"Silahkan duduk!" Angkasa mengulangi perintahnya lagi dan kali ini suaranya terdengar lebih tegas.
Syakira refleks mengangguk cepat dan segera melangkah ke kursinya, dia duduk dengan gugup di bangku baris tengah. Detak jantungnya tak kunjung tenang, sementara pikirannya terus bergemuruh tak karuan.
"Jadi ini nyata? Bang Angkasa jadi dosenku sekarang?" batin Syakira tersenyum tipis. "Syukurlah, aku jadi bisa lebih dekat sama Abang nantinya."
Angkasa kembali menatap seluruh ruangan. "Baik, kita mulai pertemuan hari ini. Saya Angkasa Putra, dosen pengganti untuk mata kuliah ekonomi bisnis. Mulai hari ini dan seterusnya, saya akan mengambil alih kelas Profesor Hartono."
Beberapa mahasiswa tampak berbisik antusias, terutama para mahasiswi. Wajah rupawan Angkasa dan karismanya jelas membuat sebagian besar dari mereka langsung jatuh hati.
"Kayaknya Abang bakal jadi dosen favorit di kampus ini deh," batin Syakira mendengus kesal. "Kan jadi banyak sainganku."
Angkasa melanjutkan penjelasan tentang silabus dan harapan dalam perkuliahan. Sesekali, matanya terarah pada Syakira tapi hanya sekilas dan tanpa ekspresi berarti. Seolah mereka tidak memiliki hubungan apapun dan kejadian panas semalam tidak pernah terjadi.
Begitu kelas selesai, Angkasa melangkah cepat keluar ruangan tanpa menoleh lagi. Syakira hanya bisa menatap punggungnya dari jauh, tubuh gadis itu terasa kaku, tapi pikirannya sangat berisik.
“Aku harus bicara empat mata sama Abang,” gumamnya pelan. "Tentang kejadian di antara kita semalam."
Dengan langkah ringan tapi sigap, Syakira keluar dari kelas, lalu mengendap-ngendap mengikuti jejak Angkasa. Dia sempat bersembunyi di balik pilar saat pria itu sempat menoleh ke belakang. Setelah memastikan tak terlihat, dia kembali membuntuti Angkasa, hingga pria itu masuk ke sebuah ruangan dengan plakat kecil bertuliskan “Ruang Dosen Ekonomi Bisnis.”
Syakira berdiri menunggu di depan ruangan itu beberapa saat. Detik demi detik berlalu, jantungnya berdetak semakin tak karuan. Lalu pada akhirnya dia memberanikan diri untuk masuk, setelah memeriksa sekeliling, lalu dengan hati-hati dia membuka pintu ruangan yang tak terkunci itu dan melangkah masuk.
"Halo, Abang," sapa Syakira menutup pelan pintu di belakangnya.
Angkasa yang sedang membuka laptop di meja kerjanya mendongak karena terkejut. “Ngapain kamu masuk ke sini?!” serunya berdiri cepat.
Syakira berjalan mendekati meja dosen. “Kita harus bicara empat mata, Bang. Tentang kejadian semalam," jawabnya dengan wajah serius.
Angkasa menatapnya lama, lalu menghembuskan napas kasar sambil menyandarkan tubuh ke meja. “Kamu nggak sopan sama dosenmu! Kamu tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu, lalu kamu juga bicara tidak formal padaku.”
"Aku ke sini sebagai Adekmu, Bang. Bukan sebagai mahasiswimu!" balas Syakira dengan nada galak. "Kita perlu bicara empat mata!"
"Sudah kubilang aku bukan Abangmu dan kamu bukan Adekmu." Tangan Angkasa menunjuk ke arah pintu. "Sekarang, cepat kamu keluar dari sini!"
"Abang ngusir aku?" Tangan Syakira mengepal erat, merasa sangat kesal.
"Iya!" balas Angkasa cepat. "Kamu enggak tuli, kan? Sekarang cepat pergi dari sini!"
Satu sudut bibir Syakira tertarik ke atas. "Aku enggak mau pergi. Aku mau bicara empat mata sama Abang terkait kejadian semalam."
Angkasa memejamkan mata sejenak, berusaha berpikir cepat dan akhirnya berkata, "Oke, kita akan bicara. Tapi jangan di sini."
"Terus kita bicara di mana?" tanya Syakira dengan mata berbinar-binar karena merasa senang akhirnya Angkasa mau berbicara dengannya.
"Di ...." Angkasa menghela napas panjang sebelum melanjutkan kata-katanya. "Di rumah."
"Abang serius 'kan?" Syakira refleks melompat-lompat kecil. "Pasti Papa dan Mama seneng banget. Kalau gitu aku mau pulang sekarang terus masak banyak makanan yang enak-enak sama Mama buat Abang."
"Iya." Angkasa kembali duduk, expresi wajahnya tampak datar dan dingin. "Sekarang pergilah dari sini dan pulanglah!"
Syakira mengangguk dengan senyum lebar di wajah cantiknya. "Sampai ketemu nanti malam, Bang. Pokoknya Abang harus datang!"
Gadis itu berbalik dan melangkah keluar dari ruang dosen dengan hati berbunga-bunga. Sepanjang lorong fakultas, senyum di wajah cantiknya tak pernah pudar. Langkahnya terasa ringan, seperti menari dengan matanya berbinar penuh harap.
“Abang mau datang ke rumah,” gumamnya pelan, seolah mengulang kalimat itu agar lebih nyata. “Akhirnya kita bisa baikan lagi kayak dulu.”
Tapi di balik pintu ruangan yang telah tertutup, Angkasa masih duduk kaku di kursi. Tangan pria itu mengepal di atas meja dengan rahang mengeras. Tatapannya tampak kosong menembus dinding, tapi pikirannya berisik, sangat berisik.
"Apa yang harus aku lakukan saat bertemu dengan ... pria tua b******n itu dan ... w************n itu?" Angkasa mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku enggak akan pernah memaafkan mereka berdua."
Angkasa kembali menatap layar laptop dan mencoba fokus pada pekerjaannya. Tanpa disadari, waktu berlalu begitu cepat hingga jam kerja pun usai. Dia menutup laptop dengan napas berat, lalu bersandar di kursi, menatap langit-langit ruangan dengan pandangan kosong. Hatinya masih digelayuti kegelisahan. Undangan Syakira tadi siang terus terngiang di telinganya.
“Apa aku harus datang?” gumamnya lirih.
Suara langkah kaki di lorong membuyarkan lamunannya. Angkasa berdiri perlahan, merapikan map dan memakai jaketnya. Saat keluar dari ruang dosen, matahari hampir terbenam dan angin sore menyambutnya. Dia menatap langit sejenak, lalu bergumam, “Hanya makan malam, kamu harus bisa mengendalikan dirimu sebentar saja nanti!"
Angkasa pulang ke apartemennya terlebih dahulu untuk mandi dan berganti pakaian. Setelah itu dia kembali lagi menjalankan mobilnya ke tempat yang seharusnya tidak dia datangi lagi. Waktu seakan berjalan begitu lambat, bayangan tentang masa lalunya berputar-putar di otaknya yang membuat dia sesekali menghela napas panjang.
Saat sampai di rumah besar berwarna putih, Angkasa terdiam sejenak memandangi bangunan itu. "Bunda ... andai kamu masih hidup." Matanya berkaca-kaca menahan tangis.
Lalu tampak seorang gadis yang memakai dress kuning tanpa lengan datang menghampiri mobil Angkasa. "Abang, cepetan keluar!" perintahnya mengetuk-ngetuk pintu mobil itu.
Angkasa tersentak, dia tersadar dari lamunannya lalu keluar dari mobil. "Kenapa kamu pake nyusul ke sini sih? Aku bisa masuk sendiri."
"Enggak apa-apa." Syakira meringis memperlihatkan giginya yang bergingsul lalu mengandeng tangan Angkasa dan menariknya. "Ayo cepat masuk, Abang. Mereka semua udah nungguin Abang."
Jantung Angkasa berdebar-debar saat masuk ke rumah tempat dia dibesarkan dulu. Bagaimana tidak, sudah 10 tahun dia tidak melangkahkan kaki di rumah ini. Tanpa sadar, dia mengingat tangan Syakira lebih erat, hal itu membuat Syakira menoleh ke arahnya dan tersenyum manis.
"Rumah ini masih sama kok, enggak ada yang berubah," ucap Syakira lembut. "Papa sengaja mempertahankan semuanya agar pas kembali lagi ke rumah ini Abang enggak kaget."
Angkasa baru mau membuka mulut untuk membalas ucapan Syakira, tapi terdengar suara teriakan dua anak kecil yang membuatnya langsung menoleh ke arah tangga. Mata pria itu membelalak lebar saat melihat dua anak kecil itu berlari ke arahnya dengan expresi wajah penasaran.
"Kak Syakila, Kakak itu siapa?"
"Apa dia pacarnya Kak Syakila?"