Bab 3. Rahasia Ethan

1381 Kata
“Al, bicara dong.” Ethan menahan pergelangan tangan Alya yang masuk lebih dulu ke dalam rumah, kemudian ia berdiri di hadapan sang istri dengan wajah memelas. Sejak pulang dari kantor Alya tadi, wanita itu sama sekali tidak membuka mulut. Ekspresinya tetap datar dan dingin, membuat Ethan pusing membujuk Alya untuk bicara. Alya mendongak, menatap Ethan lurus-lurus. “Kita obati dulu luka-lukamu,” katanya dingin. Ethan menghembuskan nafas pelan, menyerah. “Oke.” Mereka masuk semakin dalam ke dalam rumah, Ethan duduk di ruang tengah, sementara Alya mengambil kotak P3K. Alya duduk di hadapan sang suami, kemudian membersihkan luka gores dan mengompres luka memarnya. Ia telaten sekali karena memang terbiasa melakukannya pada sang kakak, Tristan. “Sudah,” ucap Alya setelah semua luka di wajah Ethan selesai diobati. Begitu ia hendak beranjak, tangan Ethan langsung menghentikannya. “Mau ke mana? Kita belum bicara.” Suara pria itu lembut dan terdengar sedih. “Kalau aku tanya, kamu janji mau jawab jujur?” Ethan mengangguk mantap. “Kamu mau tanya apa?” Alya kembali duduk, menghadap Ethan dengan wajah serius. “Siapa Isha?” tanyanya tanpa basa-basi. Ethan menarik nafas dalam sebelum menjawab. “Mantan tunanganku.” Meski Ethan dekat dengan Tristan, Alya tidak pernah mendengar kabar soal pertunangan Ethan dengan Isha. Seolah pria itu sengaja menyembunyikan pertunangannya. “Kamu putus sama dia sebelum kita menikah atau enggak? Jawab jujur, Kak.” Alya menegaskan kalimat terakhirnya. “Al ….” Ethan menggenggam tangan Alya lembut, wajahnya terlihat mengiba. “Aku sudah mau putus sama dia sejak lama, kami nggak cocok. Dia dan keluarganya juga tahu kalau aku meminta pembatalan pertunangan sejak lama. Tapi pekerjaan dia sebagai pramugari bikin dia ke luar negeri terus, nggak ada waktu buat ketemu. Aku nggak mau mutusin dia lewat telepon atau sepihak lewat keluarganya, itu nggak sopan kan? Jadi aku nunggu sampai dia pulang, dan ternyata kebetulan dia pulang setelah kita menikah.” Alya menghembuskan nafas kasar dan memijit pangkal hidungnya. Pening gara-gara pekerjaan kini terasa semakin hebat karena ditambah masalah ini. “Kamu tahu nggak kalau posisiku tuh seperti selingkuhan, Kak?” “Kamu istriku, Al. Mana mungkin kamu jadi selingkuhan? Lagipula pertunanganku dengan Isha itu rahasia keluarga, nggak ada yang tahu.” “Tetep aja, kamu menikah sama aku saat berstatus sebagai tunangan orang lain, Kak Ethan. Kamu mikir nggak sih gimana pandangan orang-orang yang tahu soal pertunangan kalian? Mereka pasti menganggap aku yang ngerebut kamu, atau kamu terpaksa nikahin aku karena aku hamil duluan. Kamu mikir sampe sana nggak sih, Kak?” Alya mengomel, menumpahkan kekesalannya. Ethan membawa tangan Alya ke bibirnya, mencium punggung tangannya lembut. “Maaf. Aku nggak pikir panjang. Tapi aku janji, aku nggak akan membiarkan seorang pun berpikir buruk soal kamu.” “Apa sih yang ada di otak kamu waktu menawarkan diri menggantikan Adrian?” sergah Alya frustasi. “Kamu. Aku cuma nggak mau kamu dan keluargamu menanggung malu di hadapan para tamu undangan, rekan-rekan kerja papamu yang semuanya orang penting itu nggak akan berhenti membicarakan kamu kalau sampai kamu batal nikah, Al. Belum lagi reputasi bisnis kamu jelas terancam kalau pernikahanmu sampai batal. Hidup kamu pasti sudah hancur karena pengkhianatan Adrian, aku cuma mau membantu meringankannya sedikit.” Ethan menempelkan tangan Alya ke pipinya, menatap Alya dengan mata seperti anak anjing—mengiba. Alya hanya menatap Ethan lurus-lurus, mencoba mencerna kalimat panjang pria itu. Perasaannya campur aduk, tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ia sedikit bersyukur karena Ethan menyelamatkannya dari rasa malu jika pernikahan impiannya benar-benar batal. “Maaf, Al.” Ethan bicara lagi, suaranya lirih. Ia mencium telapak tangan Alya lembut, seolah menyesal sekali. “Aku janji urusan dengan Isha selesai hari ini. Dia nggak akan mengganggumu lagi, aku janji.” Alya masih ingin marah. Tapi melihat ekspresi memohon Ethan, lengkap dengan tatapan puppy-eyes itu, dan suara lirih penuh penyesalan, akhirnya Alya menghembuskan nafas pasrah. “Aku pegang janjimu, Kak,” tukas Alya tajam. Ethan mengangguk dan tersenyum senang. Persis seperti anak anjing yang diberi mainan favoritnya. “Lepas, Kak,” ucap Alya saat Ethan tak juga melepas tangannya. “Kamu udah bikin aku bicara banyak padahal muka dan bibirku luka-luka begini. Sekarang lukaku sakit lagi. Jadi aku mau diobati lagi,” kata Ethan sambil memajukan tubuhnya. “Kamu tuh … umur aja yang tua, kelakuan kayak anak-anak,” omel Alya sambil mengambil salep dari kotak P3K. “Bukan itu, Al.” Ethan menyodorkan pipinya yang terdapat luka gores di dekat bibirnya. “Aku mau dicium, pasti lukaku bakal cepet sembuh.” Alya jelas terbelalak mendengar permintaan Ethan itu. Ia hampir lupa bahwa pria itu memang tengil. “Jangan bicara omong kosong. Nggak ada ceritanya orang dicium jadi sembuh.” Alya kembali beranjak, namun langsung terduduk lagi karena Ethan menarik lengannya. “Al, satu aja.” Ethan memasang tampang memohon lagi. “Di sini.” Ia menunjuk luka di dekat bibirnya. Alya menatap luka itu selama beberapa saat, sama sekali tak bergerak. Sampai akhirnya, ia memajukan tubuhnya dan mendaratkan bibirnya di dekat luka itu, hampir menyentuh bibir Ethan. “Hm, aku yakin setelah ini lukaku bakal cepet sembuh,” gumam Ethan setelah Alya menjauhkan bibirnya. Alya memutar bola matanya malas dan beranjak dari sana dengan langkah lebar, berharap Ethan tak sempat melihat rona merah jambu yang samar-samar terbit di pipinya. *** “Masuk!” Ethan berseru dari dalam ruang kerjanya saat mendengar ketukan di pintu. Seorang wanita berpakaian formal masuk, rok dan blazernya berwarna ungu tua dengan logo Saguna Jewels menempel di d**a kirinya. Ethan mendongak dari tabletnya, mengangkat sebelah alisnya saat melihat siapa yang memasuki ruangannya. “Ada apa, Ilona?” tanya Ethan datar. Ilona—sahabat Alya sekaligus wanita yang tidur dengan Adrian di hari pernikahan Alya dan Adrian itu terus melangkah mendekati meja Ethan. “Kamu sudah mendapatkan apa yang kamu mau, sekarang giliranku. Mana?” Ilona menengadahkan tangannya di hadapan Ethan. Pria itu terkekeh seperti iblis, menatap tangan Ilona malas. “Kamu tahu kalau itu nggak sopan kan? Ulangi.” Ilona mendengus kasar. “Sekarang kamu bicara soal sopan santun? Kamu menghancurkan persahabatanku dengan Alya, Ethan.” “Aku menawarkan perjanjian, Ilona, bukan memaksamu. Kamu sendiri yang menyetujuinya, kenapa sekarang jadi menyalahkanku?” Ethan meletakkan tabletnya, menatap Ilona sambil berpangku tangan. “Seingatku kamu bersedia dengan semua konsekuensinya.” “Aku bersedia dengan semua konsekuensinya asal kamu menepati janjimu!” seru Ilona marah. Ini sudah hampir seminggu setelah pernikahan Ethan dan Alya, tapi sampai hari ini Ilona belum mendapatkan apa yang dijanjikan Ethan padanya. Tentu saja ia marah. Apalagi ia harus mendatangi kantor Ethan dengan menerobos pertahanan sekretaris Ethan yang menyebalkan di depan sana. Ethan terkekeh pelan, kemudian mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya. “Kamu butuh berapa?” tanyanya sambil bersiap menuliskan sesuatu di atas lembaran cek. Wajah Ilona langsung berbinar. "Satu miliar!" serunya tanpa pikir panjang. Gerakan tangan Ethan terhenti. "Satu miliar tapi nyawamu melayang." Ilona langsung bergidik ngeri. “Ya sudah lima ratus juta. Aku butuh lima ratus juta!” “Oke.” Ethan menulis nominal itu di atas cek dan menandatanganinya, kemudian memberikannya pada Ilona. “Ingat tugasmu selanjutnya, Ilona, jangan buka mulut. Sekali kamu buka mulut, bukan hanya lima ratus juta yang melayang, tapi nyawamu juga, paham?” Sekali lagi Ilona bergidik ngeri mendengar ancaman itu, tapi ia langsung berbinar senang begitu melihat cek yang kini berpindah di tangannya. “Ck, kamu gila, Ethan. Hanya karena satu wanita kamu sampai rela membuat skenario ini,” ejek Ilona sambil memasukkan cek itu ke dalam saku blazernya. “Aku memang gila,” aku Ethan. “Lebih tepatnya tergila-gila pada sahabatmu yang sekarang bukan sahabatmu lagi.” Ilona mendengus pelan. Salah satu sudut hatinya terasa nyeri saat ia mengingat pengkhianatannya pada Alya. “Dan kamu pasti tergila-gila pada uang karena kamu rela kehilangan persahabatanmu dengan Alya demi uang itu,” imbuh Ethan dengan nada mengejek. “Ada orang-orang yang nggak seberuntung kamu soal uang, Ethan. Jangan menghinaku seolah hanya aku yang berbuat jahat di sini.” Ilona menatap Ethan tajam. “Justru kamulah iblis yang sebenarnya, tunggu sampai Alya tahu sifat aslimu.” Bukannya tersinggung, Ethan justru terbahak. “Kamu mengancamku?” Wajah Ethan menggelap, suaranya terdengar mengancam. “Ingat satu hal, Ilona. Hari di mana Alya tahu kebenaran di balik apa yang terjadi di hari pernikahannya, itu adalah hari terakhirmu di dunia. Karena yang tahu soal itu hanya aku dan kamu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN