Ciuman mereka semakin dalam, mengalir deras seperti arus sungai yang tak terbendung. Sean menekan tubuh Gwen lebih erat ke sofa, tangannya menelusuri punggungnya, membuat Gwen kehilangan kendali. Bibir mereka bersatu dalam irama yang tak teratur, penuh desahan, penuh kerinduan. Gwen menutup mata, merasakan dirinya terseret semakin jauh ke dalam jurang yang sama sekali tak ia rencanakan. Jantungnya berpacu kencang, tak hanya karena gairah, tapi juga karena rasa bersalah yang menghantui. Namun setiap kali ia ingin mundur, Sean menariknya kembali dengan ciuman lain, lebih menuntut, lebih menguasai. Tiba-tiba— Tok! Tok! Tok! Ketukan keras menggema di pintu. Gwen terlonjak kecil, napasnya tertahan. Sean berhenti mencium, wajahnya berubah kesal, rahangnya menegang. Ketukan itu kembali terde

