Bab 5. Aku Mau Tiga Cicit

1504 Kata
“Mama sudah memilihkan calon istri terbaik untukmu, tapi kamu malah menikahi Alya?” Indira–mama Ethan itu mendesis marah. “Apa yang baik dari Isha?” tantang Ethan santai. Alya masih mengobrol dengan Kartini–nenek Ethan di kamarnya. Kartini langsung memanggil Alya tadi begitu mereka tiba di rumah besar keluarga Saguna. “Banyak, jauh lebih banyak dari Alya. Mama tahu kamu sudah mengenal keluarga Alya sejak lama, tapi Alya tidak pantas bersanding denganmu, Ethan.” Indira menatap putranya tak percaya. “Dan sekarang Mama harus berhadapan dengan keluarga Isha yang mengamuk gara-gara ulahmu!” “Otakmu itu di mana waktu kamu menikahi Alya, Ethan?” Kali ini suara berat dan tegas milik Cakra–papa Ethan yang duduk di seberang sang putra menimpali. “Kamu tahu? Sekarang papa Isha masuk rumah sakit karena sakit jantungnya kambuh waktu mendengar kabar kamu menikahi Alya. Mau ditaruh mana muka Papa, Ethan?!” Cakra menggebrak meja, menatap putranya nyalang. Sementara Ethan masih duduk di kursinya dengan santai. “Jawab Papa, Ethan!” Cakra berteriak murka. Indira yang duduk di sebelah sang suami segera mengusap lengan Cakra lembut, berusaha menenangkannya. “Tenang, Mas. Ingat, kamu ada hipertensi loh, jangan marah-marah.” “Gimana aku bisa tenang kalau punya anak nggak punya otak seperti dia?!” Ethan menghela nafas pelan, menegakkan punggung. “Biar aku yang ketemu papanya Isha buat minta maaf. Papa dan Mama nggak perlu ikut campur urusan ini. Aku sudah memikirkan semuanya.” “Memikirkan apa? Memikirkan untuk merusak nama baik Papa, hah?!” Cakra meradang, bisa dipastikan hipertensinya akan kambuh sebentar lagi. Ethan memajukan tubuhnya, menatap papanya lekat. “Aku nggak pernah mengecewakan Papa, apa salahnya kalau sekarang aku memilih istri untukku sendiri? Sudahlah, Papa santai aja di rumah, menikmati hari tua. Biar aku yang urus semuanya.” “Ethan!” Cakra berteriak penuh amarah. “Cakra!” Tiba-tiba sebuah suara rendah namun tegas memotong atmosfer menegangkan di ruang tengah itu. Semua orang menoleh, mendapati Kartini sudah bergabung bersama mereka entah sejak kapan, duduk di kursi roda dengan Alya berdiri di belakangnya. “Umurmu sudah separuh abad tapi tetap saja tidak bisa mengatur emosi. Apa pantas kamu berteriak seperti orang gila begitu?” cecar Kartini tajam. Di usianya yang menjelang delapan puluh tahun, ia masih tampak anggun dan berkharisma. Cakra mendengus kasar, kembali duduk. “Maaf, Ma,” lirihnya enggan. Kartini memberi isyarat pada Alya untuk mendorong kursi rodanya, Alya menurut. Ia mendorong kursi roda itu mendekati seluruh anggota keluarga Saguna. Alya berhenti di dekat Ethan, pria itu tersenyum manis menyambutnya. “Duduk sini,” katanya sambil menepuk sofa di sebelahnya. Alya mengunci kursi roda yang diduduki Kartini dan duduk di sebelah Ethan. Pria itu langsung menautkan jemari mereka, membuat Cakra dan Indira yang melihat gerakan itu jadi menahan kesal. “Apa yang membuat kalian bertengkar?” Kartini bertanya dengan suara rendah dan tenang. “Apa karena Ethan menikahi Alya secara mendadak?” “Bukan hanya itu, Ma. Ethan secara tidak langsung sudah menghancurkan hubungan keluarga kita dengan keluarga Adiningrat.” Cakra masih bicara berapi-api, kentara sekali ia kesal luar biasa pada putra sulungnya itu. Keluarga Adiningrat adalah keluarga Isha, sebuah keluarga terpandang yang memiliki pengaruh cukup besar di ibukota. Kartini menoleh pada Ethan. “Kamu memang salah, Nak. Kamu tidak bisa menikah dengan perempuan lain padahal kamu sedang terikat dengan Isha.” Cakra tersenyum jumawa, merasa menang atas putranya. Namun kalimat Kartini selanjutnya membuat Cakra dan Indira ternganga tak percaya. “Tapi untuk seorang cucu menantu, aku lebih setuju Alya daripada Isha.” Kartini tersenyum pada Alya. “Dia tidak perlu berpakaian ketat dan pergi meninggalkan suami berhari-hari untuk mendapatkan uang.” Kini giliran Ethan yang menyeringai senang. “Terima kasih, Eyang. Itulah kenapa aku lebih memilih Alya. Lagipula, aku memang mau memutus pertunanganku dengan Isha, hanya saja timeline-nya tidak pas.” Ia nyengir kuda, berharap tingkahnya bisa dimaafkan. Kartini terkekeh pelan, mengusap kepala cucunya. “Tapi kamu memang harus bertanggung jawab meredakan huru-hara yang kamu sebabkan, Ethan.” “Baik, Eyang.” Ethan menyahut riang. Baginya, restu neneknya sudah cukup. “Tapi aku punya tugas untuk kalian,” ucap Kartini lagi. Ethan dan Alya saling pandang sejenak, kemudian memfokuskan perhatian mereka pada sesepuh keluarga Saguna itu. “Tugas apa, Eyang?” tanya Ethan. “Aku mau cicit,” ujar Kartini mantap. “Keluarga ini terlalu kecil, anakku cuma satu yaitu Cakra. Dan Cakra cuma punya dua anak, itu pun laki-laki semua. Jadi aku mau secepat mungkin kalian memberiku cicit.” Hening menyelimuti ruangan itu. Empat orang selain Kartini di ruangan itu memberikan ekspresi yang beda-beda. Indira terkejut bukan main, Cakra juga terkejut tapi bercampur marah, Alya pun sama terkejutnya tapi tampak sedikit tak terima, yang berbeda hanya Ethan. Pria itu justru tersenyum girang. “Eyang mau punya cicit berapa?” tanya Ethan sumringah. Kartini tersenyum senang. “Sejak dulu, aku bercita-cita punya keluarga besar. Jadi … minimal tiga, empat lebih baik.” “Ma, tunggu, tunggu.” Indira langsung menyela. “Mereka baru saja menikah, kenapa harus sudah dibebankan dengan tanggung jawab harus segera memberi keturunan?” “Karena keluarga kita butuh penerus.” Kartini menjawab tanpa ragu. “Aku lihat-lihat, anak-anak jaman sekarang ini aneh, ada yang tidak mau punya anak seumur hidup, ada yang cuma mau punya anak satu, jadi sebelum ide itu masuk ke kepala cucu dan cucu menantuku, aku katakan aku mau minimal punya tiga cicit.” “Tapi kan ….” Alya mencoba berpendapat. “Soal hamil itu nggak cuma usaha manusia, Eyang. Gimana kalau aku belum dikas—” “Karena itu manusia harus berusaha,” potong Kartini tegas, menatap Alya tajam. “Jadi jangan menunda, aku mau dapat kabar baik itu segera.” Alya hendak melayangkan protes lagi, tapi Kartini sudah lebih dulu memberi perintah. “Nah, sekarang ayo ke ruang makan. Kita makan malam sambil mengobrol santai. Dan aku tidak mau ada yang protes soal keputusanku tadi. Keputusan itu mutlak, tidak bisa diganggu gugat.” *** Alya baru habis mandi sepulang dari rumah keluarga Ethan, ia duduk di tepi ranjang sambil menghela nafas panjang, kalimat Kartini masih terngiang-ngiang di telinganya. “Masa harus begituan sama Kak Ethan?” keluhnya sambil menggosok rambutnya dengan handuk. Sebelum pikirannya menjelajah lebih jauh, sebuah ketukan di pintu segera menyadarkannya. “Siapa?” serunya. “Aku, Al.” Suara Ethan terdengar dari balik pintu. Alya mengernyit, tapi ia tetap beranjak dan membukakan pintu untuk Ethan. “Ada apa?” tanya Alya datar. “Kamu ingat apa kata Eyang tadi kan? Nah, aku ke sini untuk merealisasikannya,” ucap Ethan dengan senyum manis. Alya membelalak. “Maksud kamu … kita bakal–” “Kenapa? Kamu belum pernah sama Adrian?” Ethan bertanya tanpa malu-malu. Wajah Alya semakin memerah karena pertanyaan tak tahu malu itu. Dan Ethan tak perlu jawaban verbal, ekspresi Alya sudah menjawabnya. Fakta bahwa Alya masih perawan dan ia belum pernah berhubungan intim dengan siapapun, membuat Ethan merasa semakin serakah. Ia ingin memiliki Alya seutuhnya, pun menjadi orang yang mendapatkan keperawanan sang gadis. “Jangan khawatir. Aku nggak akan buru-buru kok. Kita bisa membiasakan diri dengan tidur sekamar dulu,” ucap Ethan lembut, berusaha terdengar tidak tergesa padahal ia ingin sekali menerkam Alya sekarang juga. “Tapi … hamil kan nggak harus berhubungan intim?” ucap Alya tiba-tiba. “Ada bayi tabung dan inseminasi buatan.” Wajah Ethan menggelap sesaat, tapi sedetik kemudian ia sudah kembali memasang seringai jahil. “Masa kamu cuma mau hamil nggak mau ngerasain kenikmatan dunia? Aku janji aku bisa memuaskanmu, Al.” Jangan tanya bagaimana kondisi muka Alya sekarang, sudah seperti terbakar. “Kalau ngomong tolong disaring dulu ya, Kak,” tegurnya ketus. Ethan terkekeh pelan melihat ekspresi di wajah cantik Alya. “Jadi aku boleh masuk? Malam ini kita tidur bareng aja, membiasakan diri.” Alya terlihat ragu untuk sesaat, namun ia percaya Ethan takkan berani macam-macam dengannya meski mereka tidur sekamar. Ia tahu Ethan memang tengil dan jahil, tapi ia juga tahu Ethan tidak pernah berbuat kurang ajar padanya. “Ya udah, boleh,” katanya sambil melebarkan pintu kamar dan membiarkan Ethan masuk. Awalnya mereka tidur bersebelahan seperti papan kayu. Sampai akhirnya, Ethan yang lebih dulu tak tahan. “Nggak bisa gini, Al,” katanya sambil menggeser tubuhnya mendekati Alya. “Apanya yang nggak bisa gini?” Alya mengernyit. Namun bukan jawaban verbal yang ia dapatkan, melainkan tubuh Ethan yang tiba-tiba memeluknya. “Kak Ethan, kamu ngapain?!” Alya memekik kaget, berusaha mendorong tubuh Ethan yang menindihnya di separuh bagian atas. “Diem, Al. Biarin aku tidur gini.” Ethan berbisik lirih, kedua lengannya melingkar erat di pinggang Alya, kepalanya bersandar di d**a sang istri. “Kamu anget banget, empuk lagi.” “Apanya yang empuk?!” Ethan terkekeh tanpa suara mendengar pekikan kesal Alya, tapi ia bergeming, tetap tidur sambil memeluk Alya meski wanita itu terus meronta-ronta. Sampai akhirnya, Alya menyerah dan membiarkan Ethan terlelap sambil memeluknya. Alya melirik wajah Ethan yang terlihat begitu dekat dengan gundukan dadanya. Ia mendesah frustasi saat melihat pria itu tampak tidur dengan tenang sementara dirinya sedang berjuang menenangkan jantungnya yang berdebar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN