Saveur de Paris

1096 Kata
Tiga hari berlalu semenjak pernikahan Sean dan Nadine di Bali. Gwen juga sudah selesai mengurusi acara pernikahan pria yang menjadi partner one night standnya itu. Kini, saatnya ia kembali bekerja di Jakarta. Sekarang Gwen sedang berada di salah satu mall ternama di Kota Jakarta, hendak melakukan food testing dari salah satu restoran Prancis yang bernama Saveur de Paris akan menyajikan hidangan utama serta hidangan penutup saat acara pertunangan salah satu kliennya. Klien Gwen ini merupakan pria Indonesia yang akan bertunangan dengan seorang wanita keturunan Prancis, seluruh keluarga tunangannya dari Paris akan berkunjung ke Indonesia, maka dari itu food testing di restoran ini sangat penting. Namun Gwen dan team-nya masih bersiap, makanan belum disajikan, klien juga belum datang. Membuat Gwen mempunyai waktu untuk duduk di meja luar restoran dengan sebuah laptop yang tidak ia sentuh lagi. Gwen hanya meraba lehernya—tempat biasanya ada kalung berbentuk infinity dengan taburan berlian disekitarnya yang sudah Gwen pakai selama lima tahun, sekarang sudah tidak ada lagi. Gwen sontak mendesah pelan sambil menundukkan kepalanya dan memegangi kepalanya sendiri. “Kenapa aku bodoh sekali harus membuang kalung itu ke laut? Kamu hanya mengikuti emosi sesaatmu, Gwen. Dasar bodoh!” Emosi sesaat dan napsu sesaat. Tentu ketika mengingat kalung itu, Bali, dan pantainya pada malam hari maka ingatan Gwen akan mengarah pada Sean Mahardika. CEO tampan yang kini sudah menikahi Nadine Park. Gwen hanya seperti mimpi dapat merasakan bercinta dengan Sean dan merasa memiliki Sean, serta menikmati semua fasilitas di vila mewah milik CEO mud aitu. Semuanya hanya mimpi dan kini ia harus kembali pada realita bahwa Gwen harus bekerja keras untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah yang menyokong kehidupannya. Kemudian, semakin sore restoran semakin ramai. Langkah-langkah tamu mulai terdengar di pintu masuk restoran. Gwen segera berdiri, merapikan blazer pastel yang ia kenakan, lalu memberi isyarat kepada tim wedding organizer-nya agar bersiap. Saveur de Paris sore itu tampak berkilau: lampu gantung kristal menjuntai dari langit-langit tinggi, meja-meja berlapis linen putih teratur rapi, setiap kursi dihiasi pita satin warna emas pucat. Aroma butter, roti hangat, dan rempah khas Prancis menguar lembut di udara, menambah nuansa elegan restoran tersebut. Di sisi ruangan, band akustik bersiap memainkan alunan musik jazz Prancis yang ringan. Gwen tersenyum tipis, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu betul, acara food testing ini adalah ujian penting—calon tunangan kliennya orang Prancis, dan keluarganya terkenal perfeksionis soal makanan. Jika ada yang salah, reputasi WO-nya bisa jatuh. Seorang staf menghampiri Gwen terburu-buru. “Mbak, klien sudah datang.” Gwen segera melangkah ke depan, menyambut pasangan itu dengan senyum profesional. Sang pria Indonesia berwajah tegas, sementara tunangannya, wanita muda keturunan Prancis, tampil anggun dalam balutan gaun putih sederhana. Gwen menyalami mereka dengan hangat, lalu mempersilakan duduk di meja utama yang menghadap jendela besar, di mana cahaya matahari sore menyinari ruangan dengan indah. Hidangan pertama mulai keluar. Gwen memperhatikan dengan teliti: piring porselen besar dengan hiasan oyster gratinée—tiram panggang dengan keju gruyère meleleh di atasnya. Diikuti sepiring salade de crevettes—salad udang dengan saus lemon butter. Gwen sempat tersenyum, hingga matanya membelalak sadar sesuatu. Sang wanita Prancis hendak menyendok udang di piringnya, ketika pria Indonesia itu mendadak menahan tangannya. “Kamu lupa ya?” suaranya meninggi, marah. “Dia alergi seafood! Bagaimana mungkin kalian menyajikan ini?” Detik itu juga jantung Gwen serasa jatuh. Ia tahu benar catatan diet sudah diberikan ke pihak restoran—sang tunangan alergi seafood dan cokelat. Tapi justru dua menu itu yang muncul sebagai hidangan pembuka! Sang pria berdiri, wajahnya merah padam. “Kalau sampai tunanganku mencoba sedikit saja, kalian tahu akibatnya?! Alerginya bisa parah!” Ia menatap Gwen tajam, nadanya penuh amarah. Gwen nyaris kehilangan kata. Ia menunduk dalam-dalam, memohon maaf berkali-kali. “Saya… saya sungguh minta maaf, seharusnya ini tidak terjadi. Mohon beri kami waktu sebentar, saya pastikan segera diperbaiki.” Suaranya bergetar. Ia bisa merasakan keringat dingin di pelipis, jantungnya memukul keras. Bayangan reputasi jatuh, kontrak batal, bahkan tuntutan hukum berkelebat di benaknya. Di tengah kepanikan itu, seorang pria tinggi dengan setelan jas abu-abu elegan kemudian melangkah maju. Aura tenang memancar darinya, membuat para staf langsung memberi jalan. Matanya tajam, senyumnya tipis namun penuh wibawa. “Permettez-moi,” ucapnya dalam bahasa Prancis, dengan logat yang fasih. Ia memberi isyarat kepada pelayan untuk segera angkat piring-piring tersebut. “Izinkan saya yang menanganinya.” Semua mata menoleh padanya. Gwen terpaku. Ia baru menyadari pria itu—yang beberapa menit lalu ia lihat hanya berdiri mengamati dari jauh—ternyata bukan sembarang tamu. Tubuh Gwen rasanya semakin melemas, pria itu lagi! Pria yang ia temui di Bali, yang ia cium, sahabat Sean Mahardika ada disini lagi! Apakah dunianya sangat sempit sekarang?! Yap, pria itu adalah Xavier. Xavier kemudian dengan sigap memanggil chef eksekutif, memberi instruksi dalam bahasa Prancis yang meluncur cepat, penuh otoritas. Tak lama kemudian, keluar hidangan pengganti: coq au vin blanc—ayam yang dimasak dengan anggur putih, jamur, dan bawang mutiara—serta ratatouille provençale, sayuran khas Prancis selatan yang harum dengan rempah segar. “Menu spesial ini seharusnya disiapkan untuk tamu kehormatan kami. Silakan cicipi,” ucapnya ramah, kali ini dalam bahasa Inggris bercampur Indonesia. Sang wanita Prancis tersenyum lega setelah mencicipi suapan pertama. “C’est parfait…” bisiknya. Sang pria pun mulai tenang, meski wajahnya masih menyimpan kesal. Situasi yang semula genting berubah menjadi terkendali. Musik kembali mengalun, dan percakapan ringan terdengar dari meja utama. Gwen berdiri di sisi ruangan, napasnya masih terengah kecil. Ia masih syok—baru saja reputasi WO-nya hampir hancur. Lalu pria tadi berjalan mendekat padanya. Gwen spontan duduk tegap, jantungnya berdetak kencang. “Sepertinya staf saya membuat kesalahan fatal,” ucapnya datar namun hangat. “Tapi tenang saja, semuanya sudah beres.” “Staf… Anda?” Gwen mengerjap bingung. Pria itu tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangan. “Xavier Laurent. Pemilik Saveur de Paris sekaligus mall ini.” Gwen membeku. Pemilik restoran ini? Pemilik mall ini? Ia tertegun, menatap pria itu dengan mata terbelalak. Dan ketika Xavier menambahkan dalam bahasa Prancis dengan nada halus, “Enchanté, mademoiselle,” Gwen makin terdiam. Ia tidak pernah menyangka, pria yang menolongnya barusan bukan sekadar pemilik restoran elit, tapi juga seseorang yang tampak begitu dekat dengan dunianya—Prancis, bahasa, bahkan aura elegan yang jarang ia temui di Jakarta. Sebelum benar-benar meninggalkan Gwen dengan kliennya, Xavier kemudian berbisik rendah ditelinga Gwen, “selamat kembali bekerja, Gwen. Kita harus bicara setelah ini. Bonne chance, my belle—semoga beruntung, sayang.” Untuk sesaat, Gwen lupa bernapas. Ia baru sadar, kehidupannya yang sederhana dan penuh kerja keras tiba-tiba bersinggungan dengan lingkaran para konglomerat lagi—dan kali ini lewat Xavier. --- Follow me on IG: segalakenangann
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN