Suara notifikasi ponsel itu terdengar samar di antara tumpukan kertas desain di meja ruang kerja kecil Gwen. Cahaya sore Jakarta yang merembes lewat jendela kaca besar hanya menyisakan rona keemasan yang hangat, memantul di kulit tangannya yang lelah menulis sketsa demi sketsa. Tapi begitu melihat nama Xavier di layar, hatinya langsung mengencang. Ia mengangkat telepon itu perlahan. “Gwen,” suara Xavier di seberang sana terdengar berat, nyaris tanpa jeda napas. “Ya?” jawab Gwen pelan, mencoba terdengar tenang. “Kamu di apartemen?” “Di ruang kerja. Kenapa?” “Kita perlu bicara,” ucap Xavier dengan nada yang tidak biasa — bukan nada santai seperti biasanya, tapi tegas, nyaris seperti menahan sesuatu. “Sekarang.” Lima belas menit kemudian, pintu ruang kerja Gwen terbuka. Xavier masuk ta

