“Bapak memanggil saya?” Adrian berdiri canggung di depan meja kerja Ethan.
CEO Saguna Jewels itu mengalihkan perhatiannya dari laptop ke wajah Adrian. Ia tersenyum ramah. “Apa kabar, Ad?”
Adrian mengernyit. Ia tahu bahwa selama ini Ethan dikenal sebagai bos yang ramah dan menyenangkan. Tapi sejak Ethan menikahi Alya menggantikan dirinya, ia merasa pria ini sangat berbahaya.
“Saya … baik, Pak.” Adrian menjawab dengan sikap waspada.
“Oh ya?” Ethan memberikan ekspresi heran yang dibuat-buat. “Hebat sekali kamu masih baik-baik saja meski tidak mematuhi peringatanku.”
Adrian menahan nafas seketika. Ia ingat hari itu, saat dirinya berusaha menemui Alya tepat setelah upacara pernikahan. Bodyguard Ethan menyeretnya pergi, menyekapnya di sebuah kamar hotel.
“Ini peringatan pertama dan terakhirku, Adrian,” ucap Ethan saat itu. “Jangan pernah menyentuh Alya meski seujung kuku. Sekarang dia istriku, sudah tugasku sebagai suaminya untuk melindungi dia dari orang-orang yang berpotensi menyakitinya.”
Ethan memutari kursi tempat Adrian ditahan oleh dua bodyguard. Ethan tidak mengikat atau menyumpal mulut Adrian, semata hanya agar Adrian tidak membuat cerita untuk menjelekkan dirinya di hadapan Alya. Karena Ethan tahu, Alya pasti masih sedikit mempercayai pria itu.
“Dan kamu, Adrian.” Ethan melanjutkan. “Kamu berada dalam daftar teratas orang yang berpotensi menyakiti Alya. Jadi, jangan pernah mendekati istriku, menemuinya, apalagi menyentuhnya.”
Awalnya Adrian meronta-ronta dan terus membangkang. Namun saat ia melihat sorot mata Ethan yang mengerikan, Adrian memilih untuk mengiyakan semua yang Ethan katakan saat itu. Meski pada akhirnya ia sama sekali tidak mengindahkan peringatan Ethan.
Adrian menelan ludah, menegakkan punggung. Ia tak ingin menunjukkan bahwa dirinya merasa terintimidasi oleh sikap Ethan yang seperti predator menatap mangsanya itu. “Saya berhak menemui Alya,” sahutnya tanpa ragu.
“Begitu?” Ethan terkekeh pelan. “Apa yang membuatmu berpikir kalau kamu berhak menemui istriku?”
“Dia tunanganku, calon istriku sebelum menikah denganmu, Ethan!” Adrian kehabisan kesabaran, kedua tangannya terkepal erat di samping tubuhnya.
Ethan berdecih dan geleng-geleng kepala. “Apa kataku soal sopan santun, Adrian? Kamu bisa dipecat karena sikapmu sekarang.”
“Persetan soal sopan santun!” Adrian meradang, merangsek maju dan mencengkram kerah kemeja Ethan. “Aku akan merebut Alya kembali!”
Ethan terkekeh pelan. “Coba aja kalau bisa,” balasnya enteng.
Adrian balas tertawa sinis. “Jangan meremehkan hubungan dua tahun kami. Aku tahu Alya masih mencintaiku, jadi aku pasti bisa merebutnya darimu, Ethan!”
“Aku akui kamu cukup percaya diri.” Ethan masih terlihat santai. Ia mengambil sesuatu dari dalam laci meja kerjanya dan menyodorkannya tepat di depan wajah Adrian. “Sebagai karyawan potensial, aku membutuhkan keahlianmu di sektor produksi untuk ekspansi dan penguatan pabrik produksi kita di Medan.”
Adrian membelalak saat menyadari apa maksud kalimat Ethan. “Kamu memutasiku ke Medan, Ethan?!”
“Tentu saja. Kamu sangat potensial, Adrian. Keahlianmu tidak boleh disia-siakan.” Ethan menyeringai jahat, melepaskan cengkraman tangan Adrian dari kerah kemejanya dan memberikan amplop putih itu. “Kosongkan mejamu sekarang, aku sudah memesankan tiket ke Medan besok, pesawat paling pagi.”
Dada Adrian bergemuruh oleh amarah. “Aku nggak akan berangkat!”
“Silakan saja. Kamu tahu apa yang terjadi kalau tidak mematuhi surat tugas dari CEO kan?” Ethan menyeringai semakin lebar, wajah ramah yang biasa ia tunjukkan di depan orang-orang itu kini terlihat seperti iblis.
Nafas Adrian semakin memburu, emosinya membuat dadanya terasa sesak. “Lihat saja, aku nggak akan tinggal diam. Aku akan merebut Alya kembali, karena sejak awal, Alya adalah milikku!”
Tanpa menunggu tanggapan dari Ethan, Adrian berbalik dan keluar dari ruang CEO itu dengan ekspresi mengeras. Ia mengemasi barang-barangnya dengan cepat, namun sebelum ia mengangkut barang-barangnya ke mobil, Adrian turun ke ruang HRD.
Jika Adrian ingin Alya kembali padanya, ia harus membuat Ilona mengaku pada Alya bahwa malam itu Ilona yang memulai skandal mereka lebih dulu. Dan melihat reaksi Alya ketika Adrian mendatanginya di kantornya beberapa waktu lalu, Ilona pasti belum menjelaskan apapun pada Alya.
Adrian sudah mencari Ilona ke seluruh outlet Saguna Jewels yang ada di ibukota, menghubungi nomornya, menanyakan pada teman-temannya, hingga mendatangi apartemen Ilona. Tapi wanita itu seperti menghilang ditelan bumi.
“Aku mau tanya soal Ilona Adisty,” ucap Adrian begitu tiba di ruang HRD. “Apa ada record dia dipindahkan ke outlet di luar Jakarta?”
“Maaf, kami nggak bisa membocorkan informasi rahasia seperti itu.”
“Aku bukan tanya data pribadinya, aku cuma tanya apa ada kemungkinan dia dipindahkan ke cabang lain?” Adrian bertanya dengan rahang mengetat, menahan emosinya.
“Tetap saja itu informasi pribadi. Kalau mau tahu, kenapa nggak tanya langsung sama yang bersangkutan?”
“Masalahnya dia nggak bisa dihubungi sama sekali!” Suara Adrian naik satu oktaf, ia mulai kehabisan kesabaran.
Staf HRD itu menggeleng tegas. “Kami tetap tidak bisa membocorkan informasi apapun.”
“Argh … sialan!” Adrian menggebrak meja, berteriak frustasi.
“Kalau Anda mau buat keributan di sini, saya bisa memanggil sekuriti untuk menyeret Anda,” ancam staf HRD itu tegas.
Dada Adrian bergemuruh, matanya nyalang menatap sekitar, melihat celah jika mungkin ia bisa mengakses komputer HRD meski hanya satu menit. Toh, sebentar lagi ia akan dimutasi ke Medan, tidak ada salahnya berbuat onar di hari terakhirnya.
Ruang HRD itu cukup sepi karena ini menjelang jam makan siang. Hanya ada dua orang di sana. Satu staf yang berbicara dengan Adrian dan satu orang lain duduk di mejanya entah sedang sibuk mengerjakan apa di laptopnya.
“Silakan keluar, Pak.” Staf HRD itu kembali mengingatkan, ia bersandar santai di kursinya.
Melihat celah itu, Adrian berpura-pura hendak berbalik dan meninggalkan ruangan. Namun tiba-tiba, ia menyambar setumpuk dokumen di atas meja dan melemparkannya ke wajah staf HRD itu.
“Hei!” Staf itu berseru marah bercampur kaget.
Adrian menggunakan kesempatan itu sebaik mungkin. Ia memutar monitor komputer, mengetikkan nama Ilona dengan cepat di database karyawan.
Kurang dari lima detik, nama Ilona Adisty muncul beserta data-data pribadinya dan sebuah keterangan berwarna merah … resigned.
Bahu Adrian terkulai lemas. Pupilnya bergetar membaca keterangan tanggal pengunduran diri Ilona yang baru beberapa hari lalu. “Dia mengundurkan diri? Ke mana dia pergi?”
***
“Kamu … calon mempelai wanitanya?” tanya Alya sambil menatap Isha bingung bercampur kaget.
Isha mendengus pendek, membersihkan lipstiknya yang berantakan karena ciumannya dengan Davka tadi. “Bukan urusan lo,” sahutnya ketus.
Alya mengangkat sebelah alisnya heran. Sementara Reyna ternganga mendengar jawaban Isha.
“Masa bukan? Kalau bukan kok ciuman?” tanya Reyna polos.
“Kamu pergi dulu, aku ada urusan sama mereka.” Davka berbisik di telinga Isha, tapi suaranya cukup terdengar oleh Alya dan Reyna.
Isha berdecak kesal, tapi kemudian ia tetap melangkah menuju pintu. Saat melewati Alya, Isha menyempatkan diri untuk melempar tatapan sinis setajam silet sebelum melangkah keluar dari pintu ballroom.
“Kok ….” Reyna terlihat kebingungan. “Ini gimana sih sebenarnya?”
Alya menyikut lengan Reyna, mengingatkannya agar fokus bekerja. Bagaimanapun, apa yang terjadi barusan tidak ada hubungannya dengan mereka. Tugas mereka hanyalah mewujudkan pernikahan impian kliennya. Soal bagaimana hubungan antar mempelai, bukan urusan mereka.
“Maaf soal yang tadi,” ucap Davka dengan senyum ramah saat Alya dan Reyna mendekat. “Kalian nggak ketuk pintu dulu sih.”
“Ah, kami juga minta maaf soal itu.” Alya menyahut sopan. “Kalau begitu, bisa kita mulai?”
“Tentu saja.”
Hingga hari ini, Alya memang belum bertemu dengan calon mempelai wanitanya. Kata Davka, urusan pernikahan ini diserahkan padanya. Jadi Alya menurut saja dan tidak ambil pusing.
Mereka bertiga naik ke pelaminan, Alya menjelaskan soal dekorasi yang akan dipasang di sana.
“Bunga peony?” Davka mengernyit.
“Iya. Karena bunga peony terlihat lebih mewah dibanding mawar putih, kami berencana menggunakannya untuk area pelaminan saja.” Alya menjelaskan. “Hasilnya pasti cantik sekali.”
Tiba-tiba Davka maju selangkah, tangannya menyentuh lengan Alya. “Tapi aku yakin nggak akan secantik kamu.”
Tubuh Alya menegang seketika, ia langsung menarik tangannya.
“Nggak usah terlalu bersikap waspada begitu. Aku cuma mengagumi keindahan ciptaan Tuhan, apa salahnya?” seloroh Davka sambil tersenyum menggoda.
“Apa maksud Anda, Pak Davka?” Alya yang tadinya berusaha bersikap ramah, langsung berubah dingin.
Davka terkekeh pelan. "Kamu selalu begini? Formal dan kaku? Aku penasaran, kapan terakhir kali kamu bersenang-senang?"
Alya pura-pura tidak mendengar dan beralih ke sisi lain pelaminan. "Pastikan lampu chandelier utama nanti nggak terlalu redup saat sesi makan malam. Aku mau kesan mewah tetap terasa tanpa mengganggu suasana romantis,” katanya pada Reyna yang terus mengekor dan mencatat setiap ucapannya.
Saat ia berusaha fokus, Alya justru merasakan tangan Davka sudah menyentuh punggungnya.
Refleks, Alya melangkah mundur, mencoba menjaga jarak.
Davka menyeringai melihat reaksi Alya itu. "Kamu menghindar terus. Aku jadi semakin tertarik."
Alya sudah hampir kehabisan kesabaran, ia tak tahu bahwa Davka amat genit begini. Maka ia melangkah cepat turun dari pelaminan untuk menghindari Davka. Namun, langkahnya terlalu tergesa-gesa.
Tanpa sadar, ujung blazer Alya tersangkut di sebuah standing lighting.
“Alya, awas!" Reyna berteriak panik.
Terlambat.
Alya kehilangan keseimbangan dan tersandung, tubuhnya miring ke belakang. Dan kemudian … brak!