Bab 10. Kecelakaan

1250 Kata
Standing lighting itu jatuh ke lantai, beberapa bagian pecah dan rusak. Sementara tubuh Alya melayang di udara, sebuah lengan kekar menahan pinggangnya. Nafas Alya terengah-engah, jantungnya berdebar tak karuan, matanya nyalang menatap sekitar sampai akhirnya berlabuh pada sebuah wajah tampan yang menunduk menatapnya. Kekhawatiran tergambar jelas di wajah itu. “Kamu nggak apa-apa?” “Kak Ethan?” Alya membelalak melihat siapa yang menolongnya. Ethan membantu Alya berdiri tegak, tatapannya masih menyiratkan kekhawatiran. “Nggak ada yang luka?” Alya menarik nafas dalam, mencoba menenangkan jantungnya yang berdebar kencang karena kejadian tadi. Ia menggeleng kemudian. “Nggak ada. Tapi … kok kamu bisa ada di sini?” “Ada urusan di sini.” Ethan menjawab acuh tak acuh. “Kamu sendiri ngapain di sini?” Alya menatap Ethan beberapa saat, baru kemudian menjawab. “Lagi ngecek persiapan wedding. Oh, itu klienku.” Ia menunjuk Davka yang berjalan ke arahnya bersama Reyna. Ethan berbalik, tatapannya langsung jatuh pada sosok Davka. Sesaat, ada kilat kemarahan di sana. Namun langsung hilang ketika ia mengulurkan tangan dan tersenyum ramah. “Kamu klien istriku?” Davka memandang Ethan dengan tatapan meremehkan. Ia menyambut uluran tangan Ethan sekilas, lalu memasukkan tangan ke saku celana, mengalihkan tatapannya pada Alya. “Jadi kamu sudah menikah?” tanyanya. “Iya. Kenalkan ini Ethan–suamiku.” Ethan melingkarkan lengannya di pinggang Alya dan menariknya mendekat. “Kami masih pengantin baru, tapi dia sudah sibuk bekerja,” tuturnya dengan nada sedih yang dibuat-buat. “Mereka sudah booking sejak sebelum kita nikah, Kak.” Alya menjelaskan. Ethan menghela nafas dramatis. “Kenapa kamu ambil? Padahal kita bisa bulan madu ke Hawaii, Maldives, atau ke mana pun deh yang kamu mau.” Tiba-tiba, Davka terbahak. Suara tawanya terdengar mengejek. “Hawaii? Maldives? Kamu nggak tahu berapa biaya yang dibutuhkan buat ke sana? Tiket pesawatnya aja bisa sampe 10 juta. Belum lagi biaya akomodasi selama di sana. Hotel di sana tuh mahal, paling murah 4 juta per malam. Dan bulan madu nggak mungkin hanya semalam kan?” Davka mendengus, mencemooh Ethan sambil geleng-geleng kepala. “Mimpi kok ketinggian?” gumamnya. “Sepertinya aku tidak memperkenalkan diri dengan baik, ya?” ucap Ethan dengan seringai tipis. Ia maju selangkah, berdiri sedikit menghalangi Alya dari pandangan Davka. Davka mengernyit. “Aku sudah tahu namamu. Ethan kan? Bahkan namamu aja pasaran.” Ethan tak menggubris, ia mengeluarkan sebuah kartu nama dari dompetnya dan menyerahkannya pada Davka. “Mungkin calon istrimu butuh perhiasan, kamu bisa menghubungiku,” katanya dengan sikap sopan yang dibuat-buat, karena suaranya terdengar mengejek. Davka segera mengambil kartu nama Ethan dan membacanya dengan cepat. Ia langsung membelalak. “CEO Saguna Jewels?” “Benar sekali.” Ethan tersenyum puas, kembali melingkarkan lengannya di pinggang Alya. “Menurutmu, kira-kira aku punya uang yang cukup buat bulan madu ke Hawaii atau ke Maldives?” Davka menelan ludah, meremas kartu nama Ethan dan melemparnya sembarangan. “Aku pergi dulu, ada urusan,” katanya sambil menghindari tatapan tajam Ethan. “Hati-hati di jalan,” seloroh Ethan tengil. Mereka bertiga hanya menatap kepergian Davka. Barulah ketika pria itu menghilang di balik pintu, Reyna tertawa terbahak-bahak. “Puas banget lihat mukanya ditekuk begitu.” Ethan menyeringai senang, tersenyum puas. Namun senyumnya langsung sirna saat tinju kecil Alya mendarat di pinggangnya. “Aduh!” Ethan melotot. “Baru berapa minggu nikah udah KDRT aja, Al?” “Kamu tuh ngapain sih pamer begitu? Gimana kalau dia kesel terus bikin review jelek soal WO-ku?” “Nggak bakal.” Ethan menyahut santai. “Dia terlalu pengecut buat ngelakuin itu.” “Aku serius, Kak.” “Aku juga serius, Al. Dia nggak akan berani melakukan itu. Kamu udah selesai belum nih?” “Mau ngapain emang?” Ethan tersenyum lebar. “Makan siang bareng yuk? Mumpung udah ketemu gini. Di resto hotel ini aja.” Alya menimbang sesaat. “Bisa nunggu bentar nggak? Aku belum selesai ngecek semuanya.” “Bisa kok. Apapun bisa buat kamu.” Ethan mencium kening Alya sebelum melepaskan lengannya dari pinggang sang istri. “Aku duduk di sana, ya?” Ia menunjuk sebuah kursi di ujung ruangan. “Oke. Sebentar kok, tinggal beberapa doang yang belum dicek.” Ethan mengangguk dan mulai melangkah menuju kursi. Namun tiba-tiba ia berbalik. “Oh iya, Al. Klien kamu tadi … nggak macem-macem sama kamu kan?” Tubuh Alya menegang sesaat, sentuhan dan kalimat genit Davka tadi kembali terulang dalam benaknya. Namun ia tersenyum dan menggeleng. “Enggak kok, tenang aja.” Ethan menatap Alya beberapa saat, sebelum akhirnya menangguk dan kembali melanjutkan langkah. Entah kenapa, sikap Ethan barusan membuat Alya sedikit bergidik. *** Setelah makan siang, Ethan, Alya, dan Reyna turun bersama ke parkiran hotel. “Kamu mau langsung pulang, Al?” tanya Ethan. “Masih mau balik ke kantor. Kamu gimana, Kak?” Alya sudah berdiri di samping mobil SUV Mazda berwarna putih miliknya. “Sama, masih harus balik ke kantor.” Ethan sudah membuka pintu mobil BMW hitam miliknya. “Padahal aku kangen, nanti deh ketemu di rumah, ya?” Alya memutar bola matanya malas. Ia tak bisa membedakan apakah Ethan bercanda atau tidak saat pria itu bilang kangen. Karena hampir setiap kali bertemu, Ethan selalu bilang kangen, padahal mereka bertemu setiap hari. “Sampai ketemu di rumah, Kak.” Alya melambaikan tangan dan masuk ke mobilnya. Ethan menunggu hingga mobil Alya meninggalkan parkiran, barulah ia masuk ke mobilnya sendiri. “Al, kayaknya kita harus cepet balik ke kantor. Ada klien yang nunggu,” ucap Reyna sambil mengetik sesuatu di ponselnya. “Loh, kok nggak buat janji?” Alya mengernyit, sedikit kesal. “Dia datang lebih cepat. Ini klien yang mau ketemu jam tiga nanti sore loh, ini jam dua dia udah dateng.” Alya menghela nafas pelan dan menginjak pedal gas lebih dalam. “Ya udah, aku ngebut dikit, ya?” “Oke.” Reyna mengencangkan sabuk pengaman dan kembali bermain ponsel. Jalanan cukup sepi, hanya ada beberapa kendaraan lain yang melintas di kejauhan. Ini membuat Alya bisa melajukan mobilnya sedikit lebih cepat. Namun, baru beberapa menit melaju di jalanan menurun, Alya mulai merasakan sesuatu yang aneh. Ia menginjak rem sedikit, tetapi pedalnya terasa kosong. Darahnya berdesir. “Rey ….” Suara Ala bergetar. “Remnya … nggak berfungsi.” Reyna mengangkat wajahnya dari ponsel. “Apa?” Alya mencoba menginjak pedal rem lebih keras, tapi mobil justru semakin melaju cepat menuruni jalan yang semakin curam. Jantungnya berdegup kencang. “Alya, hentikan mobilnya!” Reyna menjerit panik. “Aku udah berusaha dari tadi! Remnya blong!” Alya berusaha tetap tenang, tetapi keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Ia menggenggam setir erat-erat, berusaha menjaga mobil tetap di jalur. Kecepatan mobil terus meningkat. Jalanan di depan mereka mulai dipenuhi kendaraan lain. Jika mereka tidak bisa menghentikan mobil ini sekarang, kecelakaan besar akan terjadi. “Coba tarik rem tangan!” seru Reyna, tangannya gemetar. Alya mengangguk cepat dan menarik rem tangan sekuat tenaga—tapi roda hanya mengunci sebentar sebelum kembali meluncur liar. Mobil bergoyang hebat, nyaris oleng. Di depan, sebuah truk besar terlihat melaju dari arah berlawanan. “Alya, belok ke kiri!” teriak Reyna. Dengan sisa tenaga dan kendali yang ada, Alya membanting setir ke kiri. Ban menggesek aspal dengan suara melengking tajam. Mobil itu melompati trotoar, menabrak pagar pembatas jalan, lalu terjun ke lereng berbatu. Tubuh mereka terhempas keras ke depan saat mobil menghantam tanah dan terguling dua kali sebelum akhirnya berhenti dengan bagian depan menghantam pohon besar. Kaca depan retak, kantong udara mengembang, dan suara mesin berderak pilu sebelum akhirnya mati total. Keheningan menggantung di udara, mencekam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN