“Abang? Bangun, Nak,” ujar Anggita seraya mengusap lembut kepala Irgi. “Jam berapa Ma?” gumam sang putra. “Jam enam, kesiangan tuh subuhnya.” “Abang shalat dulu tadi sebelum tidur.” “Subuh?” “Iya, Ma.” “Kok tidur lagi? Ga nganter April?” “Ngga, Ma,” jawab Irgi singkat seraya membenamkan wajahnya ke bantal. Anggita tak berkata apapun, terus saja mengusap surai sang putra hingga dengkuran halus Irgi terdengar lagi. Sang ibu menghempaskan napas, nyeri di dadanya seolah menyiratkan ada sesuatu yang tak beres tengah terjadi. Tak biasa-biasanya Irgi tidur di pagi hari saat kepulangannya ke Jakarta. Seletih apa pun ia, pasti April akan menjadi prioritasnya. Anggita berdiri dari duduknya, melangkah sunyi keluar dari kamar Irgi. “Assalammu’alaikum, Ma,” sapa April di ujung panggilan. Anggi