Malam Pertama Sean dan Nadin

1447 Kata
[21+ part] Kamar suite pengantin sudah disiapkan dengan sempurna. Lilin aromaterapi menyala di sudut ruangan, menyebarkan wangi lembut lavender bercampur mawar. Kelopak bunga mawar putih dan merah ditaburkan di atas ranjang king size, membentuk pola hati, sementara tirai sutra tipis bergoyang pelan tertiup angin laut yang masuk melalui balkon terbuka. Nadine berdiri di tengah ruangan dengan gaun malam pengantinnya yang masih sempurna, flower crown kecil masih bertengger di atas rambutnya yang disanggul anggun. Wajahnya yang biasanya tegas dan penuh percaya diri, kini justru tampak gugup. Pipi pucatnya memerah samar, kedua tangannya saling meremas tanpa sadar. Ini pertama kalinya ia harus benar-benar berdua dengan Sean—bukan sekadar di depan kamera, bukan di altar atau di hadapan tamu, melainkan di ruang sunyi yang seharusnya jadi saksi malam pertama mereka. Sean masuk menyusul beberapa langkah kemudian. Ia melepaskan jas hitamnya, menggantungkannya di kursi, lalu berjalan pelan menuju balkon, berdiri menatap gelapnya hutan tropis di luar. Siluet tubuhnya tercetak jelas di bawah cahaya lampu kamar, bahunya lebar, punggungnya tegap. Nadine menatapnya dari belakang, dadanya berdebar keras. Hening menggantung terlalu lama. Nadine akhirnya memberanikan diri memecahnya. “Sean…” suaranya pelan, agak bergetar. “Bisa… bantu aku?” Sean menoleh sedikit. Nadine tersenyum canggung, lalu menunjuk ke flower crown dan jepit-jepit kecil yang masih menempel di rambutnya. “Aku tidak bisa melepasnya sendiri… terlalu banyak. Tolong?” Sean diam sesaat, lalu melangkah mendekat. Jemarinya menyentuh rambut Nadine, perlahan melepaskan satu per satu jepit yang disematkan rapi. Nadine bisa merasakan hangat jemarinya, membuat kulit kepalanya merinding. Jantungnya berdebar semakin kencang, begitu dekat dengan pria yang kini sah menjadi suaminya. Flower crown itu akhirnya lepas, disusul jepit-jepit kecil yang jatuh ke meja rias. Rambut Nadine terurai perlahan, jatuh ke bahunya. Nadine menunduk sedikit, tersenyum gugup. “Terima kasih…” Sean hanya mengangguk, matanya singkat menatapnya lalu kembali menghindar. Keheningan kembali menguasai. Nadine menggigit bibir, lalu dengan keberanian yang sisa, ia berbisik. “Kalau begitu… bisa bantu aku dengan gaun ini juga?” Nadine menoleh pelan, memperlihatkan punggung gaunnya yang masih terkunci ritsleting panjang. “Aku tidak bisa menjangkaunya sendiri.” Sean terpaku. Tatapannya singkat jatuh ke ritsleting itu, lalu ke punggung Nadine yang terbuka sedikit di bagian atas. Tanpa banyak bicara, Sean menyentuh resleting itu dan Nadine dapat merasakan kulit tubuhnya meremang dan degup jantungnya seperti ingin meledak ketika tangan Sean menyentuh kulit punggungnya. Suara logam kecil itu berbunyi lirih saat Sean menariknya perlahan ke bawah. Setiap tarikan membuat kain satin putih itu longgar, hingga akhirnya bahu gaun melorot perlahan, menyusuri lengannya, lalu jatuh anggun ke lantai, mengelilingi kakinya bagai genangan cahaya. Kini Nadine berdiri dalam balutan lingerie ivory tipis, sebuah slip dress satin lembut dengan renda di tepian yang menempel di tubuhnya. Punggungnya terekspos hampir sepenuhnya, hanya dilapisi kain tipis yang membuat siluet tubuhnya semakin jelas. Sean terpaku. Jemarinya yang tadi menyentuh resleting kini menggantung di udara, seolah tak berani menyentuh lebih jauh. Matanya menelusuri pantulan Nadine di cermin besar, menatap wajah istrinya yang masih merah, gugup, dan kikuk.Dari cermin besar itu Sean dapat melihat bagaimana putih dan mulusnya kulit Nadine, tubuhnya yang ramping, dan bagian tubuh menonjol yang sempurna dan Sean membayangkan betapa pas dalam genggamannya. Nadine membuka mata perlahan, menunduk, lalu berkata lirih, “Terima kasih…” suaranya nyaris bergetar. Sean mengangguk singkat, mundur setengah langkah. Ada banyak yang ingin ia katakan, tapi lidahnya kelu. Ia hanya bisa memalingkan wajah, menahan napas yang berat. Sean adalah lelaki dan ia tidak bisa berbohong ketika melihat tubuh molek Nadine dibalik lingerie itu tidak membangkitkan hasratnya. Namun Sean masih merasa marah akan pernikahan bisnis ini dan ia masih terbayang-bayang akan Gwen. Sean menginginkan Gwen yang ada dengannya di kamar suite ini, bukan Nadine. Nadine meremas ujung slip dressnya, mencoba menutupi kegugupannya. Ia ingin Sean berkata sesuatu, apa pun, namun yang datang justru keheningan. Dan dalam hening itu, hanya suara ombak jauh dan desah napas mereka yang terasa terlalu nyata. Sean akhirnya berucap, suaranya dalam, singkat. “Aku akan mandi dulu.” Nadine menoleh cepat, terkejut. “Oh… baiklah.” Senyum tipis yang coba ia pasang tidak mampu menutupi rasa kecewa yang menelusup. Sean berjalan menjauh, masuk ke kamar mandi, meninggalkan Nadine berdiri sendiri di depan cermin, gaun pengantinnya tergeletak di lantai bagai bunga layu. *** Begitu berada di kamar mandi, Sean langsung menyalakan air shower yang hangat untuk membasuh tubuh atletisnya. Sean memejamkan mata dan menengadah, menikmati air hangat itu. Prosesi pernikahan dari pagi benar-benar menguras energinya dan adanya Gwen yang menjadi event coordinator di pernikahannya menguras emosinya. Ada dua wanita yang ia perhatikan hari ini—gwen dan Nadine yang kini menjadi istrinya. Kemudian memori-memori itu muncul begitu saja. Sean teringat ketika tadi pagi ia pertama kali bertemu lagi dengan Gwen dan mencium Gwen dengan brutal di kamarnya dan ia teringat tadi ia hendak kembali mencium Gwen. Mengingat Gwen membuat miliknya menegang dan mengeras dibawah sana. Sean mendesah frustasi, mengusap rambut dan wajahnya, kemudian mengganti air shower itu menjadi air dingin yang kencang. Seharusnya Sean bisa langsung menghampiri Nadine dan menuntaskan hasratnya pada Nadine. Namun Sean merasa tidak tega untuk bercinta dengan Nadine namun memikirkan wanita lain—membayangkan yang bercinta dengannya adalah Gwen, bukan Nadine. Pada akhirnya dibawah kucuran shower air dingin itu, Sean menuntaskan hasratnya sendiri dengan tangannya. *** Di depan meja rias, Nadine duduk dengan lembut, perlahan membersihkan riasan tebal yang sejak pagi menempel di wajahnya. Kapas basah yang digenggam tangannya bergerak hati-hati di sekitar mata, menghapus eyeliner dan bayangan mata yang memudar. Gaun pengantin yang semula membalut tubuhnya kini sudah rapi digantung, dan tubuhnya hanya dilapisi slip dress satin tipis berwarna ivory. Pintu kamar mandi terbuka. Uap hangat mengepul keluar, membawa aroma sabun maskulin yang tajam namun menenangkan. Sean muncul dari baliknya, hanya dengan handuk putih yang dililit rendah di pinggangnya. Butiran air masih mengalir di kulit putihnya, menetes dari leher hingga d**a bidangnya, lalu melewati garis otot perutnya yang terbentuk sempurna. Rambut hitamnya basah, menempel berantakan di dahi. Nadine sontak menegang. Tangannya berhenti di udara, kapas basah masih menempel di pipi. Pipi putihnya langsung merona merah. Ia menunduk cepat, berpura-pura sibuk menghapus sisa lipstik, meski hatinya berdetak begitu kencang. Sean berjalan pelan melewati meja rias, sempat melirik Nadine sekilas. Tatapannya dingin tapi tidak bisa menyembunyikan singkatnya keintiman ketika matanya jatuh pada wajah istrinya yang kini bersih tanpa make-up. “Ada apa?” tanya Sean ketika sadar Nadine menatapnya terus dari cermin. “Hah?” Nadine sontak tersentak kaget. Lalu melanjutkan membersihkan make-upnya lagi. “Ti-tidak apa-apa.” “Di mana handuk kering? Untuk rambut,” tanyanya singkat, suaranya berat oleh lelah dan mungkin juga rasa enggan. Nadine tergagap kecil, berusaha menormalkan suaranya. “Ada di walk-in closet… rak kedua.” Sean hanya mengangguk, melangkah menuju walk-in closet tanpa menambahkan kata-kata lain. Aroma sabun tubuhnya masih tertinggal, memenuhi ruangan dengan wangi maskulin yang menusuk hidung Nadine. Sendirian lagi, Nadine menatap pantulan wajahnya di cermin. Ia menghela napas panjang, lalu bangkit, melangkah masuk ke kamar mandi. Uap panas masih menggantung, meninggalkan bekas dari mandi Sean sebelumnya. Ia melepas slip dress yang tipis, masuk ke pancuran, membiarkan air mengalir menenangkan kulitnya. Sambil membersihkan tubuh, pikirannya kacau: pernikahan megah yang baru saja berlangsung, tatapan Sean yang begitu dingin sepanjang hari, dan rasa aneh yang tidak bisa ia cerna ketika mereka berdua berada di kamar ini. Selesai mandi, Nadine mengeringkan tubuhnya dengan handuk lembut, lalu mengenakan lingerie yang sudah ia siapkan khusus untuk malam ini—set renda tipis berwarna putih dengan aksen sutra yang jatuh anggun di lekuk tubuhnya. Ia menyemprotkan parfum bridal gift yang baru diterimanya, wangi vanilla lembut bercampur amber musk, aroma yang digadang bisa menggoda hasrat lelaki mana pun. Dengan hati berdebar, Nadine melangkah keluar dari kamar mandi. Rambutnya masih sedikit basah, tubuhnya hangat, dan setiap langkahnya penuh gugup sekaligus harap. Malam pertama ini, ia ingin benar-benar memulai kisahnya dengan Sean. Namun yang dilihatnya membuatnya terdiam. Sean sudah berbaring di ranjang king size itu, hanya mengenakan celana pendek tidur. Bahunya terekspos, d**a bidangnya naik-turun perlahan dalam ritme tidur. Lampu kamar redup, membalut tubuhnya dalam bayangan yang tenang. Ia sudah tertidur lelap. Nadine berdiri di dekat pintu kamar mandi, tubuhnya membeku. Semua persiapan yang ia lakukan—lingerie tipis, parfum menggoda, keberanian yang ia kumpulkan sepanjang hari—seolah runtuh begitu saja. Ia menggigit bibirnya, merasakan perih yang pelan tapi nyata di dadanya. Pipi yang tadinya merona kini berubah menjadi pucat oleh rasa kecewa. Malam pertama mereka, yang seharusnya penuh keintiman, ternyata hanya menyisakan sunyi dan jarak. Nadine akhirnya berjalan pelan mendekat, lalu meraih selimut, membaringkan dirinya di sisi ranjang. Ia membelakangi Sean, matanya terbuka lebar dalam kegelapan. Parfum vanilla yang semestinya menggoda, kini hanya menemaninya sendiri. Sementara Sean, tetap tertidur, seolah benar-benar tidak ingin terjaga untuk malam yang seharusnya mereka bagi bersama. --- Follow me on IG: segalakenangann
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN