Episode 5

1247 Kata
"Beneran mau pulang hari ini, sayang?" Tanya Mama Lucia menghampiriku, yang tengah menyisir rambut di depan meja rias. "Iya Mah. Mau bersih- bersih rumah dulu, sebelum Mas Adam pulang." jawabku, menoleh padanya. "Kan Adam pulang nya besok malam, kamu bisa pulang besok paginya. Lagian kenapa gak pake jasa asisten rumah tangga sih, kan cape beresin sendiri?" Aku hanya tersenyum menanggapi. Mama memang selalu menahanku dengan berbagai alasan jika hendak pulang. "Aku sama Mas adam belum merasa butuh asisten, Mah. Aku masih sanggup kok sendiri, lagipula aku gak ada kegiatan juga kan?" "Atau kamu boleh pinjam Bi Sur dari sini aja buat bantu-bantu, biar gak usah repot cari orang baru lagi." Tawar Mama. "Nggak perlu Mah, nanti aku pasti cari kalau bener-bener udah butuh." Mama nampak kurang setuju dengan usulku, tapi untuk saat ini aku memang belum membutuhkan jasa asisten rumah tangga. "Kamu harus sering-sering kesini ya?" "Iya Mah, nanti aku kesini kalau Mas Adam ada tugas di luar Negri." "Ya sudah kalau gitu. Kamu pulang diantar Zacky ya, dia bilang tadi juga mau pulang, biar barengan." Mendengar nama Zacky sontak membuatku merasa risih, apalagi semenjak kejadian semalam, ketika aku tertangkap basah melihat Zacky tengah berciuman dengan Sella. Bahkan semenjak kejadian itu, sebisa mungkin aku selalu menghindar setiap kali hendak berpapasan dengannya. "Aku bisa pulang sendiri Mah." "Kenapa? Kan biar sekalian?" "Aku ada janji sama temen, sekalian mau belanja mingguan untuk keperluan aku dan Mas Adam." Mama memandangku dengan tatapan curiga, kedua alisnya mengerut mencari kebohongan dari sorot mataku. "Mau ketemu Dokter dewi, Mah. Teman yang pernah aku kenalkan pada kalian pas waktu resepsi pernikahan, yang berambut ikal." Lagi-lagi aku menjadikan Dewi sebagai alasan. Entah sudah keberapa kalinya Dewi selalu menjadi alasan, setiap kali Mama menatapku penuh curiga. "Oh yang itu, Mama ingat. Tapi jangan malam-malam pulangnya, terus jangan kecapean. Mamah udah ga sabar pengen gendong cucu." Aku mengangguk mengiyakan. Untuk saat ini aku berhasil meyakinkan Mama, sekaligus menghindari Zacky. Meski aku tau bisa saja sewaktu-waktu aku kembali bertemu dengannya, terlebih kita tinggal di satu gedung apartemen yang sama. "Temenin gue jalan ya?" Aku benar-benar menghubungi Dewi dan memintanya menemaniku pergi berbelanja. Sebenarnya aku tidak berbohong mengenai perlengkapan mingguan di rumah memang sudah habis. Tapi biasanya Mas Adam selalu mengajakku pergi bersama untuk membelinya. "Kemana sih Bel, gue masih kerja." Jawab Dewi. Jawaban yang selalu sama setiap kali aku mengajaknya pergi bersama. "Yang pasti bukan klub seperti waktu itu, gue mau belanja bulanan, suami gue mau balik besok malem." "Ck, lo mau bikin apa emang, gak usah muluk-muluk dan masak yang gak jelas. Lo tinggal mandi, dandan yang cantik terus lo tinggal pake tuh lingerie yang dikasih Tifani waktu lo kawinan . Udah beres, laki lo dijamin senangggg." Ejek Dewi. Perempuan itu pasti merasa sangat senang karena selalu berhasil mengolok-olokku yang belum pernah disentuh Adam. "Ih... Sialan lo! Udah gak usah banyak ngeles, gue kesitu jemput tiga puluh menit lagi, gak pake alasan lain lagi." Sebelum mendengar jawaban panjang kali lebar yang akan keluar dari mulut pedasnya, aku terlebih dulu mematikan sambungan. Selesai mengemas beberapa barang, aku langsung menuju pintu tapi kali ini terlebih dulu aku memastikan keadaan sekitar rumah, berharap tidak ada Zacky dimanapun. Aku bisa bernafas lega setelah Mama mengantarku hingga pintu gerbang dan taksi online pesananku melaju meninggalkan rumah utama. Rasanya hatiku bersorak gembira, karena berhasil menghindari Zacky untuk sementara, meskipun aku tidak tau dimana lelaki itu berada. Mungkin masih di rumah utama, atau justru ia sudah sampai di apartemen terlebih dulu. Sesampainya di apartemen, aku hanya menyimpan barang bawaan, dan mengganti kaos yang kukenakan, setelah itu aku segera kembali keluar untuk menjemput Dewi. Begitu pintu lift terbuka aku segera bergegas masuk. Secepat mungkin harus segera sampai ke Rumah sakit, sebelum wanita cerewet itu kembali berceramah padaku. Namun begitu pintu akan tertutup, sekilas tampak seseorang menahan pintu lift, hingga pintu itu kembali terbuka. Dan alangkah terkejutnya aku, melihat siapa orang yang kini tengah masuk ke dalam lift yang sama denganku. Lantai dua belas yang menjadi tempat tinggalku terasa jauh, perasaan canggung semakin terasa merasa. "Sepertinya kamu menghindar, kenapa?" "Nggak kok ha..ha.. itu hanya perasaan kamu aja." Aku berusaha bersikap biasa, meskipun aku sedang menahan gejolak dihatiku yang kian membuatku salah tingkah. Zacky hanya menganggukan kepalanya, kemudian berbalik. Tanpa diduga ia justru berbalik dan melangkah mendekatiku. Perasaan macam apa ini? Aku segera mundur satu langkah setiap kali ia maju satu langkah. Namun aku merasa terjebak, begitu punggungku menyentuh dinginnya dinding besi. "Gak usah menghindar, aku tau itu gak sengaja, aktingmu buruk banget." ucap Zacky sambil tersenyum dan kemudian mengacak-acak gemas rambutku. Aku mengerjap berulang kali, memandangi wajahnya yang hanya berjarak beberapa senti di depan wajahku. "Ayo." Ajaknya sambil menarik tanganku keluar lift. "Aku duluan ya? Sampai ketemu lagi nanti." Lanjutnya lagi, melambaikan tangan ke arahku yang masih diam mematung di basement parkiran. Suara klakson mobil Zacky membuyarkan lamunanku. Membuatku akhirnya sadar, kini aku hanya seorang diri di parkiran. Tapi apa yang baru saja terjadi? Semua begitu cepat dan hampir saja membuat jantungku berhenti berdetak. "Mau beli apa sih Bel? Dari tadi kita cuman muter-muter aja. Lihat nih keranjang belanjaan lo masih kosong, cuman ada roti doang." Gerutu Dewi. Aku melirik keranjang belanjaan yang sejak tadi kupegang erat dan berkeliling tanpa tujuan jelas. "Beli roti mah di minimarket sejuta umat aja banyak. Ngapain jauh-jauh kesini?" "Laper makan aja yu." Aku mengalihkan pertanyaan Dewi, sebelum dia benar-benar memarahiku habis-habisan. "Lo tau gak, gue nyampe bela-belain minta Miftah buat dateng cepet. Buat gantiin shift gue, dan lo cuman ngajak gue muter-muter doang?" Aku hanya menghela, bahkan belum sempat membela diri, ia sudah menghujaniku dengan umpatannya. "Gak usah marah sih. Gak setiap hari juga kan gue ngajak lo jalan. Kali ini gue gue yang traktir lo, mau makan apa, gue bayarin." Aku menarik tangan Dewi, meskipun ia tidak akan diam hanya dengan tawaran makan gratis. Sesampai nya di tempat yang dipilih Dewi, kita berdua memilih salah satu meja paling pojok dan menunggu pesanan datang. Tentunya restoran mahal. "Laki lo sering banget pergi." Dewi memulai pembicaraan, setelah menu pembuka datang. "Mmm." Aku hanya menggumam pelan. "Kenapa gak ikut aja? Sekalian gitu honeymoon." "Dia sibuk." "Lo baik-baik aja kan sama doi." "Baik." "Gue gak yakin." Selidik Dewi. Aku hanya mengangkat bahu sebagai respon. "Yang waktu itu dateng pas lo mabok, itu adeknya Adam?" "Iya." "Ganteng ya, gue gak tau Adam punya adek seganteng itu." Aku menghela nafas lemah, "Lo aja yang gak nyadar waktu resepsi pernikahan gue dia ada." "Hahah." Dewi tergelak sambil mencomot satu kentang goreng milikku, "Gue fokus liatin Azmi. Jadi gak ngeh kalau ada yang bening di sekitaran gue." "Tapi tetep cakepan laki lo, kok. Laki lo manly banget, kalau adeknya manis." "Lo ngomong apa sama dia waktu gue pingsan?" "Gak ada, dia cuman bilang kalau dia adek nya Adam, terus kalian tinggal di satu gedung apartemen yang sama, daripada gue cape angkat lo yang malah pingsan yaudah gue kasih aja lo ke dia." "Gila ya? lo bisa- bisanya ngasih gue ke orang dalam kondisi gue teler!" Dewi terkekeh, "Dia bukan orang lain Isabel, dia adek ipar lo. Lagian gak mungkin kan gue gak percaya, secara dia mirip banget sama laki lo. Udah gitu gue jamin dia gak bakalan gerayangin lo, soal nya lo kan istri kakak nya. Atau jangan- jangan lo di gerayangin ya sama dia?" "Gila!" Dewi mamang sangat menyebalkan, terlebih jika ia menemukan kelemahanku untuk di jadikan bahan bullyannya. "Lo belom cerita soal malam pertama lo sama Adam, gimana hwattt gak? Berapa ronde,," belum sempat Dewi melanjutkan ucapan nya, aku terlebih dulu mencubit lengan Dewi dengan cukup keras. Ia meringis kesakitan, namun masih saja tertawa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN