar. Bukan karena dia cucuku. Tapi karena dia satu-satunya yang bisa melindungimu—dan melindungi dunia dari kehancuran yang mungkin terjadi jika chip itu jatuh ke tangan yang salah.” “Tapi … kenapa harus dia, Grandpa?” tanya Beverlyn pelan. Nadanya lembut, tapi jelas menunjukkan penolakan yang tegas. “Apakah hanya dia satu-satunya cucumu yang bisa dijodohkan denganku?” Morgan menatap lekat wajah Beverlyn. Ia tahu mengapa wanita itu teramat keukeuh menolak Oscar. Meskipun baru semalam mereka bertemu—baru hari ini benar-benar bersinggungan secara langsung—Morgan tahu pasti alasan di balik keraguan itu. Bahkan sekalipun Oscar adalah pria yang tampan, gagah, kaya raya, dan bisa memberikan apapun yang wanita inginkan … tetap saja, satu hal yang membuat siapa pun akan berpikir dua kali untuk menjadikannya suami: sikap dinginnya. Arogansinya. Ketidakpeduliannya. Morgan menarik napas dalam, lalu bersandar ringan di sandaran kursinya. “Aku punya cucu-cucu lain,” ujarnya tenang. “Bahkan yang sebaya denganmu, Beverlyn. Ada banyak, dari putra atau cucu-cucu kerabat dekatku. Tapi kembali lagi … Grandpa sangat yakin—orang yang bisa melindungimu sepenuhnya hanya Oscar.” Beverlyn tidak menyela. Ia mendengarkan, walau wajahnya belum luluh. “Karena hanya Oscar yang tahu bagaimana mengendalikan chip yang tertanam di liontinmu itu ketika kamu nanti membukanya. Hanya dia yang pernah mempelajari sistem itu. Hanya dia yang memiliki akses—yang mampu mengarahkan isi chip tersebut ke tangan yang tepat, bukan ke tangan-tangan serakah.” Morgan mencondongkan tubuh ke depan. “Jika kamu menikah dengan cucuku yang lain, atau siapa pun yang tidak memahami cara kerja chip itu … maka saat kamu membukanya, dia tidak akan tahu bagaimana mengendalikannya. Dan saat itu terjadi, dunia bawah akan kacau. Kamu sendiri akan dalam bahaya besar.” Suasana sunyi sejenak, hanya terdengar detak jam di dinding ruangan remang itu. “Jadi, satu-satunya jalan paling aman … adalah kamu dan Oscar menikah. Kalian harus memegang kendali chip itu bersama. Kalian saling membutuhkan. Oscar membutuhkan chip itu agar kekuatan Black Tiger tetap stabil dan tidak jatuh ke tangan yang salah serta keselamatan dunia. Dan kamu … kamu membutuhkan Oscar sebagai pelindungmu. Satu-satunya orang yang bisa menjaga nyawamu dengan taruhan nyawanya sendiri.” Morgan menatap dalam ke mata Beverlyn. “Perlindungan itu … hanya bisa kau dapatkan dari satu orang, Nak. Dan dia adalah Oscar Grey Kingston.” “Tapi … bagaimana Grandpa bisa seyakin itu kalau dia bersedia melindungiku?” tanya Beverlyn pelan, dengan suara nyaris berbisik. Ada keraguan di sana, keraguan yang nyata. Morgan menatap wanita itu dalam-dalam. Senyumnya muncul tipis, tenang namun meyakinkan. “Karena kamu adalah pemilik chip itu.” Beverlyn mengernyitkan dahi. Morgan melanjutkan. “Grandpa yakin … dia tidak akan sebodoh itu membiarkanmu—pemilik chip berada dalam bahaya. Dia tahu betapa pentingnya kamu, dan chip itu. Percayalah, Oscar akan melindungimu—meski kalian belum saling mencintai.” Morgan bersandar sejenak, menarik napas perlahan, lalu melanjutkan dengan nada penuh pengertian, “Oke, Grandpa mengerti sekarang bagaimana perasaanmu. Kamu meragukan Oscar … untuk melindungimu karena tidak ada cinta di antara kalian. Kalian akan menikah tanpa perasaan itu. Tanpa cinta.” Ia berhenti sejenak, lalu mengangkat dagunya, seolah menegaskan kalimat berikutnya. “Kita anggap saja ini sebagai bisnis,” katanya mantap. “Kamu memiliki chip, yang sangat dibutuhkan oleh Oscar. Dan Oscar memiliki kemampuan untuk melindungimu—perlindungan yang kamu butuhkan, yang belum tentu bisa diberikan oleh orang lain.” Morgan tersenyum lembut. “Tapi percayalah … meski Oscar belum mencintaimu, dia tidak akan membiarkanmu sendirian menghadapi bahaya.” Ia menatap mata Beverlyn, lebih dalam kali ini. “Dan Grandpa percaya satu hal: pernikahan tidak selalu harus diawali dengan cinta. Banyak orang yang menikah tanpa cinta … dan tetap bahagia.” Nada suara Morgan menjadi hangat, penuh kebanggaan. “Aku punya satu cucu luar biasa. Namanya Nicholas. Aku sangat menyayanginya. Sekarang dia sudah menikah dan punya anak. Tapi kamu tahu, dia menikahi seorang wanita yang tidak dia cintai. Bahkan … dia hanya seorang pengganti di pernikahan itu. Dia menggantikan adiknya yang kabur, meninggalkan calon pengantinnya.” Beverlyn mendengarkan dengan serius. Agak syok, tapi juga tertarik mendengar lebih jauh. Morgan tersenyum kecil. “Dan kamu tahu, Nak? Mereka sekarang sangat bahagia. Mereka punya rumah tangga yang kuat, punya anak yang lucu. Padahal saat mereka mengucap janji suci di altar … tak ada cinta. Yang ada hanya kebencian dan keterpaksaan.” Ia terkekeh ringan, mengenang momen itu. Kemudian Morgan kembali ke inti pembicaraan. “Oke, mari kita kembali ke topik awal,” ucapnya, lebih serius kali ini. “Grandpa yakin, hal yang sama bisa terjadi padamu dan Oscar. Kamu cantik, cerdas, baik hati, dan lemah lembut. Grandpa percaya … kamu bisa menaklukkan Oscar.” Senyumnya mengembang penuh keyakinan. “Pelan-pelan saja, Nak. Kamu pasti bisa.” Detik demi detik berlalu. Beverlyn menghela napas pelan, lalu kedua matanya terpejam sesaat sebelum akhirnya kembali terbuka, menatap wajah Morgan dengan sorot mata berat. Bibirnya masih rapat. Tak ada sepatah kata pun terucap. Namun hatinya … sudah menjerit sejak tadi. ‘Ya Tuhan … bagaimana caranya aku bisa menaklukkannya?” ‘Dia saja … sikapnya semenyebalkan itu.’ ‘Belum lagi tatapannya. Setiap kali dia menatap orang, matanya tajam seperti pisau—menusuk, mengintimidasi, membuat siapa pun ciut. Bahkan aku sendiri tidak berani menatapnya lama-lama. Rasanya seperti … seperti berhadapan dengan seseorang yang tidak punya perasaan. Tak ada empati. Tak ada hangatnya.’ ‘Lantas … bagaimana Grandpa bisa yakin dia akan melindungiku? Hanya karena aku pemilik benda itu?’ ‘Semalam saja … karena satu kejadian menegangkan, dia mengomeliku habis-habisan. Katanya aku merepotkan. Membuat hidupnya kacau. Itu baru satu malam…’ ‘Lalu bagaimana nanti, kalau aku benar-benar dalam bahaya? Kalau para penjahat itu benar-benar datang untuk memburuku? Apakah dia akan tetap mau melindungiku?’ ‘Ya Tuhan … kenapa semua ini harus terjadi padaku?’ “Beverlyn,” panggil Morgan lembut, seraya menatap wajah penuh kegalauan di hadapannya. Ketika Beverlyn mengalihkan pandangannya dan kembali menatap pria tua itu, Morgan menarik kedua sudut bibirnya, menciptakan senyum hangat. “It’s okay. Relax, nak,” ucapnya lembut. “Aku takut, Grandpa…” desah Beverlyn lirih, nyaris tak terdengar. “Takut karena apa?” tanya Morgan lembut. “Aku takut … Oscar tidak akan menerima ini. Kalaupun dia menerima, mungkin hanya karena terpaksa. Dan kalau begitu, aku pasti akan disalahkan. Dia akan marah-marah dan … aku tidak tahu harus bagaimana, Grandpa.” Morgan mengangguk pelan. Ia mendengarkan dengan seksama, lalu berkata tenang, “Ya, Grandpa mengerti. Dan Grandpa sudah memikirkan itu dengan sangat matang.” Ia menarik napas dalam sebelum melanjutkan. “Karena itulah, dengan berat hati, Grandpa akan menyarankan satu hal padamu: belajarlah menjadi orang yang … tidak punya perasaan.” “Hah?” dahi Beverlyn mengernyit, matanya menatap penuh bingung. “Maksudnya, Grandpa?” Morgan kembali menarik napas panjang. “Kamu tidak perlu memasukkan ke hati semua yang dia ucapkan. Mau dia marah, membentak, atau bahkan bersikap dingin seolah kamu ini beban—abaikan.” “Maafkan Grandpa kalau ini terdengar egois. Grandpa tahu kamu punya hati, kamu punya perasaan. Tapi inilah takdirmu, Beverlyn. Kamu harus menikah dengan Oscar. Dan untuk bisa bertahan, untuk bisa menjaga kewarasanmu sebagai istrinya, kamu juga harus bersikap … sama. Belajar untuk tidak terlalu memedulikan sikapnya. Setidaknya, dalam menghadapi dia.” Morgan berhenti sejenak, menatap wajah Beverlyn yang masih terpaku, lalu melanjutkan. “Grandpa tahu kamu anak yang baik. Terlalu baik malah. Tapi Oscar…” pria tua itu tersenyum miris, “…Oscar itu menyebalkan. Iya, Grandpa tidak akan menyangkal.” “Kamu pasti sudah menyadarinya meski baru satu malam bersamanya. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibirnya … tidak pernah disaring. Dia tidak peduli bagaimana perasaan orang yang mendengarnya. Dan ya, Grandpa sangat memahami cucuku itu.” “Tipe seperti Oscar memang sulit ditaklukkan. Tapi bukan berarti tidak bisa. Kamu pasti bisa, nak. Pelan-pelan … kamu akan terbiasa. Kamu akan memahami bagaimana cara menghadapinya. Jangan khawatir…” Morgan mencondongkan tubuh sedikit, suaranya lebih tegas. “Grandpa bisa jamin, dia tidak akan pernah menyakitimu secara fisik. Kalau sampai dia berani melakukan itu … Grandpa sendiri yang akan menghukumnya.” “Kamu hanya perlu mempersiapkan mentalmu untuk satu hal: kata-katanya yang pedas. Hanya itu. Tapi ya … kata-kata pedas itu ibarat penyakit kronis dalam dirinya. Sudah mendarah daging. Susah sekali dihilangkan. Dia memang semenyebalkan itu.” Morgan tersenyum kecil, nada suaranya terdengar sedikit dramatis. “Maafkan Grandpa…” ** Beberapa jam kemudian. Jarum jam kini menunjuk pukul sebelas malam. Beberapa saat yang lalu, Morgan telah mengantar Beverlyn ke sebuah hotel berbintang di pusat kota. Wanita itu akan menginap di sana malam ini—sendirian. Morgan menyarankan agar Beverlyn beristirahat, menenangkan diri sebelum besok pagi dibawa ke Mansion Kingston untuk dikenalkan secara resmi kepada keluarga. Dan ya, itulah yang mereka bahas panjang lebar beberapa jam lalu: tentang Oscar, dan pernikahan yang tak bisa ditolak itu. Kini Morgan telah kembali ke markas Black Tiger. Ia duduk di ruang pribadi yang hanya bisa dimasuki oleh segelintir orang kepercayaannya. Cahaya remang dari lampu antik di pojok ruangan menciptakan siluet elegan pada wajah tuanya yang tegas. Sebuah ponsel menempel di telinga pria itu. “Halo?” suara berat terdengar di ujung sambungan. “Datanglah ke markas. Ada yang ingin Dad bicarakan denganmu,” ujar Morgan tenang, tapi tak memberi ruang untuk penolakan. “Malam-malam begini?” sahut Lucas Spencer Kingston—pria paruh baya itu di seberang, terdengar malas. “Ya, ini baru jam sebelas, Son,” balas Morgan dengan nada dingin. “Tunda dulu aktivitasmu dengan Anna. Ini penting.” Terdengar dengkusan malas dari seberang sana. “Hubungi juga putramu,” lanjut Morgan, mengabaikan sikap putranya itu. “Karena aku ingin bicara dengan kalian berdua. Ini sangat penting, son. Tidak bisa ditunda.” “Aku tidak bisa menghubungi Oscar. Nomorku diblokir,” sahut Lucas datar. “Kenapa tidak kau saja yang telepon dia langsung?” Morgan menarik napas berat. “Kalau begitu, kasih tahu Anna—suruh dia telepon putranya. Suruh dia perintahkan Oscar untuk datang. Sekarang.” “Kenapa bukan kamu saja yang menghubungi, Dad?” sahut Lucas kesal. “Kenapa harus aku? Kenapa harus Anna?” lanjutnya dengan nada sarkas. Morgan terdiam sejenak. Sorot matanya tajam ke arah jendela besar di belakang mejanya. Suara jam antik terdengar berdetak pelan. “Aku tidak berani menghubunginya sekarang,” ujarnya akhirnya, berat. “Tadi dia marah-marah. Dan kau tahu sendiri bagaimana kalau dia sudah marah. Maka kali ini, aku butuh bantuan Anna.” “Kalau Anna tidak bisa, temui ibumu. Suruh dia hubungi Oscar. Aku tidak mau tahu, Lucas. Dia harus datang ke markas bersama denganmu. Dad tunggu kalian berdua. Sebelum tengah malam.” Belum sempat Lucas membalas, Morgan sudah menjauhkan ponsel dari telinganya. Lalu—tanpa ragu—menekan tombol merah. Sambungan terputus. Sepihak. Dan ya, Morgan memang seperti itu. Selalu menyudahi percakapan dengan caranya sendiri. Tak peduli apakah lawan bicaranya sudah selesai atau belum. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN