Jakarta, lima bulan kemudian. April pikir, Irgi akan mengejarnya kembali. Menghubunginya lagi. Bahkan April masih rutin mengunjungi kediaman Pranata, namun tak sekali pun Irgi menanyakan tentangnya. ‘Apa gue udah benar-benar menghilang dari hati dia?’ ‘Apa Irgi sekarang lebih bahagia?’ ‘Apa semuanya benar-benar sudah usai ya Tuhan?’ ‘Kenapa gue masih ga bisa ngelepas dia? Kenapa gue masih pakai semua barang pemberian dia? Kenapa gue masih denial kalau udah ga ada apa-apa di antara kami?’ April mendengkus pelan, kedua bahunya jatuh terkulai, garpunya sedari tadi hanya memilin-milin pasta tanpa benar-benar melahap menu makan siangnya itu. “Pril?” April menoleh, mendapati Adit yang tersenyum sumringah padanya. “Hey, Bang.” “Sendiri?” “Iya.” “Gabung boleh?” “Silahkan.” Adit tak s