Pagi itu, cahaya matahari condong lembut, jatuh di antara pepohonan tropis yang menjulang tinggi. Venue pernikahan disulap menjadi sebuah taman impian: kursi-kursi putih tersusun rapi, dihiasi bunga segar dengan warna putih dan hijau, sementara altar kayu alami dililit mawar dan anggrek bulan, memantulkan kilau kristal kecil yang diselipkan di antaranya. Dari kejauhan, suara gesekan biola mengalun, berpadu dengan angin yang membawa aroma laut.
Para tamu undangan duduk di kursi masing-masing, sebagian besar adalah orang-orang penting: pengusaha besar, politisi, selebritas, hingga sosialita internasional. Mereka berbicara dengan suara tertahan, seakan menyesuaikan diri dengan khidmatnya suasana.
Di depan altar, Sean Mahardika berdiri dengan tuxedo hitam sempurna. Rambutnya rapi, wajahnya tampak tenang, meski hatinya bergolak. Cahaya pagi memantul di wajahnya, menegaskan sorot mata pria muda yang akan mengucap janji seumur hidupnya.
Musik berubah. Semua kepala menoleh.
Nadine Park melangkah perlahan dari ujung jalan setapak berbatu yang dihiasi kelopak bunga putih. Gaun pengantinnya berkilau lembut di bawah cahaya pagi, setiap taburan Swarovski tampak seperti bintang kecil yang menempel di kainnya. Rambutnya disanggul anggun, mahkota kecil berkilauan di atas kepala. Ia melangkah dengan tenang, senyum tipis menghiasi wajahnya, membuat semua mata tertuju padanya.
Gwen berdiri agak jauh, clipboard di tangannya, matanya mengikuti jalannya acara dengan seksama. Ia harus memastikan setiap detail sempurna—musik, pencahayaan, bahkan ekspresi fotografer yang menangkap momen. Namun tanpa bisa dicegah, hatinya ikut bergetar.
Seorang rekan kerjanya yang berdiri di sampingnya berbisik, “Nadine Park benar-benar wanita paling beruntung. Menikah dengan Sean Mahardika, pewaris muda yang tampan, kaya, dan berwibawa. Semua wanita pasti iri.”
Gwen tersenyum kecil, menatap altar yang semakin dekat. “Mereka sama-sama beruntung,” jawabnya lirih. “Nadine pun cantik, kaya, lahir dari keluarga besar. Mereka memang diciptakan untuk berdiri berdampingan seperti ini.”
Namun dalam hati, Gwen merasa seperti butiran debu yang terselip di antara permata. Ia hanyalah event coordinator yang harus bekerja banting tulang, berlari ke sana ke mari untuk memastikan semua orang bahagia, sementara pengantin yang ia saksikan hari ini lahir bak memegang sendok emas. Hidup mereka dipenuhi kemewahan sejak lahir. Sedangkan Gwen… ia hanya bisa beruntung tidak mati tergulung ombak tiga malam lalu, ketika seorang pria asing menyelamatkannya—dan membuatnya menyerahkan diri sepenuhnya pada sebuah malam yang kini terasa seperti mimpi.
Pria asing itu kini berdiri di altar, menunggu wanita lain.
Ketika Nadine akhirnya sampai di depan altar, Sean menyambutnya dengan senyum. Mereka berdiri berdampingan, tangan mereka saling menggenggam. Sang pendeta memulai prosesi, suaranya khidmat, mengumandangkan janji yang mengikat.
“Sean Mahardika, apakah engkau berjanji menerima Nadine Park sebagai istrimu, mencintai, menghormati, dan menjaganya dalam suka maupun duka, sampai maut memisahkan?”
Sean menatap Nadine, tersenyum. “Aku berjanji.”
“Dan engkau, Nadine Park, apakah engkau berjanji menerima Sean Mahardika sebagai suamimu, mencintai, menghormati, dan menjaganya dalam suka maupun duka, sampai maut memisahkan?”
Nadine mengangguk mantap, suaranya tenang. “Aku berjanji.”
Sorak kecil terdengar dari tamu undangan. Gwen berdiri tegak, menahan napas. Ada sesuatu dalam suaranya yang bergetar, bukan karena janji suci itu tidak indah—tapi karena ia tahu dirinya tidak punya hak apa-apa untuk merasa terluka.
Sang pendeta lalu berkata, “Dengan ini aku menyatakan kalian resmi menjadi pasangan suami dan istri. Silakan ucapkan janji kalian dengan ciuman pertama.”
Semua tamu menunggu, tepuk tangan pelan terdengar. Nadine menoleh ke Sean, tersenyum. Sean menunduk sedikit, bersiap.
Namun tepat sebelum bibirnya menyentuh Nadine, matanya bergerak tanpa sadar. Ia menemukan Gwen di antara kerumunan staf dan tamu di kejauhan. Mata mereka bertemu.
Sesaat, dunia berhenti. Detak jantung Sean melonjak, sorot matanya mengeras, seolah ingin mengatakan sesuatu yang tidak bisa diucapkan. Gwen tercekat, wajahnya memanas, lalu buru-buru menunduk dan mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Dan pada detik itu juga, Sean menutup jarak, mencium Nadine untuk pertama kalinya sebagai istri.
Sorak sorai meledak. Tepuk tangan bergemuruh, para tamu berdiri, bersorak gembira menyambut momen indah itu. Kamera berkilat-kilat, merekam setiap detik kebahagiaan yang ditampilkan.
Tapi di balik senyum palsu di altar, Sean merasa dadanya berat. Ciuman itu seharusnya berarti awal baru, namun yang ia rasakan hanyalah kehilangan. Di kejauhan, Gwen berdiri dengan clipboard di tangannya, menunduk, menyembunyikan matanya yang berkaca-kaca.
Ia tersenyum samar untuk menutupi luka, meski hatinya retak. Perasaan kecewa, sedih, dan getir menyatu jadi satu. Ia tahu ia hanyalah bayangan singkat dalam hidup Sean—sebuah kebetulan yang seharusnya tidak pernah ada.
Seharusnya mereka tidak bertemu di pantai malam itu, seharusnya mereka tidak bercinta malam itu, dan seharusnya… mereka tidak bertemu lagi hari ini.
Dan Sean pun tahu, di balik sorak sorai itu, ada hati yang ia tinggalkan—hati yang tidak bisa ia gapai, meskipun seluruh dunia kini bersorak untuknya. Sayangnya rasa suka Sean pada Gwen muncul setelah ia menjadi suami Nadine Park.
***
Malam turun di atas taman tropis itu. Ratusan lampu gantung berbentuk lentera kristal berkilau di antara pepohonan, menciptakan cahaya hangat yang berpadu dengan suara denting gelas dan tawa tamu. Meja-meja bundar penuh hidangan mewah berdiri di bawah langit terbuka, sementara panggung kecil menampilkan musik akustik yang menenangkan. Angin laut membawa kesejukan, menggerakkan kelopak bunga yang tersebar di atas rumput hijau.
Resepsi garden party itu tampak seperti pesta mimpi. Para tamu bergaul dengan penuh gelak tawa, Nadine tampak anggun dengan gaun malamnya, sementara Sean berdiri di sisinya sebagai suami baru, menyapa satu per satu tamu kehormatan.
Namun di antara keramaian itu, Gwen memilih menjauh. Ia berjalan ke sisi taman, ke area yang lebih sepi, di dekat deretan pepohonan tropis yang dihiasi lampu-lampu kecil. Clipboard masih di tangannya, meski acara sudah hampir sempurna. Ia butuh udara. Butuh jarak.
Hatinya masih belum tenang sejak prosesi janji suci tadi. Tatapan Sean yang sempat berserobot dengannya di altar terus menghantui, membuat setiap denyut nadinya terasa asing.
Ketika Gwen perlahan-lahan menyingkir dari kerumunan, ada sepasang mata yang daritadi menamatinya—Xavier. Pria itu berdiri dengan segelas sampanye ditangannya, mengobrol dengan Vino, Shandy, dan mama Sean, bercerita soal cerita mereka masa kecil ketika Sean menangis saat Shandy sempat pindah sekolah ke Amerika ketika sekolah dasar.
Xavier pada awalnya ingin menghampiri Gwen, menggodanya karena pria yang ditiduri Gwen kini sudah menjadi suami wanita lain. Namun Xavier menahan langkah, ketika tahu bahwa Sean tak lama kemudian menyusul langkah Gwen keluar dari kerumunan para tamu. Xavier menghela napas, ia berharap Sean tidak banyak melakukan ulah setelah menikah.
Ia berdiri sendiri, menatap lampu-lampu yang bergantung di dahan pohon, mencoba menyibukkan diri dengan catatan kecil di tangannya.
Langkah kaki terdengar pelan dari belakang. Gwen menoleh. Dan di sana, Sean berdiri.
Ia sudah berganti jas malam, dasinya sedikit longgar, wajahnya tetap tampan dengan sorot mata yang tak bisa disembunyikan. “Aku mencarimu,” ucapnya lirih, hampir seperti bisikan.
Gwen terpaku, clipboard di tangannya merosot sedikit. “Pak Sean… Anda seharusnya bersama tamu. Dengan istri Anda.”
Sean mendekat, jaraknya hanya tinggal beberapa langkah. “Aku butuh bicara denganmu.”
Gwen menelan ludah, mencoba menjaga jarak. “Tidak ada yang perlu dibicarakan. Malam itu sudah berlalu. Aku hanya event coordinator, kamu… pengantin pria. Itu saja.”
Namun suara Gwen bergetar, menyiratkan perang batin yang tak bisa ia sembunyikan.
Sean berdiri tepat di depannya sekarang, hanya dipisahkan cahaya lampu gantung yang jatuh di wajah mereka. Tangannya terangkat, seolah ingin menyentuh pipi Gwen, namun berhenti di udara. Ia menahan diri.
“Kenapa aku harus percaya kalau itu tidak berarti apa-apa, Gwen?” suaranya serak, nyaris penuh luka. “Kenapa aku masih bisa merasakanmu… bahkan saat aku mencium istriku di altar?”
Napas Gwen tercekat. Ia menggeleng cepat, berusaha kabur dari tatapan itu. “Jangan lakukan ini, Sean. Kita tidak boleh. Aku tidak mau bertemu denganmu lagi.”
Sean menunduk, menatapnya dalam. “Setidaknya… beri aku sesuatu. Nomor ponselmu. Kontakmu. Apa saja.”
Gwen menggeleng, mundur setengah langkah. “Tidak. Kalau aku memberikannya, aku tidak akan pernah bisa melepaskan. Dan aku tidak mau jadi wanita itu, Sean.”
Keheningan menggantung di antara mereka. Hanya suara musik akustik dari kejauhan dan desir angin malam yang menemani. Sean mendekat lebih jauh, jaraknya begitu dekat hingga Gwen bisa merasakan hangat napasnya.
Untuk sekejap, ia menunduk, bibirnya hampir menyentuh bibir Gwen. Degup jantung Gwen melesat, tubuhnya menegang. Tapi Gwen menoleh cepat ke samping, menolak ciuman itu. “Jangan…” bisiknya, hampir tak terdengar.
Sean menutup mata, menahan hasrat yang meluap, lalu mundur sedikit. Wajahnya menegang, namun suaranya tenang. “Kalau begitu… aku sendiri yang akan mencarimu.”
Mata Gwen melebar, tubuhnya bergetar. Sean menatapnya sekali lagi—tatapan penuh tekad yang membuat Gwen tak mampu bernapas—sebelum ia berbalik, kembali menuju keramaian resepsi.
Gwen berdiri sendiri di bawah cahaya lampu gantung, jantungnya berdebar kencang. Ada rasa takut, lega, tapi juga luka yang tak bisa ia definisikan. Ia tahu Sean bukan pria yang akan menyerah begitu saja. Dan entah kenapa, sebagian dirinya tidak benar-benar ingin ia menyerah.
---
Follow me on IG: segalakenangann