Sayup-sayup terdengar bunyi pintu apartemen terbuka, ini sudah hampir tengah malam. Aku tau itu pasti Mas Adam. Sudah sejak tadi aku menunggu kepulangannya, namun rupanya ia baru sampai rumah jam dua belas malam. Aku sengaja menunggunya hingga tertidur di kursi.
"Baru sampai, Mas?" Aku berdiri kemudian mendekat kearah Mas Adam yang tengah membuka sepatunya.
"Iya, kenapa gak tidur di kamar?" Aku meraih satu tangannya dan mencium punggung tangannya, sementara Mas Adam tidak melakukan sentuhan lainnya seperti mencium kening atau mencium pipiku, seperti halnya yang sering dilakukan pasangan suami istri.
"Au kira, Mas Adam pulang nya masih sore, tau nya jam segini baru sampe." Aku mengikuti arah langkahnya, menuju dapur.
"Tadi aku mampir ke tempat temen dulu." Jawabnya.
"Mau aku buatkan makan malam, atau teh panas?"
"Gak usah, aku mau mandi. Lagipula Mas sudah makan tadi, mau langsung istirahat, capek banget." Setelah menenggak segelas air putih dingin, Mas Adam segera bergegas menuju kamar.
Aku lebih mirip seperti seekor anak kucing, kemanapun tuannya pergi pasti mengikuti. Itu pun yang kulakukan pada Adam, kemana dia melangkah aku mengikutinya, hingga ia masuk kedalam kamar mandi dan langsung menguncinya. Setelah tidak bertemu denganku beberapa hari, aku berharap ia pulang dan merindukanku. Namun nyatanya sikapnya masih seperti biasa, acuh dan dingin. Mas Adam memang tidak pernah bersikap kasar padaku, namun ia juga tidak pernah memperlakukanku seperti seharusnya seorang lelaki memperlakukan istrinya. Sentuhan yang pernah dilakukannya padaku hanya sebatas mencium kening, itupun hanya dua kali dalam rentang waktu dua bulan pernikahan. Sebagai wanita normal, tentu saja aku menginginkan lebih dari sekedar ciuman singkat.
Tidak ada penjelasan darinya atau alasan apa yang membuatnya belum menyentuhku hingga malam ini. Aku sempat bertanya padanya, namun lagi-lagi ia beralasan semua belum saatnya, padahal di mata agama dan hukum, dia berkewajiban memenuhi kebutuhanku termasuk kebutuhan biologis.
Aku sempat berpikir mungkin Adam kecewa karena sebenarnya aku sudah tidak perawan lagi. Tidak ada yang aku tutupi darinya, termasuk pengakuanku tentang status keperawananku yang sudah hilang beberapa tahun lalu. Dan kini hal itu sangat aku sesali.
Aku pernah melakukan nya dulu dengan seseorang yang sampai hari inipun aku tidak ingat dengan siapa aku melakukannya, karena aku melakukan nya setelah menghadiri acara ulang tahun Johan. Bodohnya aku saat itu, aku mabuk dan melakukan one night stand dengan lelaki asing yang tidak pernah lagi aku jumpai hingga saat ini. Lelaki yang mengambil keperawananku dan kini justru membuat suamiku merasa kecewa. Satu-satunya yang mampu kuingat dari lelaki itu adalah, ia memiliki sebuah tato bergambar bunga di lengan bagian d**a kirinya, dan sebuah luka di lengan kanan bagian atas. Hanya itu yang mampu kuingat.
"Jadilah seorang isteri yang berbakti pada suami. Seorang isteri ibarat pakaian untuk suaminya, begitu juga sebaliknya." Satu kalimat mujarab yang selalu terngiang di telingaku hingga saat ini. Yaitu ucapan terakhir Ibu, ketika dua minggu sebelum pernikahanku dan Mas Adam berlangsung. Dan menjadi kalimat terakhir yang diucapkannya padaku, sebelum akhirnya ia pergi untuk selama-lamanya. Bagaimanapun sikap Mas Adam saat ini, aku akan tetap bertahan. Apapun keburukan yang dimilikinya, aku akan berusaha menutupinya, seperti permintaan Ibu.
Mas Adam benar-benar langsung tertidur pulas. Mungkin karena perjalanan luar kota yang ditempuhnya cukup menguras tenaganya.
Esok harinya, aku selesai membuat sarapan untuk kita berdua. Tidak berselang lama, Mas Adam keluar dengan balutan kemeja berwarna biru muda. Sangat rapi, wangi dan tampan.
"Zacky belum datang?" Tanya nya.
"Belum."
"Dia bilang mau kesini antar file kerjaan." Lanjutnya sambil menyeruput kopi hitam buatanku.
Tidak berselang lama bel apartemen nya berbunyi.
"Mungkin itu Zacky." Aku segera bergegas membuka pintu dan benar saja Zacky sudah berdiri di depan pintu tak kalah rapinya dengan membawa sebuah map berwarna hijau muda di salah satu tangannya.
"Mas Adam udah nungguin," aku membuka lebar pintu, mempersilahkannya masuk.
"Dia udah siap?"
"Udah , lagi sarapan. Masuk dulu, kita sarapan bersama."
"Mau minum apa? Mau kopi?" Aku menawarkan minuman pada Zacky, begitu ia ikut bergabung dengan Mas Adam di meja makan.
"Aku ga terlalu suka kopi, mau teh tawar aja." Jawabnya. Aku segera bergegas ke dapur untuk membuat teh tawar, sementara mereka berdua berbincang-bincang membahas masalah pekerjaan.
"Kita berangkat bersama, sekalian nanti ketemu Ayah di kantor." Ajak Mas Adam,
"Oke, lagian mobilku juga masih di bengkel."
Selesai sarapan kedua lelaki itu pun beranjak dari meja makan, aku mengantar mereka sampai depan pintu. Seperti biasanya Mas Adam akan pamit begitu saja, tidak ada ciuman ataupun pelukan mesra.
Aku berharap Zacky tidak mencurigai apapun, karena semenjak tadi ia terus memperhatikan gerak-gerik kita berdua.
Author pov.
Sementara itu di perjalanan, Adam dan Zacky saling diam. Tidak ada yang bicara dan hanya alunan suara musik dari tape radio yang sengaja di nyalakan Adam, untuk mengusir keheningan di antara mereka berdua.
"Bagaimana perjalanan bisnis di Bandung? Lancar?" Akhirnya Zacky memulai pembicaraan.
"Lumayan. "
"Kapan pertemuan berikut nya?"
"Mungkin minggu depan."
"Mas, gak lupa kan kalau tante Dinar akan melangsungkan pernikahan anak nya di Solo?"
"Mmm," Adam hanya bergumam pelan.
"Ayah meminta kita semua pergi bersama."
"Aku harus melihat jadwal pekerjaanku dulu, aku tidak bisa pergi jika masih ada pekerjaan."
"Jangan terlalu sibuk, lagipula bisa diwakilkan Rafa."
Adam diam tak menanggapi, dan hanya fokus menjalankan kemudi.
"Kasian Isabel, sering ditinggal- tinggal."
"Kamu sudah seperti Mama bicara seperti itu."
"Atau ajak aja Isabel ke Bandung, sekalian Mas kerja."
Adam menoleh dengan tatapan kurang suka dengan ide Zacky
"Aku rasa, kamu ataupun mamah tau alasan aku menikahi Isabel."
"Aku gak suka kalian terlalu mengurusi urusan rumah tanggaku, aku tau apa yang harus aku lakukan dan apa yang tidak harus aku lakukan." Lanjut Adam.
Zacky kemudian diam, akan sangat percuma jika ia melanjutkan perdebatan dengan sang kakak. Adam sangat keras kepala dan tidak pernah bisa di bantah. Meskipun Zacky dan sang Ibu tau alasan sesungguhnya Adam menikahi Isabel, namun baik Zacky maupun Lucia sangat berharap Adam tidak sepenuhnya hanya memanfaatkan Isabel.
Sepeninggalan Adam dan Zacky ke kantor, tak banyak kegiatan yang Isabel lakukan. Ia hanya berdiam di kamar atau membersihkan rumah, setelah itu ia akn menghabiskan sisa waktunya dengan menonton acara televisi.
Sudah hampir tiga hari ia tidak mengunjungi Irsyad, daripada hanya berdiam diri di rumah tanpa melakukan apapun, Isabel akhirnya memutuskan untuk mengunjungi Irsyad di Rumah sakit.
"Nih!" Dewi menyodorkan sekaleng minuman bersoda kepada Isabel yang tengah duduk di salah satu kursi di ruang tunggu.
"Jam besuk nya belum mulai, jadi harus nunggu dulu." Dewi ikut bergabung bersamanya, duduk di samping Isabel.
"Gimana semalem?" Tanya Dewi, membuat Isabel menyerngitkan dahi, tidak mengerti.
"Kangen- kangenan dong sama suami." Lanjut Dewi dengan senyum jahil.
Isabel hanya menghela nafas lemah, "Biasa aja." jawab nya pelan. Dewi langsung tertawa dengan sangat keras membuat Isabel balas menatap Dewi dengan tatapan tidak suka.
"Pantes muka lo kusut banget, nyata nya kurang toh jatah nya."
"Apa sih, Wi?!" Isabel mulai kesal jika Dewi membahas masalah yang cukup pribadi.
"Dih gitu aja marah sih." Goda dewi sambil menggoyangkan pundak nya hingga menyentuh pundak Isabel.
Sebenarnya ingin sekali Isabel menceritakan apa yang terjadi, tapi ia masih ragu dan malu. Dia hanya menerawang ke arah langit- langit koridor Rumah sakit dan menghela nafas lemah. Isabel mungkin sangat berusaha menutupi apa yang dipikirkan nya, tapi Dewi justru menyadari hal lain terlihat jelas di wajah Isabel.
"Ada yang lo sembunyiin dari gue?" Dewi memicingkan mata nya penuh selidik.
"Ngga ada." Elak Isabel.
"Adam bersikap kasar sama lo?"
"Ngga."
"Lalu?"
"Ngga ada Wi, gue baik- baik aja."
Dewi berdecak tidak percaya, "Ck, lo udah lama kenal sama gue, dan akting lo buruk. Parahhhh." Dewi menggelengkan kepalanya membuat Isabel tersenyum getir. Nyatanya bukan hanya Zacky yang menganggapnya buruk dalam berpura-pura, tapi juga Dewi sahabatnya.
"Udah dua orang yang ngatain akting gue jelek, padahal dulu gue pengen banget jadi artis."
"Terus?" Dewi masih terus mendesak.
"Terus,,, terus aja kayak kang parkir." Isabel mencoba mengalihkan pembicaraan dengan candaan garing, namun sama sekali tidak membuat Dewi terpengaruh.
"Gak ada yang gue sembunyiin, Wi. Beneran!"
"Apa Adam main kasar, atau mukul lo?"
"Jangankan main kasar nyentuh gue aja belum." Tanpa sadar Isabel berkata membongkar rahasianya sendiri. Seketika Dewi langsung memegang tangan isabel, menariknya dengan cukup keras, hingga tubuh Isabel menghadapnya.
"Apa?! lo ngomong apa barusan?"
"Yang mana? Lo salah denger kali." Isabel mencoba melepaskan cengkraman tangan Dewi.
"Gue gak budek, Bel."
"Lepasin ih.. sakit. Lo udah kaya tukang pukul kenceng banget megang nya."
"Terserah lo mau bilang gue kayak tukang pukul, kayak tukang parkir kek, tapi gue gak budek. Gue denger ucapan lo barusan. Dengan jelas!"
Dewi tidak akan berhenti sebelum ia mendapatkan apa yang diinginkannya. Termasuk penjelasan dari Isabel. Tidak ada pilihan lain selain menceritakan apa yang dialaminya saat ini pada Dewi. Isabel pun akhirnya menyerah, ia benar-benar menumpahkan segala ganjalan yang ada di hatinya pada Dewi.
Dewi memperhatikan setiap bait ucapan Isabel, ia ikut prihatin dengan nasib yang dialami sahabat baik nya itu. Berada dalam lingkungan keluarga yang jauh dari kata harmonis, adik nya yang masih koma hingga saat ini, Ayah yang tidak bertanggung jawab dan meninggalkan banyak hutang, bahkan kini pernikahannya yang sering dijuluki couple goals para gadis se tanah air pun, ternyata hanya sekedar topeng.
"Udah lama gak nengokin ibu, besok kesana yuk bareng gue, kebetulan gue besok lagi cuti." Ajak Dewi setelah ia puas mendengar semua cerita Isabel.
Isabel tersenyum, kemudian mengangguk dengan semangat.
"Oke besok gue jemput lo, sekarang mending lo balik udah malem."
"Gue balik ya, kalau ada perkembangan baru segera kabarin gue ya?"
Dewi tersenyum dan mengangguk.
Seharian berada di Rumah sakit menemani sang adik yang masih koma, hingga akhir nya ia bercerita mengenai rumah tangga nya, cukup membuat Isabel lelah.