Keangkuhan Pria Kaya

1238 Kata
Food testing dengan klien hari ini sudah selesai, yang tadinya hampir berjalan buruk karena pelayan restoran salah menyiapkan menu, kini sudah selesai dan Gwen mendapatkan penanganan terbaik langsung dari owner Saveur de Paris yang bertanggung jawab dan… tampan. Ya, Gwen jelas tidak bisa membantah bahwa selain Sean, Gwen juga mengagumi figure Xavier Laurent yang tidak kalah tampan dari Sean. Ia tinggi, dalam sekali lihat orang-orang juga tahu bahwa Xavier adalah pria blasteran dan kini Gwen tahu bahwa Xavier adalah keturunan Prancis, rambutnya hitam namun sedikit kecokelatan, kulitnya putih, hidungnya mancung, dan iris matanya berwarna cokelat terang. Kini iris mata cokelat terang itu tengah menatapnya saat mereka duduk berhadapan di meja outdoor restoran milik Xavier. Pria itu tersenyum ketika menatap Gwen, namun selalu senyuman jahil yang pria itu tampilkan ketika melihat Gwen dari awal bertemu. Gwen kemudian menyesap teh chamomile-nya yang masih hangat, berusaha bersikap biasa saja walaupun sebenarnya sedikit salah tingkah karena ditatap terus oleh Xavier. “Jadi, ada apa ingin berbicara denganku?” tanya Gwen. “Waktuku tidak banyak, karena setelah ini aku—” “Ada pekerjaan?” tebak Xavier. Gwen menaruh kembali cangkir teh-nya. “Jelas aku mau pulang dan harus naik transjakarta sebelum orang-orang pulang dari kantornya. Jadi aku harus pulang cepat agar bisa naik transjakarta yang lebih lega.” “Trans… Jakarta?” tanya Xavier. “Kamu naik itu? Aku kira kamu dijemput oleh supir pribadimu.” Gwen hampir saja menyemburkan tawanya, namun ia menahannya. “Mr. Xavier Laurent, tidak semua orang di Jakarta pulang bersama mobil mewah serta supir pribadinya seperti kamu dan Sean.” “Well, kehidupanku dan Sean memang tidak pernah susah dari kecil.” Xavier malah semakin menyombongkan dirinya, bermaksud bercanda dan Gwen tersenyum kecut. “Dan tidak akan susah sampai kamu tua. Orangtua kami mewariskan perusahaan-perusahaan mereka dan kami yang melanjutkannya.” “Oh, so you’re rich.” “Crazy rich.” Xavier mengangguk, semakin berlagak. Gwen sontak mendengkus geli. “How lucky you’re. Aku harap jika terlahir kembali aku bisa menjadi anak konglomerat seperti kalian dan… seperti Nadine Park.” Xavier terdiam sejenak, ia menatap Gwen cukup lama. Wanita itu kini menunduk sambil mengaduk-aduk gula batu di teh-nya yang sudah cair. Xavier tahu, Gwen pasti teringat dengan Sean. “Sebenarnya Nadine Park bukanlah orang asing. Kami berempat pasti pernah bertemu dengannya ketika acara perusahaan keluarga masing-masing.” Ucap Xavier. “Namun hanya Sean yang paling beruntung bisa memikat hati Nadine dan dapat menikahinya.” Gwen mendongak. “Berempat?” “Yap, aku, Sean, Vino, dan Shandy. Kamu mungkin mengenal Vino dan Shandy di bidang bisnis yang lain. Kamu akan tahu jika… kamu bersamaku.” Gwen sontak mengernyitkan dahinya. “Maksudmu?” “Well, ini yang sebenarnya ingin aku katakana padamu.” Xavier memajukan tubuhnya, ia mulai berbicara serius dengan Gwen. “Jika kamu ingin mencari pria kaya, bersamaku saja. Aku akan turuti semua yang kamu mau. Asalkan jangan Sean. Dia sahabatku, Nadine juga aku mengenalnya dengan baik, jangan jadi duri dalam pernikahan mereka berdua.” Gwen sudah membuka mulutnya, hendak membantah. Namun Xavier melanjutkan ucapannya tadi. “Aku tahu kejadian di vila Sean malam itu. Kamu tidur dengan Sean kan di malam pesta bujangnya? Aku tidak tahu apa yang kamu perbuat pada Sean sampai aku baru kali ini melihat Sean sangat tergila-gila dengan partner one night standnya.” Xavier tidak tahu, bahwa Gwen bukanlah wanita panggilan dan Gwen bahkan memberikan mahkota pertamanya pada Sean. Sahabatnya itu adalah pria yang pertama bercinta dengan Gwen, tidak ada pria lain sebelumnya yang menyentuh Gwen sejauh Sean. Xavier melanjutkan lagi. “Sean pria baik, dia jarang sekali bercinta dengan wanita sembarang. Jadi aku tahu kamu pasti—” Splash! Sebelum kata-kata itu berlanjut, Xavier berteriak ketika Gwen dengan cepat menuangkan teh ke cangkirnya dan menyiramkannya ke d**a Xavier. “Beruntungnya teh panas ini tidak mengenai wajah tampanmu.” Gwen bahkan membanting cangkir cantik asli dari Prancis itu. “Aku tidak tahu apa yang Sean katakana tentangku sampai kamu mempunyai pemikiran bahwa aku hanya menginginkan harta lelaki kaya seperti Sean. Asal kamu tahu, aku masih punya diriku sendiri untung bekerja dan menghidupi diriku sendiri! Aku tidak butuh cinta atau uang dari laki-laki sombong seperti kalian. Kamu mengerti Xavier?!” Belum sempat Xavier menjawab, Gwen kemudian membuka tas-nya, mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu rupiah dan melemparkannya dengan telak ke wajah tampan Xavier. “Untuk membayar teh dari Prancis yang rasanya asam ini! Seleramu benar-benar payah!” Gwen kemudian mengambil tas-nya, keluar dari restoran begitu saja. Sedangkan Xavier terpaku tak percaya. Xavier Laurent, pemilik restoran Michelin stars di Indonesia, pemilik mall ternama di Jakarta, disiram teh panas dan wajahnya dilempar uang di restorannya sendiri. “Tuan Xavier, astaga!” Pelayannya bahkan datang disaat semuanya sudah berantakan. “Biar saya ambilkan tissue untuk mengeringkan jas Anda.” “Tidak perlu.” Xavier langsung berdiri, meninggalkan meja yang berantakan itu dan kemudian ia tertawa miris. “Aku sekarang tahu kenapa Sean sampai tergila-gila dengan wanita itu. Pilihanmu memang tidak pernah salah Sean dan selera kita selalu sama.” *** Udara Jakarta sore itu hangat, langit mulai berwarna jingga keemasan ketika matahari perlahan turun di balik gedung-gedung tinggi. Gwen berdiri di halte TransJakarta yang bersebelahan dengan jalan protokol. Belum terlalu banyak orang, karena jam pulang kantor belum tiba. Suasana masih relatif lengang—beberapa bangku kosong di sisi kanan halte, hanya diisi dua orang mahasiswa dengan earphone, seorang ibu dengan belanjaan, dan seorang bapak yang membaca koran lusuh. Gwen merapatkan cardigan tipisnya yang membalut dress ketatnya dibagian dadaa, mencoba menenangkan diri. Sisa emosi dari pertemuannya dengan Xavier masih mengendap. Bayangan wajah angkuh pria itu, ucapannya tentang Sean, lalu tatapan penuh kepongahannya—semua berputar di kepalanya. Gwen menggertakkan giginya pelan, menahan desah frustrasi. Udara sore bercampur aroma khas jalanan Jakarta: sedikit debu, asap kendaraan, dan samar-samar wangi gorengan dari pedagang di luar halte. Lampu neon halte mulai menyala meski senja belum sepenuhnya hilang. Gwen melirik layar elektronik yang menampilkan jadwal kedatangan bus berikutnya. Masih lima menit lagi. Ia menurunkan tasnya dari bahu, memeluknya erat di depan d**a. Kepalanya bersandar ke tiang besi halte yang dingin. Tatapannya menerawang jauh ke arah jalanan yang perlahan padat. Mobil-mobil mulai berderet, klakson sesekali terdengar, tapi di dalam halte itu suasana masih bisa ditoleransi. Bus TransJakarta melaju di jalurnya sendiri, sesekali melewati halte tanpa berhenti, menyisakan angin kencang yang membuat rambut Gwen berkibar. Di dalam dirinya, ada kelelahan yang lebih dari sekadar fisik. Gwen merasa asing di antara orang-orang kaya raya seperti Sean, Nadine, atau Xavier. Ia seperti butiran debu di antara dunia gemerlap mereka. Namun justru saat berdiri di halte ini—di antara orang-orang biasa yang menunggu bus, di tengah suara mesin kota—ia merasa sedikit lebih tenang, lebih nyata, lebih dirinya sendiri. Sampai kemudian Gwen membuka tas-nya dan merasa kecewa. “Kenapa kamu bodoh sekali, Gwen? Kenapa jadi sok kaya dan melemparkan uang cashmu pada Xavier yang kaya rayaaaa?!” Gwen menunduk dalam, mengacak-acak rambutnya dan menggerutu—hampir menangis. Sampai kemudian gerakan tangannya yang sedang mengacak-acak rambut terhenti ketika ia merasa tangannya digenggam oleh seseorang. Gwen sontak mendongak, matanya terbelalak, siap menampar orang yang dengan lancang memegang tangannya. Namun orang itu malah tertawa, “rambutmu bisa botak jika kamu mengacak-acaknya sekasar itu, Gwen.” Bahu Gwen langsung merosot lemas, tangan dan kakinya bahkan langsung lemas. Tidak, tidak… ia harap ini semua cuma mimpi. Diantara sebelas jiwa lebih orang di Jakarta, kenapa Gwen harus bertemu lagi dengannya? --- Follow me on IG: segalakenangann
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN