Chapter 5. Dua Rasa Berbeda

1198 Kata
"Dia Abang kalian, Elia, Elio," jawab seorang pria paruh baya yang sedang berjalan menuruni tangga. "Bang Angkasa yang sering Kak Syakira ceritakan sama kalian." Angkasa terpaku, napasnya tercekat, matanya membulat menatap kedua anak kecil itu, kembar tidak identik, berumur sekitar lima tahun. Dia baru tahu hari ini bahwa dia memiliki dua adik sedarah, dari wanita yang dulu menjadi alasan kehancuran keluarganya. Sementara Elia dan Elio menatapnya polos, tanpa beban masa lalu yang menghantui. "Jadi... mereka adikku?" gumam Angkasa pelan, hampir tak terdengar. Syakira mengangguk pelan. "Iya, Bang. Namanya Elia dan Elio. Kata orang-orang Elia wajahnya mirip aku terus kalau Elio wajahnya mirip Abang." "Aku Elio." Laki-laki itu menunjukkan tangannya ke atas dan melompat. "Aku Elia," imbuh gadis cilik tersenyum manis mendongak menatap Angkasa. Angkasa berjongkok perlahan, masih merasa antara percaya dan tidak. Tangannya sempat ragu untuk menjangkau, akan tetapi begitu melihat tatapan tulus Elia dan Elio, hatinya melunak. “Halo, Elio, Elia …," panggilnya pelan, seolah sedang mengeja nama yang masih asing tapi terasa dekat. “Jadi kalian berdua ini benar-benar adikku, ya?” "Iya, Abang!" jawab Elio lantang sambil tertawa kecil, lalu tanpa ragu memeluk leher Angkasa. "Aku adek perempuan Abang. Seperti Kak Syakila." Elia pun ikut menyusul, memeluk dari sisi lain bahkan mencuri ciuman dari pipi Angkasa. Pelukan dua bocah mungil itu menghantam sisi rapuh di dalam diri Angkasa yang selama ini dia bentengi dengan kemarahan dan dendam. Matanya mulai berkaca-kaca, tapi dia cepat-cepat mengedipkannya, karena tidak ingin terlihat lemah. "Kalian lucu banget," bisik Angkasa dengan suara parau. "Maaf ya ... Abang baru datang sekarang." "Enggak apa-apa, kata Kak Syakila, kemarin Abang lagi sekolah jauh," ujar Elia polos. "Iya," lanjut Elio. "Katanya harus naik pesawat lama banget dan baru sampai." "Iya, dan sekarang Abang udah pulang," timpal Syakira lembut, menatap adegan itu dengan mata berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya sejak lama, hati Angkasa terasa damai. "Ternyata aku Abang yang egois. Syakira pasti kelelahan mengasuh mereka berdua," batinnya sambil terus mengusap puncak kepala Elio dan Elia bergantian. Dirga–ayah Angkasa berjalan mendekati mereka. "Apa kabar, Angkasa. Kamu terlihat semakin tampan dan gagah, Ayah bangga padamu, Nak. Kata Syakira kamu jadi dosennya dia, ya?" Angkasa berdiri, melepaskan pelukan Elia dan Elio dengan lembut. Expresi wajahnya kembali datar, sorot matanya terasa dingin dan penuh amarah menatap pria yang sudah sepuluh tahun tidak dia temui. Suasana yang tadinya hangat seketika berubah tegang. Ada ribuan kata yang ingin Angkasa lontarkan, tapi tertahan di ujung lidah. Syakira yang peka pada perubahan itu segera menggandeng tangan Elia dan Elio. "Ayo, kita ke dapur. Kakak mau kasih kalian es krim," ucapnya lembut, mencoba mengalihkan perhatian adik-adiknya dari ketegangan di ruangan itu. Elia dan Elio menurut, meski sempat menoleh ke arah Angkasa dan Dirga dengan tatapan bingung. "Jangan panggil aku Nak!" ucap Angkasa dengan suara datar, nyaris tanpa emosi. "Dan jangan berpikir seolah-olah kita baik-baik saja." Dirga menghela napas pelan, tapi tetap tersenyum—senyum penuh penyesalan. "Ayah paham kamu masih marah. Tapi kamu tetap anak Ayah, Angkasa. Ayo kita buka lembaran baru, Elia dan Elio mungkin butuh sosok Abang dari dirimu." "Mudah sekali kamu berkata seperti itu." Angkasa mengepalkan tangannya erat-erat. "Bundaku ... Bundaku mengakhiri hidupnya karena kamu memilih wanita lain." Dirga menelan ludah, menahan emosi yang menyeruak di dadanya. “Ayah tidak pernah lupa akan hal itu, Angkasa. Ayah juga merasa bersalah. Tapi sekarang ... tolong beri kesempatan padaku untuk memperbaiki semuanya. Ayah mohon padamu kembalilah tinggal di sini.” Angkasa tak tahu harus menjawab apa, dia hanya menatap tajam ke arah Dirga. Rasa sesak dan panas di dadanya menekan keras. Sebenernya dia ingin marah dan berteriak, tapi dia ingat di rumah ini ada Elia dan Elio, sosok dua malaikat kecil yang baru saja menghangatkan hatinya. Hingga akhirnya Syakira datang lagi menghampiri kedua pria itu dan berkata, “Makan malam sudah siap. Papa, Abang, ayo kita ke meja makan!" "Syukurlah, Syakira datang tepat waktu," batin Angkasa menghela napas panjang berulang kali untuk mengatur emosinya, lalu melangkah pelan menuju ruang makan. Elia dan Elio yang sudah duduk tersenyum riang saat melihat Angkasa mendekat, mereka kompak berseru, “Abang Angkasa, ayo duduk di sini!” Sambil menunjuk kursi kosong di antara mereka. "Iya, terimakasih," jawab Angkasa mengabulkan permintaan mereka. Syakira terkekeh pelan dari seberang meja. "Wah, posisi Kakak sepertinya akan tergeser sama Abang Angkasa." "Enggak lah, Kak." Elia menggeleng. "Nanti Kak Syakila bisa tetap main boneka dan masak-masakan sama aku, kita kan sama-sama cewek. Kalau Elio biar main robot-robotan dan mobil-mobilan sama Abang." Elio mengangguk setuju menatap Angkasa. "Nanti Abang ke kamarku ya! Kita mainin mobil dan robot punyaku. Pasti akan lebih seru main sama Abang dibandingkan main sama Kak Syakila." "Iya." Angkasa tersenyum tipis dan mengusap puncak kepala Elio. "Setelah makan malam kita main di kamarmu." Kemudian, seorang wanita muncul dari arah dapur membawa semangkuk besar sup. Penampilannya tampak elegan dengan senyum tipis dan mencoba terlihat hangat di hadapan Angkasa. Hal itu membuat Angkasa menahan napas. Itulah wanita yang dulu, yang membuat sang ibu memilih mengakhiri hidup secara tragis. Wajah wanita itu masih sama seperti sepuluh tahun lalu, hanya kini tampak lebih dewasa dan kalem. Santi–ibu kandung Syakira meletakkan mangkuk di tengah meja. “Selamat datang kembali di rumah ini, Angkasa. Sekarang kamu terlihat semakin tampan seperti Ayahmu sewaktu masih muda." Angkasa hanya menatap wajah Santi dengan expresi dingin dan pandangan mata dengan sorot penuh kebencian. Perutnya terasa mual. Dia tak sudi membalas sapaan dari Santi. Tangan pria itu mencengkeram sisi meja kuat-kuat agar tidak memaki Santi dan kehilangan kendali. Tapi ketika Elio menyodorkan sendok ke arahnya sambil berkata, “Ayo kita makan bareng, Bang! Biar nanti kita bisa main ke kamarku!" Hati Angkasa melunak, dia mengangguk singkat dan menoleh ke arah Elio sambil tersenyum tipis. “Iya. Ayo kita makan.” Mereka pun mulai makan bersama. Suasana makan malam terasa aneh—hangat karena Elia dan Elio terus berceloteh riang, tapi tetap terasa tegang karena ada luka yang belum sembuh sepenuhnya. Angkasa makan dalam diam, hanya sesekali merespons candaan Elia dan Elio. Sesekali, Santi mencoba mengajak Angkasa berbicara, tapi Angkasa hanya menanggapi dengan anggukan kaku. Dia tidak ingin membuat keributan, tidak malam ini dan bukan di depan adik-adik kecilnya yang masih polos itu. Setelah selesai makan malam, Angkasa buru-buru pergi ke toilet dengan alasan ingin cuci tangan. Tapi sebenarnya dia hanya butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri. Bayangan masa lalu yang kelam dan suara tawa renyah dari Elio dan Elia bercampur dan berputar menjadi satu di kepala, membuat dadanya terasa sesak. Di balik pintu toilet, Angkasa menatap bayangan dirinya di cermin. “Tenang, Angkasa!” Setelah menarik napas panjang dan membasuh wajahnya dengan air dingin, dia pun keluar. Namun, baru saja melangkah beberapa meter, tiba-tiba tangan Syakira menarik pergelangan tangannya dan berbisik pelan, “Cepet ikutin aku, Abang! Sebelum Elio dan Elia rebut kamu dari aku." Angkasa sempat menolak, tapi melihat tatapan mata Syakira yang tampak serius. Dia pun akhirnya membiarkan tubuhnya dituntun hingga masuk ke kamar gadis itu. Begitu pintu tertutup dan terkunci, suasana di antara mereka langsung terasa tegang oleh sesuatu yang belum terucap. "Aku mau tanya tentang isi surat yang Abang berikan padaku tadi pagi," ucap Syakira to the point. "Tentang kata-kata memuaskanku tanpa mengambil kesucianku. Bisa Abang jelaskan padaku tentang apa yang Abang lakukan padaku kemarin malam?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN