“Good morning, Queen,” sambut Ethan saat melihat Alya turun ke dapur masih mengenakan piyama.
Sepagi ini, pria itu sudah sibuk di dapur seorang diri. Tidak ada Bi Murni yang biasanya bertugas memasak.
Alya mengernyit mendengar sapaan Ethan, duduk di kursi bar yang ada di dapur. “Queen?”
Ethan tersenyum, meletakkan sebuah piring di depan Alya dan mengisinya dengan toast serta salad telur yang sudah ia buat. “Because you’re my queen,” ucapnya sambil mengerling jahil.
Alya membelalak. “Ethan kesambet setan,” sindirnya.
Tawa renyah Ethan mengudara, tapi ia tak menanggapi dan tetap sibuk menyiapkan sarapan.
“Kenapa kamu yang bikin sarapan? Bi Murni mana?” tanya Alya sembari memotong toast dan mengolesinya dengan salad telur, kemudian menyuapkan ke mulutnya.
“Bi Murni ke pasar, belanja mingguan. Jadi aku aja yang bikin sarapan.” Ethan berbalik dan duduk di sebelah Alya, membawa piring sarapannya sendiri. “Enak nggak?” tanyanya saat melihat Alya menikmati masakannya.
“Enak. Aku baru tahu kamu bisa masak.” Alya berkomentar santai sambil terus makan.
“Aku kan juga pernah jadi anak kos, jadi bisa masak,” timpal Ethan sembari menikmati sarapannya sendiri.
“Anak kos di New York? Ya beda sama anak kos di Depok.”
Ethan kembali tertawa, suaranya renyah dan gurih. “Intinya sama-sama anak kos. Sama-sama cari makan sendiri, nggak ada yang masakin kayak di rumah.”
Alya tersenyum mendengar nada geli dalam suara Ethan. Selama mengenal Ethan sebagai sahabat kakaknya, pria itu memang tidak pernah menahan ekspresinya. Jika ia tertawa, maka ia akan tertawa lepas. Seperti barusan.
“Hari ini aku mungkin sampai malam di luar.” Alya mengubah topik obrolan.
“Oh ya? Mau ngapain?”
“Nyiapin nikahan klienku. Kamu tahu Wijanarko Air Group nggak? Nah, mereka mau mantu.”
“Oh?” Kedua mata Ethan membulat. “Mereka pake jasa WO kamu?”
Alya mengangguk.
“Keren!” Puji Ethan tulus, wajahnya sampai berbinar seolah ia sangat bangga dengan pencapaian Alya itu. “Mereka kan terkenal perfeksionis, kalau sampai pakai WO punyamu, berarti kamu kredibel di mata mereka.”
Alya menghela nafas lelah. “Tapi mereka banyak mau. Makanya ini aku sama tim mengerahkan seluruh amunisi biar mereka nggak kecewa. Mereka juga bayar mahal banget.”
Ethan tersenyum, mengusap punggung Alya lembut. “Dan kamu juga perfeksionis, Al. Aku yakin mereka pasti puas sama hasil kerjamu.”
Alya menoleh, menatap Ethan lurus-lurus. “Makasih,” katanya sambil tersenyum tipis. “Kalau kamu ke mana hari ini? Hari Sabtu nggak ngantor kan?”
“Enggak.” Ethan menggeleng, lalu menghabiskan sarapannya. “Tapi hari ini aku mau ketemu papanya Isha. Beliau masuk rumah sakit karena serangan jantung.”
Senyum di wajah Alya langsung luntur. “Isha … tunangan kamu itu?”
“Mantan, Al.” Ethan mengoreksi. “Aku ke sana cuma mau menegaskan kalau kamu sama sekali nggak ada sangkut pautnya dengan keputusanku membatalkan pertunangan dengan Isha.”
Alya menghela nafas pelan, nafsu makannya jadi menghilang. “Lagian ngapain sih kamu nawarin diri gantiin Adrian hari itu? Sekarang kamu terjebak sama aku kan?”
“Aku mending terjebak jadi suamimu daripada suami Isha, Al.”
“Kenapa?”
Ethan mengunci tatapannya di wajah cantik Alya. Hatinya meronta-ronta ingin menyatakan perasaan yang terpendam selama bertahun-tahun itu. Tapi ia tak mau membuat Alya menganggapnya seperti orang aneh.
“Karena aku udah kenal kamu belasan tahun, jadi pasti lebih gampang hidup sama kamu daripada sama Isha yang baru aku kenal,” jawab Ethan sambil memasang wajah tengil.
“Dasar!” Alya meninju lengan Ethan cukup keras. “Salah deh aku ngarep jawaban romantis,” candanya seraya beranjak dari kursi.
“Oh, kamu mau jawaban romantis?”
“Nggak jadi! Aku mau mandi terus pergi!” Alya sudah ngeloyor pergi, tapi ia bisa mendengar suara tawa Ethan.
“Mau mandi bareng nggak, Al?” seru Ethan menggoda.
Alya menoleh dan melemparkan tatapan tajam. “Sampe kamu berani masuk kamar mandi pas aku mandi, aku potong tititmu!”
Kali ini Ethan tertawa terbahak-bahak. “Sadis banget kamu, Al! Nanti kita nggak bisa punya anak loh!”
“Biarin!” Alya sudah naik ke lantai dua, meninggalkan Ethan masih terbahak di dapur.
***
“Kamu pikir pertunangan itu hanya main-main, hah?!” Jagat Adiningrat, papa Isha yang masih terbaring di atas ranjang pasien itu berseru penuh amarah.
Ethan berdiri santai di hadapannya, sama sekali tidak merasa bersalah.
“Aku sudah lama meminta untuk membatalkan pertunangan itu, tapi anak Om nggak pulang-pulang ke Indonesia sampai tiga hari setelah pernikahanku dengan Alya.” Ethan menjawab apa adanya.
“Kurang ajar!” Jagat bangkit dari posisi berbaringnya, hendak meraih Ethan dan menamparnya, tapi kondisinya yang mengenakan selang oksigen menahannya.
“Papa, tenang, Pa.” Isha yang juga ada di ruangan itu segera menahan tubuh papanya dan membantunya berbaring kembali.
Ethan menatap pemandangan itu masih dengan tampang datar, sama sekali tidak ada belas kasihan apalagi penyesalan dalam sorot matanya.
“Aku ke sini hanya untuk menyampaikan bahwa keputusanku sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Alya. Aku menikahinya karena aku ingin dia jadi istriku, bukan dia yang menggodaku atau semacamnya. Jadi intinya adalah … jangan sentuh dia.” Ethan memberi peringatan tegas, ekspresinya mengeras.
“Atau karena dia hamil anakmu?” sindir Isha tajam.
Seringai tipis terbit di bibir Ethan. “Aku harap dia segera hamil anakku.”
“Ethan!” Suara Jagat menggelegar. “Aku tidak habis pikir bagaimana bisa Cakra punya anak sepertimu?!”
“Aku juga nggak habis pikir bagaimana bisa Om Jagat punya anak seperti Isha yang mendatangi kantor istriku, menamparnya bahkan menuduhnya pelacur.” Ethan memang menjawab dengan nada santai, tapi tatapannya yang menggelap sudah cukup menunjukkan bahwa ia membenci tindakan Isha itu.
Jagat mengetatkan rahang. “Jangan harap kamu bisa hidup tenang setelah menyakiti hati putriku, Ethan!”
“Aduh, ngerinya.” Ethan pura-pura bergidik, tapi tatapannya terlihat jelas bahwa ia meremehkan ancaman itu.
“Aku serius, Ethan! Kamu akan membayar mahal karena telah menginjak-injak harga diri keluarga Adiningrat!” Jagat tak mengendurkan ancamannya. Ia takkan membiarkan anak muda yang usianya hanya separuh darinya itu mempermalukan keluarganya seperti ini.
“Aku nggak peduli Om mau ngapain.” Ethan maju selangkah, menunduk, menyeringai jahat tepat di depan wajah Jagat. “Tapi aku ingatkan, jangan menyentuh Alya meski hanya seujung kuku. Karena kalau Om atau anak Om itu berani melakukannya, aku tidak akan segan-segan menghapus nama keluarga Adiningrat dari sejarah.”
Jagat dan Isha menahan nafas bersamaan. Suara Ethan yang rendah dan dingin sudah cukup membuktikan bahwa ancaman itu amat serius.
Ethan menegakkan punggung, tersenyum sok manis. “Aku pamit ya, Om? Aku harap kalian benar-benar mendengarkan ucapanku.”
Tanpa menunggu respons dari Jagat atau Isha, Ethan berbalik dan keluar dari sana dengan langkah ringan.
***
Pukul sebelas malam, Alya baru pulang ke rumah dengan tubuh amat lelah.
“Kayaknya sampe seminggu ke depan bakal sering pulang malem nih,” gumam Alya sambil masuk ke dalam rumah.
Rumah itu sudah sepi dan gelap. Hanya lampu teras dan beberapa lampu lorong yang menyala.
“Ethan pasti sudah tidur. Dia tidur di mana, ya? Di kamarnya atau di kamarku?” Alya terus menggumam sembari berjalan masuk melewati ruang tengah, hendak menuju tangga ke lantai dua.
Namun ketika langkah kakinya melewati sofa, seseorang tiba-tiba memeluknya dari belakang. “Kamu baru pulang?” bisik Ethan dengan suara sendu.
“Astaga!” Alya memegangi dadanya, tempat jantungnya yang berdegup kencang. “Kak Ethan, hampir aja aku jantungan!”
Ethan membalik tubuh Alya agar menghadapnya, lalu ia kembali memeluk sang istri. Menyandarkan kepalanya di bahu Alya.
“Kirain kamu udah tidur.” Alya membalas pelukan itu.
“Gimana bisa tidur kalau kamu belum pulang?” Suara Ethan terdengar merajuk manja.
Alya tertawa geli mendengarnya. Ia menangkup wajah Ethan dan mengangkatnya agar ia bisa melihat ekspresi pria itu. Dan Alya membelalak ketika melihat Ethan cemberut dengan kedua mata berkaca-kaca. Persis seperti balita yang merajuk.
“Astaga! Umur aja yang tua, tingkah kamu kayak bayi,” ejek Alya bercanda, sambil tertawa pelan.
Ethan menggenggam pergelangan tangan Alya, mencium telapak tangannya. “Kamu juga nggak angkat telepon, nggak bales chat. Padahal aku nungguin di rumah.” Ia terus merajuk manja yang membuat Alya semakin tertawa geli.
“Maaf, tadi hectic banget nggak sempat pegang hp,” ucap Alya tulus.
Mendengar itu, ekspresi cemberut Ethan akhirnya melunak. “Ya sudah, karena sekarang kamu sudah di rumah, ayo tidur.”
“Aku mau mandi dulu baru tidur.”
“Oke.” Tangan Ethan yang masih menggenggam pergelangan tangan Alya itu menariknya untuk naik ke atas, menuju kamar.
“Kamu mau tidur sama aku lagi?” tanya Alya.
“Iya.” Mereka sudah tiba di kamar Alya. Ethan duduk di tepi ranjang dan melepas tangan Alya. “Sana mandi, aku tunggu di sini.”
“Oke.” Alya mengangguk dan segera masuk ke kamar mandi.
Setengah jam kemudian, ia keluar dari kamar mandi sudah mengenakan piyama. Ethan masih setia menunggunya di tempat tidur. Wajah pria itu terlihat sumringah dan berbinar saat melihat Alya naik ke atas tempat tidur.
Dan tanpa banyak bicara, Ethan memeluk Alya lalu merebahkan kepalanya di atas d**a sang istri.
“Kamu suka tidur posisi begini?” tanya Alya basa-basi.
“Iya. Denger suara detak jantung kamu itu bikin aku tenang.” Ethan menjawab dengan suara mengantuk.
Alya tersenyum, jemarinya membelai rambut Ethan lembut. Namun senyumnya langsung sirna ketika ia merasakan bibir Ethan menciumi dadanya.
“Kak, kamu ngapain?” Jantung Alya mulai berdetak cepat, tubuhnya terasa semakin memanas.
Bukannya menjawab, Ethan justru membuka dua kancing teratas piyama Alya dan bibirnya terus bergerak turun, hingga mencapai belahan d**a Alya.
“Kak Ethan!” Alya memekik dan beringsut bangkit, membuat Ethan juga bangkit duduk di atas kasur. “Kamu ngapain?” Ia menatap Ethan tajam.
Ethan menghela nafas berat, terlihat frustasi. “Tadi aku ketemu eyang lagi, beliau mau kita segera punya anak, Al. Kesehatan beliau semakin menurun, aku nggak mau mengecewakan eyangku satu-satunya.” Ia mendongak menatap Alya. “Kita coba malam ini, ya?”