Bab 2. Tunangan Ethan

1505 Kata
“b******n!” Tristan, kakak kandung Alya itu meninju wajah Ethan sekuat tenaga. Tinju mentah Tristan mendarat telak di rahang Ethan, membuat wajahnya terpelanting ke samping. Ethan hanya meringis pendek, mengusap rahangnya sekilas. “Yang kanan juga, Kak?” tantangnya dengan seringai tipis. “Jangan panggil gue ‘kak’! Gue bukan kakak lo!” Tristan berteriak murka, melayangkan satu pukulan lagi ke wajah Ethan. Lagi-lagi, Ethan tak menghindar. Ia membiarkan Tristan memukulnya. “Tapi seinget gue, gue udah nikah sama adik lo. Jadi dengan kata lain, lo kakak gue. Betul kan, Kak Tristan?” ledeknya sambil menyeringai jahil. Tentu saja ekspresi menyebalkan Ethan mengundang satu tinju lain dari Tristan. Dan sekali lagi, Ethan tak menghindar. “Kenapa lo nggak bales, hah!? Sini, pukul gue!” Tristan menantang. Ethan menggeleng, mengedikkan bahu. “Nggak mau. Gue nggak mau durhaka sama kakak ipar sendiri.” “Gue bukan kakak ipar lo, setan!” Tristan benar-benar murka, ia menerjang Ethan, membuat pria itu terjatuh ke lantai, lalu memukulinya tanpa ampun. “Gue tahu lo b******n licik! Sekarang cepat kasih tahu gue apa rencana lo nikahin adik gue, hah!?” Ethan melindungi wajahnya dengan kedua lengan, membuat tinju Tristan tidak langsung mengenai wajahnya. “Rencana apa sih? Gue cuma menyelamatkan adik lo yang baru patah hati gara-gara calon suaminya malah tidur sama cewek lain.” “Lo sudah punya Isha, setan! Jangan ganggu adik gue!” Isha adalah nama tunangan Ethan. Mereka harusnya menikah tiga bulan lagi. Tapi bagaimana Ethan akan menikahi Isha jika Ethan sudah menikah dengan Alya? “Gue udah putus sama dia.” Ethan mengelak. Tinju Tristan menghantam tulang pipinya. “Sudah atau akan?” Ethan mendengus, mengusap pipinya yang perih dan panas. “Gue belum ketemu dia, dia baru pulang dari Bangkok hari ini. Jadi hari ini bakal langsung gue putusin.” Tristan mencengkram kerah baju Ethan, tatapannya beringas bak predator. “Cepat kasih tahu gue, apa rencana lo, Than?” “Rencana gue?” Ethan masih menyeringai meski wajahnya sudah babak belur. “Gue berencana membahagiakan Alya seumur hidup.” “b******n!” Tristan melayangkan satu tinju lagi sebelum kembali mencengkram kerah baju Ethan. “Jawab yang jujur atau gue akan cari tahu sendiri!” “Gue jujur, Tris.” “Gue kenal lo dari jaman kita masih kuliah, Ethan. Lima belas tahun! Lo pikir gue nggak tahu sifat lo yang licik itu? Lo punya sisi gelap yang bersembunyi di balik muka songong lo itu. Jadi sebelum gue cari tahu sendiri, mending lo jawab jujur sekarang.” Tristan mengancam dengan mata melotot marah. “Gue nggak ngerti lo ngomong apa. Gue udah jujur sekarang.” Ethan berusaha terdengar serius. Tristan menghempaskan kerah baju Ethan dan bangkit. Ia berdiri sambil mengusap tangannya yang tertutup handwrap tinju. “Lo pikir gue nggak tahu kalau semua ini rencana lo? Tunggu sampai gue dapet buktinya dan Alya tahu kebusukan lo.” Ethan juga bangkit. Kedua bahunya bergetar saat ia tertawa terbahak-bahak. “Lo lucu, Tris. Lo bilang lo kenal gue, tapi ternyata lo nggak kenal gue sama sekali.” “Apa maksud lo?” Tristan mengernyit bingung. Ethan mengusap ujung bibirnya yang berdarah, berjalan mendekati Tristan sambil menyeringai seperti setan. “Gue nggak pernah meninggalkan jejak, Kak Tristan,” bisiknya mengejek. *** “Kepalaku rasanya mau pecah.” Alya mengeluh sambil memijit pelipisnya yang berdenyut. Reyna, asisten Alya dalam mengurus The Golden Vows itu tertawa pelan. “Ajaib banget klien kita kali ini, Al.” “Banget.” Alya menghela nafas panjang, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Setelah tiga hari cuti bulan madu, meski Alya dan Ethan tidak bulan madu, Alya kembali bekerja. Dua minggu lagi ia harus mewujudkan pernikahan impian seorang anak direktur maskapai penerbangan yang menjadi kliennya. Rapat persiapan itu berlangsung hampir dua jam, dan sekarang Alya pening sekali karena permintaan kliennya cukup sulit. “Makan dulu, Al. Biar ada energi buat mewujudkan keinginan klien kita yang luar biasa itu.” Reyna menyodorkan sekotak sushi ke hadapan Alya. “Makasih.” Alya menegakkan punggung, bersiap menyantap sushi favoritnya. Reyna duduk di sebelah Alya, membuka kotak sushi miliknya sendiri. “Adrian telepon aku lagi tadi,” ucapnya tiba-tiba. Gerakan tangan Alya terhenti seketika. Ia mendengus pendek. “Udah aku bilang, blokir aja, Rey.” Sejak Alya memergoki Adrian dan Ilona tidur bersama, ia memutus seluruh aksesnya dengan dua orang itu. Memblokir nomor dan semua media sosial mereka, mendaftarkan nama mereka sebagai tamu yang dilarang masuk ke kantornya dan akan langsung diusir oleh sekuriti jika mereka berani datang. Dan seperti dugaannya, Adrian terus mencari cara untuk bicara padanya. Termasuk menghubungi orang-orang terdekatnya. “Iya, akhirnya aku blokir tadi. Dia maksa banget buat ngomong sama kamu. Kayaknya dia menyesal banget deh, Al,” tutur Reyna apa adanya. “Selingkuh tetap selingkuh, Rey. Apapun alasannya,” pungkas Alya tegas. “Udah jangan bahas dia lagi, kita makan aja. Butuh energi banyak nih buat nyiapin pernikahan super ribet tahun ini.” Namun, baru saja ia membuka mulut, tiba-tiba pintu ruangannya dibanting terbuka. Seorang wanita yang dibalut pakaian seksi masuk tanpa permisi. Wajahnya tampak memerah, jelas bukan karena blush on di pipinya. Alya sontak berdiri, merengut tak suka. “Silakan keluar. Saya tidak menerima tamu yang tidak sop—” Kalimat Alya terhenti ketika sebuah tamparan keras mendarat di pipinya. “Astaga!” Reyna berseru kaget dan langsung menghampiri Alya. “Kamu nggak apa-apa, Al?” Alya menggeram tanpa suara, tapi ia mengangguk pada Reyna. Dengan tenang, Alya kembali menghadapkan wajahnya pada wanita cantik yang menamparnya barusan. “Itu bukan cara yang sopan dan terhormat saat Anda memasuki ruang kerja orang lain. Jadi, saya harap Anda keluar dengan sukarela sebelum saya memanggil sekuriti untuk menyeret Anda keluar dengan paksa.” Suara Alya terdengar dingin dan mengancam. “Lo nggak kenal siapa gue?” Wanita itu mendesis. “Dasar p*****r!” Sekali lagi, wanita itu mengangkat tangan, siap menampar Alya. Namun tangan itu tak pernah sampai ke pipi Alya karena seorang pria menahannya. “Ethan!?” Wanita itu berseru kaget saat mendapati Ethan sudah berdiri di sampingnya dengan wajah mengeras. Ethan menghempaskan tangan wanita itu dan beralih pada Alya, tatapannya langsung melunak, bahkan berubah sedih ketika melihat pipi Alya memerah. “Kamu nggak apa-apa, Al?” tanyanya khawatir, tangannya menyentuh pipi Alya hati-hati. “Kenapa kamu bisa ada di sini?” Alya justru balas bertanya, matanya terpaku pada beberapa memar dan luka di wajah Ethan. “Dan mukamu … kenapa?” Ethan menggeleng. “Itu nggak penting. Yang penting kamu, Al. Dia menamparmu?” “Ethan! Tunangan kamu di sini!” Wanita berpakaian seksi itu berteriak marah. Alya mematung seketika, bergantian menatap Ethan dan wanita seksi itu dengan tatapan horor. “Apa dia bilang tadi? Tunangan?” gumamnya dalam hati. Rahang Ethan mengetat saat mendengar wanita itu menyebut kata ‘tunangan’. Setelah mengusap pipi Alya lembut satu kali, ia berbalik, menatap wanita seksi itu. “Mantan.” Ethan mendesis dengan rahang terkatup rapat. “Mantan?” Wanita seksi itu maju selangkah. “Aku nggak ingat kamu pernah memutuskan pertunangan kita, Ethan!” “Harusnya kamu mengerti, Isha. Sejak aku menikahi Alya, itu artinya pertunangan kita sudah berakhir.” Suara Ethan terdengar sedingin Antartika, Alya sampai terkejut bahwa pria itu bisa bersikap dingin begitu. Wanita yang dipanggil Isha itu menggeleng tegas dan mulai menangis. “Aku nggak mau!” “Aku nggak peduli apa maumu, yang penting sekarang aku sudah menikah dengan Alya. Hubungan kita berakhir dan jangan pernah dat–” “Kenapa?” Isha berseru parau, memotong kalimat Ethan. “Karena dia hamil duluan?” “Jaga mulutmu sebelum aku merobeknya,” ancam Ethan sambil mengambil satu langkah maju, tubuhnya yang jangkung menjulang di antara Isha dan Alya. “Ceraikan dia, Ethan! Dari awal kamu itu tunanganku!” “Keluar dan jangan pernah muncul di hadapanku lagi!” usir Ethan dengan amarah yang meradang. “Enggak! Aku nggak mau keluar sampai kamu berjanji akan menceraikan dia!” “Keluar atau aku hancurkan karirmu dan keluargamu, Isha!” seru Ethan penuh amarah. Alya terkesiap mendengar teriakan Ethan yang menggelegar. Belasan tahun mengenal Ethan sebagai sahabat kakaknya, ia hanya tahu bahwa Ethan laki-laki tengil yang seenaknya. Tapi barusan, Ethan seperti dirasuki orang lain. “Sayang, aku mohon ….” Isha tergugu, tangannya terulur hendak meraih tangan Ethan. Namun, Ethan menepisnya kasar. “Jangan membuatku mengulang yang ketiga kalinya, Isha. Kamu tahu apa yang akan terjadi.” Tubun Isha langsung merinding mendengar kalimat mengancam itu. Ia hanya menatap Ethan dan Alya bergantian selama beberapa detik. Sampai akhirnya, ia berjalan keluar dari ruangan Alya dengan perasaan kesal yang bergulung-gulung di dadanya. Isha jelas takkan tinggal diam. Begitu pintu tertutup, Ethan menghela nafas panjang dan berbalik. Ekspresinya kembali lembut dan sendu. Kedua tangannya menangkup wajah Alya. “Pipimu pasti sakit,” katanya sedih. “Ayo pulang, kita obati di rumah, ya?” Alya bergeming, matanya menatap wajah Ethan lekat-lekat. Lima belas tahun mengenal Ethan, sejak Alya duduk di bangku SMP dan Ethan seorang mahasiswa, Alya selalu mengira bahwa Ethan adalah pria menyebalkan yang suka menjahilinya. Tapi hari ini, Alya menyadari bahwa ia tak mengenal Ethan sama sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN