Bab 4. Liontin Safir Biru

1556 Kata
“Al, dengarkan aku. Ilona yang menggodaku.” Adrian menjelaskan sambil memelas di hadapan Alya. “Keluar, Adrian.” Alya berkata dingin, menunjuk pintu di belakang punggung Adrian. Pria itu tiba-tiba masuk ke ruang kerja Alya ketika Alya sedang istirahat makan siang tadi. Mereka sudah berpacaran selama dua tahun sebelumya, jadi Adrian hafal betul jadwal Alya. Saat jam makan siang, Reyna akan pergi membeli makan siang, sementara Alya hanya akan menunggu di ruangannya. Adrian memanfaatkan kesempatan itu untuk menerobos sekuriti dengan menyamar dan masuk ke ruang kerja Alya. Seminggu terakhir ia sudah berusaha menemui Alya dengan berbagai cara, tapi Alya selalu berhasil menghindar. “Kenapa kamu nggak bisa percaya sama aku, Al? Dua tahun kita pacaran, pernah aku selingkuh dari kamu?” Adrian bersikeras. “Keluar, Adrian!” Suara Alya naik satu oktaf. “Penjelasanmu sudah nggak berguna sekarang, aku sudah jadi istri Ethan.” “Ethan sialan itu!” Adrian menendang kursi di hadapannya, menyugar rambutnya frustasi. Nafasnya memburu karena amarah. “Apa yang dia katakan sampai kamu mau dinikahi sama dia, Al? Dia pria berbahaya. Kamu harus menjauh dari dia, Al.” “Itu bukan urusanmu sekarang, Ad. Silakan keluar sebelum aku panggil sekuriti.” Alya berkata tegas, sekali lagi menunjuk pintu. Adrian menggeram marah, ia kehabisan kesabaran setelah bermenit-menit mencoba membujuk Alya tapi tak ada hasilnya. Pria itu melangkah lebar mendekati Alya. Dan sebelum Alya sempat berkedip, Adrian sudah meletakkan kedua tangannya di armrest kursi, mengurung tubuh Alya dengan tubuh Adrian yang lebih besar. “Mau apa kamu, Adrian?” Alya berkata tajam, ia tidak mudah terintimidasi oleh permainan kekuatan seperti ini. “Ceraikan Ethan, Al. Aku tahu kamu masih mencintaiku. Kita bisa memulai semuanya dari awal. Aku dan Ilona nggak ada hubungan apa-apa. Dia yang menggodaku.” Adrian menjelaskan sekali lagi, kali ini terdengar sedikit mengancam. “Tapi kamu mau digoda, Adrian,” balas Alya masih tajam. “Dia mendatangiku sambil menangis, aku cuma bersimpati padanya. Aku nggak tahu kalau dia bakal memanfaatkan itu buat menggodaku, Al. Aku sudah berusaha menyuruhnya menjelaskan padamu apa yang sebenarnya terjadi malam itu, tapi sekarang dia hilang. Jadi tolong dengarkan aku.” Adrian menatap Alya lekat, memelas sekaligus menuntut pengertian. “Cuma kamu wanita yang aku cintai, Alya.” “Keluar.” Alya mendesis marah. “Keluar sekarang, Adrian!” Adrian menggertakkan giginya, kesabarannya telah habis. Ia mencengkram kedua bahu Alya. Tatapan tajamnya menghunjam ke manik mata sang wanita. Dan sebelum Alya sempat menyadari apa yang terjadi, Adrian memangkas jarak dengan sangat cepat, menempelkan bibirnya ke bibir Alya. Begitu tersadar, Alya mendorong tubuh Adrian kuat-kuat. Namun Adrian sama sekali tak berkutik, seolah dorongan Alya tak ada apa-apanya. Bibir Adrian terus melumat bibir Alya, seolah ingin membuat Alya mengingat ciuman-ciuman mereka selama dua tahun terakhir. Seolah ia ingin menunjukkan betapa besar cinta yang ia miliki untuk sang wanita. Tapi ingatan akan hari itu, saat Adrian tidur dengan Ilona tanpa sehelai benang pun, membuat pikiran Alya terus terjaga. Membuat ciuman itu terasa menyakitkan daripada memabukkan. Alya menggapai-gapai ke meja, mengambil sebuah pensil dan menancapkan ujungnya ke lengan Adrian. “Argh …!” Adrian mengerang kesakitan, mundur seketika. Alya segera menggunakan kesempatan itu untuk kabur menjauh. “Keluar sebelum aku bertindak nekat,” ancamnya dengan nafas memburu. Ia mengusap bibirnya, lipstiknya sudah berantakan gara-gara ciuman kasar Adrian. Adrian mengusap lengannya, kemejanya yang berwarna biru muda itu kini terdapat bercak darah. “Tega sekali kamu, Alya?!” Adrian berseru marah, hendak mengejar Alya yang berdiri di sudut ruangan. Namun, pintu ruang kerja Alya yang terbuka tiba-tiba membuat Adrian mengurungkan niatnya. “Ada apa ini?” Reyna berdiri mematung di ambang pintu. “Panggil sekuriti, Reyna!” seru Alya tegas. “Wah, ada reuni mantan rupanya.” Tiba-tiba seorang pria bertubuh jangkung muncul dari balik punggung Reyna. “Kak Ethan?” Alya menegang saat Ethan mendekatinya. “Aku bisa jelaskan. Adrian tadi tib–” “Sshh…” Ethan menyentuhkan jari telunjuknya ke bibir Alya. “Aku tahu kamu bukan tipe yang suka selingkuh, Al. Apalagi selingkuh sama mantan. Kamu nggak akan memungut sampah yang sudah kamu buang kan?” Alya tak tahu harus merasa lega atau bagaimana. Tapi ia senang karena Ethan tidak salah paham dengan situasi di ruang kerjanya. Setelah membelai pipi Alya, Ethan berbalik menatap Adrian. “Ada urusan apa kamu mendatangi istriku di jam istirahat?” tanyanya, menekankan pada kata ‘istriku’ dengan nada posesif. “Bukan urusanmu.” Adrian mendesis, menatap Ethan tajam. Ethan terkekeh tanpa suara. “Adrian, kamu lupa aku bosmu?” Ia memiringkan kepala, menatap Adrian dengan seringai jahat. Adrian mengetatkan rahang saat menyadari hal itu. Seketika, ia merasa Ethan lebih besar dan tinggi daripada kelihatannya. “Bicara yang sopan, Adrian. Aku tidak suka kalau karyawanku tidak punya sopan santun,” imbuh Ethan santai. “Itu bisa menjadi nilai minus dan membuatmu dipecat.” Adrian kembali menegang saat mendengar kata ‘dipecat’. Ia tak bisa kehilangan pekerjaan dengan gaji dua digit itu. “Kalau urusanmu sudah selesai, silakan keluar.” Ethan masih terlihat tenang dan santai. Adrian tampak mencuri pandang pada Alya yang berdiri di belakang Ethan. Tapi percuma, ia takkan bisa mengkonfrontasi Alya sekarang. Tidak saat ada Ethan di sini. Maka ia mengangguk kecil dan segera keluar dari ruang kerja Alya. Meski begitu, kepalanya memutar berbagai rencana untuk memisahkan Ethan dan Alya. Bagi Adrian, hubungannya dan Alya tidak pernah putus. Mereka harus kembali bersatu. Beberapa detik berlalu tegang setelah kepergian Adrian, sampai akhirnya Ethan berbalik dan menatap Alya dengan sorot khawatir. “Kamu baik-baik aja? Dia menyakitimu?” Alya menggeleng. “Aku baik-baik aja.” Ia melempar pensil di tangannya ke meja. “Kenapa kamu pegang pensil itu?” “Ah, tadi ….” Alya pun menceritakan kejadian sesaat sebelum Ethan datang. Wajah Ethan mengeras saat Alya mengaku bahwa Adrian menciumnya, namun melunak lagi saat Alya mengatakan kalau ia menusuk lengan Adrian dengan ujung pensil. Ethan tersenyum puas, membelai rambut Alya lembut. “That’s my girl,” katanya bangga. Alya sedikit terbelalak, namun ia segera mengalihkan topik. “Jadi kenapa kamu ke sini?” “Oh, aku mau bilang kalau kita diundang ke rumah nenekku weekend ini. Kita belum ketemu beliau setelah menikah kan?” “Ah, iya.” Alya mengangguk-angguk. “Weekend ini, ya? Oke deh, aku kosongin jadwal.” Ethan balas mengangguk, tersenyum puas. “Tapi kenapa kamu sampai datang ke sini? Kan bisa lewat telepon atau chat?” tanya Alya. “Soalnya aku kangen kamu,” jawab Ethan dengan senyum manis. Alya mengangkat sebelah alisnya, heran. Ethan setelah menikah amat berbeda dengan Ethan yang ia kenal sebagai sahabat kakaknya. Dan tak ayal, hal itu membuat detak jantung Alya sedikit meningkat. Sedikit saja. *** “Al, kamu sudah siap?” Ethan bertanya sambil mengetuk pintu kamar Alya. “Sebentar!” Alya berseru, ia sedang mematut dirinya di cermin. Ia mengenakan midi dress berwarna navy berbahan satin dengan potongan neckline yang cukup rendah. Alya sedang mencari kalung yang cocok untuk mengisi area kosong di leher dan d**a atasnya. “Kalau kamu udah pake baju, boleh aku masuk? Aku punya sesuatu buat kamu.” Suara Ethan terdengar lagi. Alya menoleh ke pintu, berpikir sejenak, kemudian berseru. “Masuk aja, nggak dikunci.” Pintu kamar Alya terbuka, Ethan masuk dengan senyum terkembang dan sebuah kotak berwarna ungu tua di tangan. Logo Saguna Jewels menghiasi bagian tengah kotak itu. “Kamu mau ngasih aku perhiasan?” tebak Alya tanpa basa-basi. Ethan terkekeh pelan. “Bisa nggak kamu nunggu sampe aku nyamperin kamu dulu baru tanya?” “Jadi bener?” Ethan meletakkan kotak itu di atas meja dan membukanya, satu set perhiasan berwarna rose gold dengan permata blue sapphire yang cantik langsung menyapa penglihatan Alya. Kedua alis Alya terangkat. “Ini buatku?” “Custom-made buat istriku,” ujar Ethan dengan senyum mengembang. “Boleh aku pakein?” “Boleh.” Ethan mengambil tangan Alya dan memasangkan cincin bermata safir biru ke jari tengah Alya, bersebelahan dengan cincin nikahnya. “Cincin nikah ini juga bakal aku ganti.” Ethan berkomentar sambil mengambil sepasang anting yang juga dihiasi permata safir biru. Ia memasangkannya dengan hati-hati ke telinga Alya. “Kenapa? Karena cincin ini awalnya adalah cincin nikah yang aku pilih dengan Adrian?” “Itu salah satunya. Tapi alasan utamanya karena aku mau kamu memakai perhiasan terbaik. Kamu istri CEO perusahaan perhiasan, masa pake cincin berlian biasa begini?” Alya tertawa kecil mendengar ejekan Ethan. “Memangnya kamu mau bikin cincin nikah custom buatku?” “Iya.” Ethan selesai memasangkan anting dan kini mengambil kalung dengan liontin safir biru yang cukup besar. “Cincin berlian biru,” lanjutnya dengan senyum lebar. Kedua mata Alya melebar, ia menatap Ethan tak percaya lewat cermin karena pria itu sedang berdiri di belakangnya, memasangkan kalung ke lehernya. “Berlian biru? Aku tahu itu langka dan mahal banget, Kak.” “Memang. Makanya aku pake itu buat cincin nikahmu. Sudah hampir jadi, tunggu sebentar, ya?” Ethan selesai memasangkan kalung di leher Alya. Ia menunduk, mengecup tengkuk Alya tepat di atas rantai emas yang mengelilingi lehernya. Tubuh Alya meremang seketika. “Tapi apa itu nggak berlebihan?” tanyanya dengan suara yang sedikit serak. “Enggak. Kamu berhak mendapat yang terbaik, Al.” Tatapan Ethan turun ke liontin safir biru yang duduk manis di d**a Alya. “Aku punya permintaan kecil.” “Hm? Minta apa?” “Mulai sekarang, kamu hanya boleh memakai perhiasan yang aku buatkan khusus untukmu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN