Joseph—sekertaris pribadi Sean Mahardika hanya bisa berdeham sambil melirik canggung kearah fitting room milik designer gaun pengantin ternama di Bali. Joseph kemudian melihat jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya.
“Anda sudah terlambat dua jam lebih, tuan muda.” Ungkap Joseph.
Sean menarik bibirnya menjadi segaris lurus sambil membenarkan jas yang ia pakai dari vila. “Ibuku sudah datang?”
“Sudah, Tuan.” Jawab Joseph sambil melirik Sean hati-hati. “Dan ia sangat marah karena Anda tidak kunjung datang.”
Sean menghela napas, lalu melangkah masuk ke ruangan itu. Ia sedikit gugup karena harus menghadapi kemarahan ibunya dan akan bertemu calon ibu mertuanya serta calon istrinya. Namun Sean tetap memantapkan langkah dan masuk ke ruangan tersebut.
Begitu Sean masuk, ibunya langsung melayangkan tatapan tajam yang mematikan. “Darimana saja kamu?! Kenapa baru datang sekarang?! Kan sudah ibu bilang kamu harus tepat waktu!”
Sean berdiri disampingnya, lalu berbisik, “yang penting aku sudah datang.”
“Ibu tahu kamu tidak menginginkan pernikahan ini. Tapi setidaknya hormatilah calon mertua dan calon istrimu yang sudah datang tepat waktu ditengah kesibukan jadwal mereka.”
Sean tidak langsung menjawab, matanya berkeliling mencari Nadine yang tidak ada diruangan ini. “Aku juga sibuk,” jawabnya kemudian.
“Sibuk apa?!” Ibunya hampir berteriak—bahkan matanya melotot seperti hendak keluar. “Ibu tahu kamu tadi malam party dengan Xavier dan sahabat-sahabatmu dari kecil itu.”
Sean hanya mengulum senyum, lalu mengusap-usap bahu ibunya, “Ibu tahu lah, anak muda…”
Ibu Sean hanya menghela napas berat sambil mengusap-usap sendiri dadaanya. “Seharusnya ibu memisahkan kalian berempat dari kecil. Sahabat-sahabatnya itu benar-benar membawa efek buruk untukmu.
Sean tertawa lagi, menyadari bahwa hal itu benar. Sean, Xavier, Vino, dan Shandy mereka bersahabat dari TK International school yang sama. Sampai kemudian mereka beranjak dewasa dan selalu bersama disela kesibukan masing-masing. Sean dan Xavier yang sifatnya hampir sama, sama-sama tidak begitu suka party, sibuk dengan pekerjaan mereka sebagai CEO, dan waktu luangnya hanya bermain game atau pergi olahraga.
Sedangkan Vino dan Shandy, sepertinya party dan menjadi CEO adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Mereka benar-benar menjalani kehidupan yang you only life once (yolo). Maka dari itu Sean dan Xavier juga terbawa dengan kebiasaan party dan bersenang-senang ala Vino dan Shandy.
“Sana temui calon istri dan mertuamu.” Ujar Ibu Sean menyuruhnya.
“Dimana? Aku mencari mereka daritadi.”
“Di ruang ganti. Ia sedang mencoba gaunnya.”
“Oke.” Ketika Sean hendak menyusul Nadine Park, ibunya menahan tangan Sean. “Pastikan kamu baik padanya. Ibu tahu kamu tidak menyukainya tapi—”
Sean kemudian melepaskan tangan ibunya. “Kalau tahu aku tidak menyukainya seharusnya ibu tidak melanjutkan pernikahan bisnis ini dari awal.”
Ibu Sean hanya bisa kembali menghela napas melihat kelakuan anak lelakinya itu. Sampai kemudian Sean masuk kedalam ruangan yang tertulis: fitting room. Sean disambut oleh beberapa karyawan disana dan ada sebuah tirai putih besar yang tertutup. Sean tahu Nadine pasti sedang mencoba gaunnya disana.
“Akhirnya kamu datang juga,” ucap Clarisa—designer gaun pengantin ternama di Indonesia yang berdomisili Bali sekaligus kakak kandung Vino. “Pasti mabuk sekali karena party dengan Vino ya tadi malam?”
Sean mendengkus sembari memasukkan kedua tangannya di saku celana. “Kenapa semua orang tahu semalam aku party?”
Clarisa hanya tertawa ringan, lalu menyenggol tangan Sean. “Kamu harus lihat betapa cantiknya calon istrimu memakai gaun rancanganku.”
Sean terdiam, tidak merespon apapun. Apakah Nadine akan secantik Gwen?
Gwen?
Sean langsung menggelengkan kepalanya, bisa-bisanya ia teringat Gwen—wanita yang menjadi partner one night stand-nya yang tiba-tiba pergi entah kemana hari ini. Namun memang benar kecantikan serta kemolekan tubuh Gwen belum ada tandingannya.
Sampai kemudian tirai putih itu terbuka, untuk pertama kalinya Sean melihat Nadine yang biasanya memakai dress formal kini memakai gaun pengantin berwarna putih dan bertabur Swarovski.
Lampu-lampu kristal di ruang fitting memantulkan cahaya lembut ke dinding marmer putih. Suasana elegan itu membuat setiap gaun di ruangan tampak berkilau. Namun tak ada yang lebih menyilaukan mata Sean selain sosok wanita yang perlahan melangkah keluar dari balik tirai satin.
Gwen.
Ia berjalan pelan, kedua tangannya menahan ujung gaun putih panjang yang bertabur kristal Swarovski. Kilau ribuan permata kecil itu memantulkan cahaya seperti bintang yang turun dari langit, menempel pada setiap lekuk gaun yang membalut tubuhnya. Rambutnya disanggul rapi, beberapa helai sengaja dibiarkan tergerai di sisi wajah, menambah kesan lembut namun anggun.
Sean terdiam. Napasnya nyaris tercekat.
Untuk sesaat, suara-suara di sekitar menghilang. Ia tidak lagi mendengar desainer yang memuji hasil karyanya, tidak mendengar sahabat atau asistennya yang sibuk berkomentar. Yang ada hanya Gwen—berdiri di hadapannya bagai sosok yang tidak nyata, bagai putri dalam dongeng.
Matanya menelusuri setiap detail gaun itu: bustier yang dihiasi manik kristal berkilau, rok yang mengembang lembut dengan potongan modern, dan ekor gaun yang menjuntai panjang, seperti membawa cahaya di setiap langkah Gwen.
Ketika Gwen menoleh sedikit, menatap Sean melalui pantulan cermin, Sean merasakan sesuatu bergetar dalam dadanya. Ada rasa asing yang menusuk, sesuatu yang tak ia duga akan muncul—kagum, takjub, sekaligus gentar.
Ini… wanita yang akan berdiri di sampingku di altar nanti, batinnya. Gwen jelas tampil beda daripada biasanya.
Gwen menggigit bibirnya gugup, merasa diperhatikan begitu intens. “Bagaimana? Terlalu berlebihan, ya?” tanyanya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara detak jantung Sean.
Sean butuh waktu untuk bisa menjawab. Ia menelan ludah, lalu perlahan melangkah mendekat. Tatapannya tak beranjak sedikit pun dari sosok Gwen.
“Tidak…” suaranya dalam, serak. “Kamu… sempurna.”
Gwen terdiam, pipinya memerah, dan untuk sesaat ia melupakan semua orang di sekitarnya. Hanya ada tatapan Sean yang begitu kuat, membuatnya merasa benar-benar… istimewa. Tanpa tahu bahwa tadi malam Sean sudah tidur dengan wanita lain dan karena itulah calon suaminya terlambat untuk fitting baju pengantin.
Sean ingin menyentuhnya, ingin memastikan bahwa yang berdiri di depannya itu nyata, bukan sekadar ilusi cahaya dan kristal. Tapi ia menahan diri, hanya menatap, terpaku.
Karena pada momen itu, Sean tahu—ia bukan hanya melihat seorang wanita dalam balutan gaun pengantin. Ia melihat sesuatu yang lebih berharga: kemungkinan, harapan, dan perasaan yang tidak pernah ia rencanakan. Namun dalam hatinya yang paling terdalam, Sean juga masih memikirkan dan penasaran pada Gwen.
Kemanakah wanita yang bisa menarik perhatiannya dalam sekejab tu sekarang?
---
Follow me on IG: segalakenangann