Chapter 3. Pertama dan Terakhir

1057 Kata
"Aduh ... pusing banget kepalaku," gumam Syakira menggeliat di atas ranjang. Mata Syakira terbuka perlahan, dan menatap sekeliling kamar. Pandangannya tampak buram menyapu ruangan yang tak dikenalnya. Sunyi, hanya terdengar suara detak jam dinding yang terdengar samar. Dia memegangi pelipis, mencoba mengingat kembali kejadian semalam. "Aku di mana, ya?" gumamnya pelan lalu mencoba untuk duduk. Namun, tubuhnya menegang saat sekujur kulit merasakan sejuknya udara yang menyentuh langsung tanpa lapisan kain. Dengan cepat Syakira menarik selimut, menyelubungi diri sambil menatap ke bawah tubuhnya sendiri. Dia benar-benar polos, tanpa sehelai benang pun. "Apa aku ... dan—" Syakira tak bisa melanjutkan kata-katanya sendiri. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena rasa takut, tapi karena bingung. Syakira menggigit bibir bawahnya, mencoba merangkai kembali kejadian malam itu. Dia mengingat rasa panas dan geli, lalu samar-samar dia juga bisa mengingat kegiatan panasnya bersama Angkasa. "Astaga! Apa yang aku lakukan semalam?" Syakira menjambak rambutnya sendiri karena merasa frustasi. "Yang salah aku, aku yang ... minta Abang buat nyentuh aku, jadinya aku ... aku ... kehilangan kesucianku yang sudah susah payah aku jaga." Syakira memeluk lutut, tubuhnya meringkuk di bawah selimut seperti anak kecil yang ketakutan. Dadanya naik turun tak beraturan, seolah napasnya tak sanggup lagi mengikuti beratnya kenyataan. Air mata mengalir di pipinya, dia sangat menyesal. Rasa malu, kecewa, sakit dan jijik pada dirinya sendiri bercampur menjadi satu. “Kenapa semalam aku harus pergi ke klub? Kenapa semalam aku enggak pulang saja? Kamu memang bodoh, Syakira!" Namun di tengah kekacauan pikirannya, pandangan Syakira menangkap sesuatu di meja. Ada secarik kertas bertuliskan tangan. Di sampingnya ada segelas air putih dan obat pengar. Perlahan, dengan tangan gemetar, dia meraih kertas itu. "Maaf aku harus pergi pagi-pagi. Tolong jangan berpikir macam-macam, semalam aku tidak menyentuhmu seperti yang kamu pikirkan. Semalam aku hanya membantu memuaskanmu tapi, aku tidak mengambil kesucianmu. Minumlah obat dan makan sarapan yang sudah aku siapkan, lalu pulang ke rumah!" Syakira terpaku, bibirnya bergetar, menahan emosi yang meledak dalam d**a. "Jadi ... aku masih suci? Lalu, apa yang Abang lakukan padaku semalam? Aku ingat kalau—" Kepala Syakira menggeleng cepat lalu memukul bibirnya sendiri. "Nggak, stop! Jangan pikirin hal yang menjijikan itu lagi! Sekarang minum obat, sarapan lalu pulanglah ke rumah! Ingat, Syakira, kamu ada kelas siang nanti!" Syakira meminum obat pengar, lalu beranjak dari ranjang dan pergi ke kamar mandi. Dia membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dengan tergesa-gesa dan setelah itu dia membuka almari milik Angkasa, memilih baju yang bisa dia kenakan, lalu keluar dari kamar, kemudian dia memakan sarapannya yang sudah disiapkan Angkasa di meja makan. "Masakan Abang enak banget," gumam Syakira di sela-sela kegiatan mengunyahnya. Dalam sekejap, makanan di piring bersih tak tersisa. "Aku cuci piring dulu habis itu baru pulang," ucap Syakira riang, lalu berdiri dan berjalan ke arah wastafel. Tiba-tiba terdengar nada dering dari ponsel Syakira yang membuat dia terlonjak kecil. Gadis itu buru-buru mengeringkan tangannya dengan lap di samping wastafel, lalu melangkah cepat menyusuri ruangan sambil memfokuskan indra pendengar dan indra penglihatannya. “Mana tasku?” gumamnya panik. Begitu pandangan Syakira menangkap tas jinjing berwarna hitam miliknya tergeletak di meja ruang tamu, dia langsung bergegas ke sana dan mengambil ponsel. Namun, jantungnya langsung mencelos saat melihat nama yang tertera di layar. "Mama ... ya ampun ...," desis Syakira dan tubuhnya menegang seketika. Dengan napas tertahan, gadis itu menggeser layar dan menempelkan ponsel ke telinga. “Halo, Ma?" “Syakira, kamu di mana sekarang?! Dari semalam Mama telepon tapi enggak kamu angkat! Terus kenapa kamu semalam enggak pulang pulang ke rumah?!” Suara di seberang sana terdengar galau, antara panik dan marah. "Maaf, Ma. Habis nganterin cake dari apartemen Abang, aku pergi ke rumah temen buat belajar bareng, eh malah hujan deras, jadinya ya aku nginep di sana. Itupun aku ketiduran pas kita lagi kerjain tugas." “Kamu ini bikin Mama khawatir aja! Untung sekarang kamu udah angkat telpon dari Mama." Terdengar hembusan napas lega. "Kamu beneran enggak kenapa-kenapa, kan, Ra?” “Nggak, Ma. Aku baik-baik aja, sumpah. Ini juga baru selesai sarapan, sebentar lagi aku mau pulang terus ke kampus karena ada kelas siang.” “Ya udah, yang penting kamu hati-hati di jalan. Jangan ngilang kayak yang semalam lagi, ya! Pokoknya ke manapun kamu pergi, kamu tetap harus ngabarin Mama!" “Iya, Ma. Sekali lagi aku minta maaf. Bye, Ma. Aku pesan taxi online dulu." Setelah menutup panggilan, Syakira duduk di ujung sofa sambil menatap layar ponsel yang perlahan meredup. “Nyaris aja. Aku baru kali ini berbohong sama Mama. Semoga ini menjadi yang pertama dan terakhir," gumam Syakira menghela napas panjang sambil memejamkan mata. "Oke, sekarang aku harus pulang!" *** "Gawat, aku pasti terlambat," gumam Syakira panik sambil cepat-cepat memarkirkan sepeda motornya di halaman kampus. Dia bahkan tak sempat merapikan rambut atau mengecek wajahnya di kaca spion. Setelah memastikan kunci motornya aman, Syakira berlari kecil menuju gedung fakultas. Tangga demi tangga dilaluinya dengan napas memburu. Syakira melirik jam tangannya. "Sial, udah telat 5 menit. Pasti Profesor Hartono bakal kasih aku hukuman nanti. Tapi, nggak apa-apa deh, yang penting masih diizinin masuk ke kelas beliau." Setelah sampai di depan kelas, dia menarik napas dalam-dalam dan memejamkan mata. "Oke, Syakira! Ayo masuk!" Dengan jantung berdebar dia membuka pintu kelas perlahan dan seketika semua orang yang ada di dalam kelas langsung menoleh ke arahnya. Syakira melihat ke arah tempat duduk para mahasiswa terlebih dahulu, seketika tubuhnya kaku saat melihat expresi wajah teman-temannya yang terlihat tegang. Dia berpikir pasti Profesor Hartono sedang marah, karena beliau memang terkenal dengan sebutan dosen killer. “Maaf, Profesor, saya terlambat karena tadi sepeda motor saya macet," ucap Syakira sopan, sambil menunduk malu. Tapi saat Syakira mengangkat kepala untuk melihat ke arah meja dosen, matanya langsung membelalak dengan mulut yang sedikit terbuka. "Nggak mungkin!" batinnya menjerit. Dosen di hadapannya bukanlah Profesor Hartono, bukan sosok tua berkacamata dengan rambut memutih dan suara serak khas dosen sepuh. Yang dia lihat adalah pria muda dengan dengan kemeja putih rapi, rambut hitam tersisir elegan, dan wajah tampan nan tegas, yang sangat dikenali oleh mata Syakira. "Abang?" gumamnya pelan tanpa suara. Seisi kelas diam. Tapi Syakira justru merasakan dunia di sekitarnya seperti berputar pelan. "Silahkan duduk!" perintah Angkasa dengan suara yang terdengar tenang, dingin, dan tegas. Matanya menatap lurus pada Syakira. Syakira terpaku, tangannya yang memegang buku gemetar, "Kenapa Abang jadi dosen? Kenapa Abang harus mengajar di kelasku? Apa sekarang aku lagi bermimpi?" batinnya sambil mengigit bibir bawah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN