Matahari pagi menelusup masuk ke tirai-tirai kamar suite Sean dan Nadine. Sean membuka mata terlebih dahulu, langsung melihat wajah wanita cantik yang begitu tenang ketika tertidur disampingnya. Sean mengerjap perlahan, tangannya terangkat hendak menyentuh pipi mulus Nadine—namun gerakannya terhenti di udara ketika teringat kembali bahwa wanita yang tertidur disampingnya ini bukanlah Gwen.
Sampai kemudian Nadine menggeliat, mulai terbangun, dan Sean kembali memejamkan matanya, pura-pura tertidur lagi. Sedangkan dari sudut pandang Nadine yang dilihatnya adalah suaminya, pria tampan yang dulu dikenalkan oleh orangtuanya. Nadine awalnya tidak mau menikah karena dijodohkan, sampai kemudian orangtuanya meminta Nadine untuk ikut makan siang dengan mereka di Singapura.
Acara makan siang itulah ketika ia pertama kali bertemu dengan Sean Mahardika. Pria muda yang begitu tampan dan sopan. Nadine ingat bagaimana Sean menarikkan kursi khusus untuknya sebelum duduk dan menemani Nadine untuk membeli gelato bersama setelah makan siang.
Setelah acara makan siang itu, baru Nadine bilang pada orangtuanya kalau ia setuju menikah dengan Sean. Namun setelah pernikahan istimewa kemarin, tidak ada yang istimewa di malam pertama pernikahan mereka. Sean bahkan tidak menyentuhnya sama sekali.
“Good morning,” gumam Nadine walaupun Sean masih tertidur. Tangannya kemudian terangkat membelai pelan dahi Sean ketika pria itu sedikit mengkerutkan alisnya ketika tertidur, entah mimpi apa yang sedang ia jalani dibawah alam bawah sadar. “Walaupun tidak ada yang terjadi tadi malam—bahkan kamu tidak menyentuhku sama sekali, tapi aku tetap senang bisa terbangun disamping suamiku.”
Nadine kemudian memajukan wajahnya, memberi kecupan ringan di pipi Sean dan sesudahnya ia malu sendiri melakukan ciuman terlebih dahulu. Nadine mengulum bibirnya, muncul semburat merah di pipinya. Apa yang sebenarnya ia lakukan? Bagaimana kalau Sean bangun? Setidaknya itu yang ada dalam pikirannya.
Nadine kemudian berdeham dan mulai terduduk, “sebaiknya aku segera ke kamar mandi.”
Ketika Nadine hendak meninggalkan ranjang king size itu, tiba-tiba saja Sean menarik pergelangan tangannya, membuat Nadine terkesiap dan kembali berbaring di ranjang. Matanya membulat sempurna, shock karena sadar bahwa Sean sudah bangun.
“Se-sejak kapan kamu sudah bangun?” tanya Nadine dengan gugup, mereka kini tertidur saling berhadapan.
Sean memejamkan matanya lagi, terlihat seperti masih mengantuk. “Entahlah, sepertinya ketika kamu… menciumku.”
Nadine memejamkan matanya sejenak, ia benar-benar malu sekarang!
“Memangnya boleh mencium seseorang tanpa izin seperti itu?” goda Sean.
“Kenapa tidak boleh?” lirih Nadine. “Kamu kan suamiku.”
“Suami…” Sean membuka matanya, tersenyum kecil. Tangannya masih belum lepas dari Nadine. “Berarti aku juga boleh melakukan apapun yang aku mau tanpa meminta izinmu?”
Jantung Nadine berdegup lebih kencang dari biasanya ketika Sean menatapnya dengan intens. “Memangnya kamu mau meminta apa?”
“Mandi bareng.”
“Hah?!” Nadine berteriak. “Mandi… bareng?!”
“Iya, kan kita suami istri. Lagipula sebelum aku bangun tadi kamu juga bilang aku belum menyentuhmu kan? Jadi kita mandi bareng saja sekalian biar aku bisa menyentuhmu dan memandikanmu.”
“Astaga!” Nadine segera bangkit dari kasur, kali ini benar-benar meninggalkan Sean dengan otak mesumnya. “Kamu tidak menyentuh tidak apa, tiba-tiba langsung minta mandi bareng. Orang gila!”
“Kenapa gila? Kan aku suamimu,” Sean terkekeh, kemudian terdengar suara pintu kamar mandi yang dibanting ketika menutupnya. Menyisakan Sean yang masih menatap kearah pintu kamar mandi dan menyadari bahwa Nadine cukup polos dan menggemaskan untuk digoda.
***
“Selamat pagi,” sapa Sean pada anggota keluarga intinya yang sudah berada di ruang makan vip di hotel milik keluarga Sean ini.
Sean datang bersama dengan Nadine. Tadinya mereka berjalan masing-masing saat keluar dari kamar hotel. Tapi begitu masuk ke ruang makan, Sean langsung menggandeng tangan Nadine. Bahkan kini menarikkan kursi untuk Nadine duduk terlebih dahulu baru setelahnya Sean ikut duduk.
Mama Sean kemudian tersenyum-senyum sambil melihat Sean dan Nadine bergantian. “Aura pengantin baru… bagaimana malam pertamanya tadi malam?”
Uhuk! Nadine sampai tersedak air mineral yang baru saja ia teguk itu.
“Ma…” Papa Sean berdeham, memperingatkan istrinya yang blak-blakan itu.
Sean hanya tersenyum sambil mengoleskan butter ke bagels yang disajikan. “Tenang saja, mama akan segera punya cucu.”
Kedua orangtua Sean dan Nadine saling pandang, tersenyum, dan kemudian mengangguk-angguk paham. Sedangkan Nadine hanya mengulas senyum palsu. Bagaimana bisa segera punya anak jika Sean bahkan tidak menyentuhnya sama sekali?
“Kalau begitu… bagaimana kalau kalian honeymoon ke Swiss? Mommy dan dad punya hotel di Swiss, kalian bisa bulan maduk kesana.” Ucap Mama Nadine. “Mom akan pesankan tiketnya kalau kalian mau.”
“Mom…” Nadine tersenyum kecut. Ia masih merasa pernikahan dan pengenalannya dengan Sean direncanakan dalam waktu yang terlalu dekat dan masih canggung rasanya berpergian ke luar negeri dengan Sean.
“Maaf, Mom. Tapi sepertinya belum bisa jika besok aku dan Nadine langsung bulan madu ke Swiss. Aku dan Nadine masih banyak pekerjaan.” Sean lalu mengeratkan genggaman tangannya pada Nadine dibawah meja, seperti meminta dukungan. “Iya kan, sayang?”
Nadine meliriknya sekilas, lalu mengangguk. “Sean benar, mom. Aku juga masih ada opening toko perhiasan di salah satu gerai baru di Jakarta.”
Mama Sean kemudian menghela napas. “Janganlah terlalu sibuk bekerja, lalu kapan kalian bisa punya bayi kalau sibuk bekerja?”
“Ma, kami juga belum menikah 24 jam. Mama tenang saja.” Jawab Sean. Lagipula aku juga tidak suka anak kecil. Batinnya.
Obrolan ketika sarapan pagi itu berlangsung santai begitu saja, tidak ada lagi pembahasan soal honeymoon dan anak. Walaupun pikiran Nadine kini dipenuhi dengan ucapan mama kandung dan mertuanya tadi. Jika mereka berdua terlalu sibuk bekerja, kapan mereka akan punya bayi?
Karena Nadine sangat menyukai anak kecil dan tentu saja ia ingin memiliki anak dari Sean. Nadine dan Sean sama-sama anak tunggal dan mereka butuh pewaris untuk meneruskan bisnis all branded brands serta bisnis perhiasan kedua keluarga mereka berdua.
Bahkan sampai mereka kembali pulang ke Jakarta menaiki jet pribadi mereka, Sean kembali bersikap dingin padanya—seolah tadi hanya bermain peran menjadi pasangan romantis.
Langit sore itu berwarna oranye keemasan ketika jet pribadi keluarga Mahardika mengudara meninggalkan Bali. Dari jendela oval, pemandangan lautan luas tampak berkilau diterpa cahaya matahari tenggelam. Nadine duduk di kursi kulit putih mewah, menyilangkan kaki dengan gaun santai yang menunjukkan jelas lekuk tubuh indahnya, wajahnya masih cantik meski tampak letih. Di hadapannya, Sean duduk tenang, menatap tablet di tangannya seolah lebih tertarik pada laporan bisnis ketimbang istrinya yang baru saja resmi ia nikahi.
Hening menyelimuti kabin. Hanya suara mesin jet yang bergemuruh pelan. Sampai akhirnya Nadine membuka suara, nadanya datar tapi sarat emosi.
“Kenapa kamu selalu pura-pura mesra di depan orangtuamu dan orangtuaku?” ia menatap Sean lurus. “Menggenggam tanganku di meja makan, memanggilku sayang, menjanjikan cucu… seolah kita pasangan yang penuh cinta. Padahal kenyataannya? Bahkan menyentuhku pun tidak pernah.”
Sean meletakkan tabletnya di pangkuan, menghela napas. Matanya menatap keluar jendela, menghindari tatapan Nadine. Ia tidak suka drama, tidak suka debat panjang. Terlebih, ia tahu pernikahan mereka hanya sebuah perjanjian keluarga, bukan romansa.
“Apa kamu lebih suka aku dingin di depan mereka?” jawab Sean pelan, suaranya datar. “Kalau aku begitu, mereka pasti curiga. Bukankah lebih baik kita mainkan peran kita dengan sempurna?”
Nadine mengepalkan tangannya di atas pangkuan. “Itu justru yang menyakitkan, Sean. Aku bisa menerima kalau kita dijodohkan, aku bisa belajar mencintaimu perlahan. Tapi jangan berpura-pura di depan semua orang, lalu mengabaikanku saat kita hanya berdua.”
Sean menoleh sekilas, wajahnya tenang, tanpa riak besar. “Aku tidak ingin ribut, Nadine. Bukan di sini. Kita sama-sama tahu pernikahan ini lebih banyak tentang bisnis dan keluarga. Jangan harap aku jadi suami yang kamu inginkan.”
Kata-katanya dingin, tapi bukan tanpa alasan. Nadine menggigit bibir, matanya berkaca-kaca, namun ia tidak ingin terlihat lemah. Ia memalingkan wajah ke jendela, menyembunyikan perasaan yang bergejolak.
Sean kembali bersandar, menutup mata sejenak. Ia malas memperpanjang perdebatan. Baginya, pertengkaran hanya akan membuang energi. Namun di dalam pikirannya, satu nama terus berputar, menimbulkan gelisah yang tidak bisa ia enyahkan: Gwen.
Malam di Bali, tatapan matanya, ciuman yang membakar—semua itu datang lagi, menohok lebih dalam daripada semua percakapan dingin dengan Nadine.
Sean membuka ponselnya di bawah meja kecil kabin, jempolnya cepat mengetik pesan singkat ke kontak bernama Joseph—sekretaris pribadinya yang sudah lama jadi tangan kanan setia.
Cari tahu semua yang kamu bisa tentang event coordinator di pernikahanku. Namanya Gwen Astari. Profil, alamat, riwayat pekerjaan. Semuanya. Segera.
Pesan terkirim. Sean menutup layar ponselnya rapat-rapat, menyelipkannya kembali ke saku jas. Nadine tidak menyadari apa pun, matanya masih menatap kosong ke jendela, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Jet pribadi itu terus melaju membelah langit, membawa pulang dua insan yang baru menikah, tapi hatinya tidak pernah benar-benar bersatu.
Nadine sibuk dengan rasa kecewa yang ia sembunyikan. Sementara Sean, di balik wajah tenangnya, diam-diam telah menyalakan api intrik baru—sebuah tekad bulat untuk menemukan Gwen lagi, meski itu berarti menyalahi janji suci yang baru saja ia ucapkan.
---
Follow me on IG: segalakenangann