Angkasa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Soal itu lebih baik kamu enggak usah tahu!"
"Tapi aku pengen tahu!" balas Syakira cepat. "Pokoknya Abang harus kasih tahu aku!"
Angkasa menghela napas panjang sebelum berkata, "Apa kamu pernah pacaran?"
Syakira mengerutkan kening, agak bingung dengan arah pertanyaannya. "Kok Abang malah tanya itu ke aku, sih? Kan aku yang tanya duluan ke Abang."
"Jawab dulu pertanyaanku, Syakira!" Nada suara Angkasa terdengar tegas. "Kamu udah pernah pacaran, apa belum?"
Syakira menggeleng cepat. "Aku enggak boleh pacaran sama Mama. Jadi aku belum pernah pacaran."
"Owh, pantas saja." Wajah Angkasa terlihat memerah. "Sudahlah, lebih baik kamu enggak perlu tahu soal ini."
"Kasih tahu aku, Abang." Tangan Syakira membentang lebar. "Kalau Abang enggak kasih tahu aku, Abang enggak boleh keluar dari kamarku!"
Hal itu membuat Angkasa terkekeh pelan. "Kamu pengen ngulangin kejadian semalam sama aku, ya? Apa kamu jadi ketagihan dengan ... sentuhan jari dan lidahku?"
"Apa?" pekik Syakira dengan mata membelalak lebar dan pikirannya langsung mengingat kejadian malam panas bersama Angkasa kemarin.
"Astaga." Wajah Syakira menyerah semerah tomat. "Benar-benar memalukan," lanjutnya menutupi wajah dengan kedua telapak tangannya.
Angkasa berjalan mendekati Syakira lalu mengacak-acak rambutnya dengan gemas. "Makanya tadi aku bilang kamu enggak perlu tahu, Syakira, karena itu hal yang memalukan."
Syakira membuka tangannya lalu menatap Angkasa. "Abang sering lakuin itu ke pacar Abang pas tinggal di London, ya?"
“Sok tahu kamu!” Angkasa menyentil kening Syakira pelan dengan ekspresi setengah sebal, setengah gemas. “Kamu pikir Abang tipe yang suka main-main sama cewek di luar sana?”
"Ya semalam Abang kayaknya jago banget. Aku pikir Abang masukin milik Abang ke milikku sampai-sampai aku ...." Syakira mengigit bibir bawahnya sebelum melanjutkan, "Aku puas."
Angkasa menelan ludahnya, lalu memalingkan pandangannya dari wajah Syakira. "Sudahlah, lebih baik kamu lupakan kejadian semalam! Anggap saja kejadian itu tak pernah terjadi."
Lalu Angkasa berjalan mendekati pintu, tapi Syakira buru-buru menarik tangannya, membuat langkah pria itu terhenti di depan pintu. Dengan jantung berdegup kencang, gadis itu berdiri di hadapannya, menatap dalam-dalam mata yang selama ini diam-diam mengisi ruang hatinya.
“Aku nggak bisa pura-pura lupa, Bang,” bisiknya lirih. “Karena sudah sejak lama aku mencintai Abang.”
Belum sempat Angkasa membalas, Syakira sudah berjinjit perlahan dan menanggkup pipinya dengan lembut. Dan dalam satu gerakan nekat, gadis itu mengecup bibir Angkasa, lalu melumatnya penuh rasa. Bukan sekadar ciuman spontan, tapi pengakuan diam-diam atas rasa yang telah dia pendam bertahun-tahun. Syakira memejamkan mata, seakan ingin menahan waktu, menyalurkan perasaannya lewat sentuhan lembut bibirnya.
Angkasa sempat terpaku, tubuhnya menegang, pikirannya bercampur aduk antara logika dan perasaan. Tapi rasa manis, hangat dan nyaman dari ciuman Syakira membuat pertahanannya menjadi goyah. Tanpa sadar, tangan Angkasa terangkat dan bertumpu di pinggang gadis itu serta membalas lumatan yang dia terima dengan lebih dalam dan menuntut. Namun, beberapa detik kemudian, Angkasa melepaskan panggutannya.
“Syakira, kita nggak bisa seperti ini,” ucapnya pelan dengan suara terdengar berat. “Hubungan kita terlalu rumit, kamu adik tiri dan mahasiawiku."
“Aku nggak peduli seberapa rumit hubungan kita, Bang," balas Syakira cepat. "Yang aku tahu ... aku mencintai Abang."
Angkasa diam, dia memilih keluar dari kamar Syakira, tanpa menoleh lagi. Pintu kamar tertutup pelan di belakangnya, menyisakan Syakira yang berdiri mematung dengan d**a yang terasa sesak. Gadis itu hanya bisa menatap pintu yang kini tertutup rapat. Air matanya mengambang, tapi tidak sampai jatuh. Dia menggigit bibir bawahnya, menahan emosi yang meluap di d**a.
"Kenapa semua jadi terasa rumit? Kita kan enggak sedarah, Papa dan Mama kita beda," gumamnya lirih. "Padahal dari dulu di hati aku cuma ada nama Abang dan aku setia menantinya pulang. Aku pikir setelah kejadian kemarin malam aku dan Abang bisa bersatu, tapi ternyata aku salah."
Angkasa melangkah keluar dari rumah dengan langkah cepat, mencoba mengusir perasaan gelisah yang terus mengganggu pikirannya. Kepalanya berdenyut, seakan segala pertanyaan dan kebingungannya tercampur jadi satu. Dia tahu apa yang baru saja terjadi dengan Syakira tidaklah benar, tetapi di saat yang sama, dia merasa terperangkap dalam situasi yang semakin sulit.
Di apartemennya yang sepi dan dingin, Angkasa menjatuhkan tubuh ke atas ranjang tanpa berganti baju. Kepalanya penuh dengan bayangan wajah Syakira yang memohon pengakuan, bibir yang bergetar saat mengatakan cinta, dan ciuman yang masih membekas di kulit dan ingatan. Dia menutup mata, berharap tidur bisa jadi pelarian. Tapi saat kelopak matanya tertutup, alam bawah sadarnya menariknya jauh ke belakang ke masa silam yang lama terkubur.
***
Saat itu, Angkasa yang masih berusia 9 tahun terkejut karena pintu depan rumah terbuka dengan suara gemerincing yang biasa terdengar saat seseorang baru saja datang. Astrid, ibu Angkasa, melangkah masuk bersama seorang wanita muda bernama Santi, dan seorang bayi kecil yang digendong oleh Santi. Bayi cantik berusia 1 tahun dengan pipi bulat yang terlihat menggemaskan.
Angkasa mendekat, dia memandang bayi yang berada di gendong Santi. "Mereka siapa, Bunda?"
“Ini Tante Santi,” jawab Astrid dengan senyuman di wajah cantiknya. “Dia saudara dekat Mama, kasihan Tante Santi baru saja ditinggal suaminya, dan dia harus merawat anak kecil ini sendirian.”
"Terus?" Angkasa menunjuk bayi yang ada di gendongan Santi. "Nama anak ini siapa, Bunda?"
Bukannya Astrid yang menjawab, melainkan Santi sambil mengulurkan anaknya ke hadapan Angkasa. “Ini, namanya Syakira. Apa kamu ingin menggendongnya?"
Syakira menatap Angkasa dengan tatapan polos dan penuh rasa ingin tahu. Bayi itu mengulurkan tangan, seolah meminta agar lelaki kecil yang ada di hadapannya menggendongnya. Angkasa yang baru pertama kali melihat bayi itu, sedikit ragu, tapi akhirnya dia mengangkat Syakira yang ringan ke dalam pelukannya. Wajah bayi itu tampak tenang, seakan merasakan bahwa dia sudah berada di pelukan orang yang tepat.
Astrid, yang mengamati interaksi Angkasa dan Syakira, lalu berkata, “Kita akan tinggal bersama di sini, ya, Santi. Angkasa kan sudah besar dan bisa membantu menjaga Syakira sementara kamu bantu Mbok Inah untuk mengurus rumah. Kamu kan di kampung sudah biasa mengerjakan pekerjaan rumah, jadi nggak apa-apa kan, Santi?”
Santi mengangguk pelan, walaupun matanya menyiratkan sedikit ketidaknyamanan. “Tentu, Mbak Astrid. Yang penting Syakira nyaman berasa di sini. Terimakasih sudah membantu kami."
"Angkasa," panggil Astrid mengelus puncak kepala anak semata wayangnya. "Mulai sekarang, sepulang sekolah kamu harus menjaga Syakira, ya! Anggap saja dia adikmu, kan katanya kemarin kamu pengen punya Adek."
"Iya, Mah." Angkasa mengangguk lalu mencium pipa tembam Syakira. "Dia lucu kayak boneka, dia enggak nangis pas aku gendong, jadi aku janji sepulang sekolah aku akan langsung pulang dan membantu Tante Santi merawat Syakira."
***
Angkasa terbangun dengan napas berat. Dahinya basah oleh keringat, meski AC di kamarnya menyala. "Mimpi tadi terasa sangat nyata, aku seperti sedang kembali ke masa lalu. Seperti itulah pertemuan pertamaku dengan Syakira."
Dia menyandarkan punggung ke sandaran tempat tidur dan termenung. Di dalam hatinya, Angkasa tahu, itu bukan sekadar mimpi biasa. Itu adalah potongan kenangan yang selama ini dia kubur dalam-dalam dan yang sangat ingin dia lupakan, tapi kenangan itu malah tiba-tiba muncul kembali setelah mendengar penyataan cinta dari Syakira.
Ponsel Angkasa bergetar pelan di atas meja, sebuah pesan text masuk dari Syakira. "Abang, aku udah di depan pintu, aku bawain Abang sarapan."