*** Dua hari telah berlalu sejak laporan pertama masuk ke meja Dymitr Reznik. Dua hari penuh yang seharusnya cukup untuk membongkar siapa pun, dari orang biasa sampai pejabat tinggi, karena jaringan Ordo Cinis terbiasa bekerja cepat dan presisi. Namun kenyataannya, hingga malam itu, layar-layar di hadapannya tetap kosong. Tidak ada nama. Tidak ada catatan lahir. Tidak ada arsip pekerjaan. Bahkan sekadar rekaman wajah pun tidak mengarah ke mana-mana. Dymitr duduk di kursi utamanya, bahunya bersandar, kedua jemarinya mengetuk ringan pada permukaan meja marmer gelap. Ketukan itu bukan tanpa arti— setiap anak buah yang berada di ruangan tahu, semakin lama bunyi itu terdengar, semakin dekat pula ledakan amarah yang ditahan oleh pria itu. Mata Dymitr menatap tajam ke layar besar di hadapanny