[21+ part]
"Would you be… my mistress?”
Kata-kata dari Sean itu meluncur di antara jarak tipis bibir mereka. Gwen membeku, matanya bergetar, tubuhnya tertahan dalam dekap Sean. Bibir mereka nyaris bersentuhan—hanya tinggal sehelai rambut di antara mereka—dan di titik itu, dunia seakan lenyap, menyisakan hanya mereka berdua, dalam ruang kecil penuh kayu dan wangi lavender, diiringi hujan deras yang menjadi saksi.
Gwen sendiri masih terkurung dalam pelukan Sean. Ia tahu betapa salahnya momen ini—seorang pria yang baru saja menikah, suami dari wanita lain, memeluknya seolah Gwen adalah satu-satunya yang ia butuhkan. Tapi tubuhnya tidak bergerak menjauh. Jantungnya berdegup begitu keras hingga ia khawatir Sean bisa mendengarnya.
Jujur saja ia juga merindukan Sean, bahkan menginginkan berada dalam dekapan pria itu lagi. Hening panjang menggantung, diisi hanya dengan suara hujan deras dan denting samar dari tetesan air yang jatuh ke talang.
Gwen masih tak menjawab. Sampai kemudian tubuhnya justru bergerak sendiri—lengannya terangkat, melingkari leher Sean, menarik pria itu mendekat. Dan tanpa kata-kata, Gwen menempelkan bibirnya ke bibir Sean.
Ciuman itu pecah seketika, seolah memberi jawaban atau pertanyaan Sean tadi, ciuman penuh napsu yang tertahan. Bibir mereka bertemu, berawal dari lumatan kasar yang penuh napsu, lalu melunak, menyelam lebih dalam, mencari satu sama lain dengan rasa lapar yang tak bisa dipadamkan. Sean mendesah rendah di tenggorokannya, tangannya menekan pinggang Gwen yang ramping lebih erat, membuat tubuh seksi itu menempel ke dadaa bidangnya.
Gwen merasakan getir bercampur manis di ciuman itu. Ada perasaan bersalah—ia tahu pria ini milik wanita lain—tapi juga ada kebahagiaan yang menggedor dadanya, karena di detik itu, Sean menciumnya seolah Gwen adalah satu-satunya.
Lidah mereka bertemu, menari dalam ritme yang liar dan panas. Gwen hampir tak bisa bernapas, tapi ia tidak ingin berhenti. Tangannya mengepal di belakang leher Sean, menarik rambut hitamnya, memastikan pria itu tak pergi kemana-mana.
Di tengah ciuman itu, Gwen terengah, memisahkan bibirnya hanya untuk berbisik dengan suara gemetar, “Lalu… bagaimana dengan Nadine, Sean?”
Sean menatapnya, napasnya memburu, lalu kembali mendekat hingga bibir mereka nyaris bersentuhan lagi. “Dia tidak akan tahu,” katanya pendek, tegas, seolah sebuah janji dan dosa sekaligus.
“Lagipula aku juga tidak mencintainya.” Lanjut Sean. “Tidak akan pernah mencintainya sampai kapanpun.”
Gwen menutup matanya, hatinya perih oleh kalimat itu—namun tubuhnya malah semakin terbakar. Gwen juga menginginkan Sean dan ciuman kembali berlanjut, lebih intens, lebih dalam, seakan mereka mencoba menumpahkan semua hasrat yang tertahan selama ini.
Sean menggiring Gwen mundur hingga punggungnya menyentuh dinding kayu kamar, lalu mengangkatnya sedikit, membuat Gwen terpaksa melingkarkan kakinya di pinggangnya. Mereka berciuman dengan rakus, dengan napas terputus-putus, sementara hujan di luar seakan menjadi musik pengiring yang tak henti-hentinya.
Akhirnya Sean menurunkannya ke ranjang kecil dengan selimut bergaris rapi. Gwen terbaring di sana, wajahnya memerah, bibirnya bengkak karena ciuman panjang barusan. Sean menatapnya sejenak, matanya kelam penuh hasrat, ia masih berada diatas tubuh Gwen.
Tangannya menyentuh pipi Gwen, mengusap lembut, “aku akan memberikanmu apapun yang kamu inginkan,” katanya, suaranya rendah, bergetar di udara.
Gwen membuka mata, kaget dengan ucapannya. “Apa maksudmu?”
Sean menunduk, menatapnya serius. “Pindahlah dari sini. Aku akan belikan kamu penthouse baru. Tempat di mana kita bisa selalu bertemu, tanpa gangguan.”
Gwen membeku. Kata-kata itu bagai tamparan. Penthouse? Tawaran yang terdengar seperti mimpi—atau lebih tepatnya, perangkap berlapis emas. Matanya bergetar, antara marah, tersinggung, terkejut, sekaligus… tergoda.
“Sean…” Gwen berbisik, suaranya parau. “Kamu bicara seolah… aku ini hanya—”
Mistress. Namun Gwen tidak sampai untuk mengucapkan kata tersebut. Karena yang ia lakukan ini memang salah, bermesraan dengan suami orang, dan ia akan menjadi mistress Sean.
Ucapan Gwen terputus karena Sean menunduk lagi, menutup bibir Gwen dengan ciumannya sebelum kalimat itu selesai. Kali ini lebih lembut, namun tetap menyimpan bara. Tangannya menyusuri lengannya, kemudian tangan itu terus turun kebawah untuk melepas dress yang melekat pada tubuh seksinya.
Hingga kemudian pakaian itu tanggal, hanya menyisakkan Gwen dalam balutan pakaian dalamnya yang makin menampakkan tubuh indahnya. Sean menatapnya kagum—tatapan yang sama seperti pertama kali mereka bercinta di Bali. Sean kemudian menurunkan wajahnya, mengecup leher Gwen, membuat Gwen mengulum bibirnya sambil memejamkan mata ketika bibir Sean mengecup basah disana, gigi dan lidahnya turut bermain meninggalkan jejak di lehernya hingga ke belahan dadaanya.
Gwen sedikit menaikkan badannya ketika tangan Sean bergerak kebelakang, melepas kaitan bra yang menyangga kedua gunung kembarnya itu. Hingga Sean melepasnya, membuangnya begitu saja dan langsung meremas keduanya, dan mengulum puncaknya secara bergantian dengan cukup kuat.
“Ahh…” Gwen mendesah nikmat, tangannya mengusap rambut belakang Sean dan meremas-remasnya, sedikit menekan wajah Sean ke dadaanya.
Kuluman itu semakin nikmat, lidah Sean membelai puncaknya secara bergantian, bergerak memutari puncak dadaanya dan menyapunya. Kemudian ciuman itu turun semakin kebawah, bibir Sean mengecup perut rata Gwen, terus turun hingga Sean mengecup paha bagian dalamnya secara bergantian dan kepalanya berada diantara kedua kaki Gwen.
Gwen mengulum bibirnya ketika Sean mengarahkan Gwen untuk menekuk kedua kakinya dan membukanya lebih lebar lagi. Jantung Gwen berdegup lebih kencang dari biasanya, sampai rasanya ingin copot.
“Sean… apa yang mau kamu lakukan?” lirih Gwen, sedikit malu, sedikit merasa sungkan mengingat siapa diri Sean dan bisa-bisanya Gwen membuat seorang kepala CEO berada diantara kedua kakinya—seolah merendah untuk memujanya dan menginginkannya.
“Sssttt, kamu diam saja.” Sean meliriknya dan tersenyum menggoda. “Tugasmu hanya menikmatinya.”
“Ehm, ahh!” Gwen terkejut ketika bibir Sean mengecup inti tubuhnya dan merasakan lidah hangat Sean membelai dibawah sana.
Pipi Gwen bersemu merah, jelas ia malu. Jantungnya berdegup makin kencang. Gwen memejamkan matanya, bibirnya terus mendesah karena… nikmat. Ini yang pertama kalinya bagi Gwen, merasakan sensasi geli, nikmat, dan mengundang klimaksnya.
Sean sangat pandai untuk memuaskan wanita, bahkan ia melakukannya lama dibawah sana.
“Sean, aku rasa aku…” tangan Gwen meremas seprai, desakan kenikmatan itu semakin ingin keluar dari dalam dirinya. Hingga kemudian kenikmatan itu meledak, Gwen berteriak nikmat, tubuhnya mengejang dan tangan Sean terangkat keatas meremas salah satu gundukan dadaa Gwen dengan erat.
Napas Gwen memburu, berlarian kesana kemari, kepalanya pening, dan tubuhnya sedikit lemas.
Sean kemudian berdiri, Gwen mengulum bibir ketika melihat tubuh atletis Sean dan ketampanan Sean bahkan ketika pria itu melepas sabuk dan menurunkan celananya. Sean kemudian menarik tubuh Gwen, menyuruh Gwen juga berdiri dan merubah posisi—ganti Sean yang berbaring di ranjang.
“Puaskan aku sekarang.” Ucap Sean dan Gwen kemudian kembali naik ke ranjang, berada diatas tubuh Sean, lalu menurunkan tubuhnya perlahan. “Gwen, aahh!”
Dan di sanalah mereka tenggelam. Desah demi desah memenuhi kamar kos Gwen yang kecil ini, mereka benar-benar melepas kerinduan dan Sean merasa Gwen benar-benar wanita yang ia butuhkan.
---
Follow me on IG: segalakenangann