Bab 5

1850 Kata
Tubuh Lara langsung menegang kala mendengar tuduhan Marsya. Jantungnya seolah diremas oleh tangan-tangan tak kasat mata. Pernyataan itu semakin menambah ketakutannya. Bagaimana kalau yang dikatakan oleh sahabatnya itu benar? Bagaimana kalau ia memang sedang hamil? Demi Tuhan, ia tidak bisa membayangkan jika hal itu memang terjadi. Hidupnya sudah sangat rumit oleh keadaan keluarganya, dan kini harus bertambah rumit karena harus bersinggungan dengan seseorang yang tidak pernah diduganya. Niko. Ya, lelaki itu yang bertanggungjawab atas kondisinya saat ini jika memang tuduhan sahabatnya benar. Lelaki itu jelas pelaku utamanya. Demi apapun, kehadiran lelaki itu seolah menjadi bayangan menyeramkan sejak saat itu. Selalu muncul menjadi bayangan menakutkan baginya. Ia sampai tidak bisa membayangkan bagaimana kecewanya sang ibu padanya, juga sang ayah yang pasti akan membunuhnya karena membawa skandal besar untuk keluarganya. “Ra!” Marsya mengguncang pundak Lara, melihat sahabatnya itu melamun malah menambah kecurigaannya. “Jawab gue! Lo hamil?” Marsya semakin memincing curiga. Keningnya sampai berkerut menunggu jawaban Lara. Mendapati respons Marsya yang seperti itu membuat Lara menghela napas pelan. Ia mencoba untuk tenang walau dalam hatinya dipenuhi kekacauan. “Lo ngomong apa sih, Sya? Mana mungkin gue hamil. Gue udah bilang sama lo, gue kecapean.” “Nggak, Ra,” bantah Marsya. “Gue tahu banget ciri-ciri orang hamil gimana. Gue udah ngalamin dua kali, kalau lo lupa. Walau janin-janin itu nggak sempet lahir, tapi gue tahu gimana rasanya hamil muda! Mama gue juga kayak gini dulu waktu hamil adek gue. Muntah kuning. Pahit banget, ‘kan? Lo juga pucet banget tau nggak?!” “Nggak, Sya. Lo ngaco banget. Lo kayak nggak pernah masuk angin aja. Ya, udah. Yuk!” “Nggak. Gue belom puas. Bilang sama gue, lo punya pacar diem-diem di belakang gue?” Lara lantas berdecak. “Lo tau waktu gue udah habis buat ngurus ini itu, Sya. Mana sempet pacaran.” “Kak Dipta. Lo kan lagi deket sama dia. Jangan-jangan kalian udah pacaran?” “Lo makin ngaco, Sya. Soto si bude keburu dingin ntar.” “Biarin. Nanti bisa pesen lagi. Sekarang gue tanya, mens kita kan sering barengan. Paling beda-beda hari. Gue udah dateng dari seminggu lalu, lo udah dapet belom bulan ini?” Tenggorokan Lara tercekat. Sulit sekali rasanya menghadapi Marsya. Pikirannya tidak akan mudah dialihkan sebelum dia puas. Menarik napas dalam-dalam, Lara menyingkirkan kedua tangan Marsya dari pundaknya lalu menangkup wajah cantik sahabatnya itu sambil berkata, “Dengerin gue, ya, cantik. Ini gue lagi dapet. Makanya perut gue juga nggak enak banget. Apa lo mau liat sekalian ni panties gue biar percaya.” Marsya terdiam sejenak. Mengamati mata Lara yang tampak teguh. “Lo nggak bohong, kan, Ra?” “Nggak. Lo nggak percaya banget sama gue. Gue udah bilang kalau gue kecapean, ditambah lagi, lagi dapet tamu bulanan. Untung lo nanya.” Terpaksa Lara berbohong, jika ia tidak melakukannya, maka Marsya akan terus mendesaknya. Gadis itu tidak akan berhenti bertanya sampai mendapatkan jawaban yang bisa memuaskannya. “Oke. Gue percaya sama lo. Tapi, tolong banget kalau ada apa-apa lo cerita ke gue, Ra. Lo tau, ‘kan, lo bisa ngendelin gue?” Lara menggigit bibir dalamnya. Matanya mulai berkaca-kaca. Sungguh, rasanya ia ingin sekali menangis. Dalam keadaan yang sesulit ini, hanya gadis ini yang ia punya, tapi lantas, kenapa ia tega membohonginya? Tidak. Ia hanya tidak ingin Marsya terlibat dalam masalahnya lebih jauh lagi. “Iya. Thanks, Sya. Lo satu-satunya hal luar biasa yang gue punya selain ibu gue.” Entah bagaimana, Lara membawa tangannya yang masih berada di wajah Marsya tuk merengkuh tubuh sahabatnya itu. “Gue nggak punya apa-apa buat bales semua kebaikan lo, Sya. Semoga Allah yang bales dengan kebaikan dan keberkahan yang berlipat-lipat di hidup lo, juga keluarga lo.” “Aamiin.” Marsya balas merengkuh tubuh Lara. “Kok jadi mellow gini, sih. Nggak suka gue, Jir!” “Biarin, gue masih kangen sama lo, Sya. Lo pergi dua minggu tau nggak.” Marsya berniat mengurai pelukannya, tapi tangan Lara menahannya. “Sebentar lagi, gue masih kangen.” Air mata Lara diam-diam sudah berjatuhan tanpa suara. Sesak sekali dadanya, tapi ia menahan agar sahabatnya itu tidak melihatnya. Marsya mengetuk samping kepala Lara dengan jemarinya yang mengepal. “Alay banget lo tumben.” Walau begitu Marsya tetap balas memeluk tubuh ramping sahabatnya itu. “Kita balik ke kantin, ya. Gue laper.” “Oke.” Sesaat pelukan itu terurai, Lara cepat-cepat mengusap wajahnya, menyingkirkan jejak-jejak air mata di sana. “Yuk.” “Yuk.” Marsya langsung menggandeng lengan Lara dan mereka berjalan beriringan menuju kantin. Sesampainya di meja, Lara menahan rasa mualnya mati-matian. Aroma ruangan itu benar-benar membuatnya pusing. Perutnya terasa diaduk-aduk. Ingin rasanya ia lari, tapi ia harus menahan diri agar tidak membuat Marsya mencemaskannya lagi. “Mau gue pesenin yang baru nggak?” “Nggak usah, Sya. Masih anget, kok.” “Ya, udah, habisin. Lo suka banget ‘kan soto kantin. Makan yang banyak.” “Iya, lo juga habisin, Sya. Jangan alesan belum makan karena lo tau gue belum makan.” “Tau aja lo.” Mereka berdua lantas terkekeh bersama. Lara masih mau menerima ajakan Marsya dalam hal makan. Bukan karena ia ingin, tapi lebih ke menghargai upaya sahabatnya itu dalam memberikannya perhatian. Walau, bahkan hanya untuk sekadar memegang sendok dan memasukkan makanan ke dalam mulutnya pun, rasanya ia sangat kesulitan saat ini. Tapi, bukan Lara namanya kalau tidak bisa menyimpan semua perasaannya dengan rapi. Ia habiskan satu mangkuk soto itu walau dengan susah payah. Hingga sepuluh menit kemudian, mereka selesai. “Gue bayar dulu, ya. Habis itu kita ke TU.” “Oke.” Marsya beranjak dari tempat duduknya. Bergerak menuju kasir untuk membayar. Setelahnya, kedua gadis itu langsung pergi menuju ruang TU. Di sana, mereka berdua melakukan cap tiga jari dan legalisir ijazah secara bergantian. “Giliran lo, Ra. Gue tunggu di luar, ya. Mama telepon.” “Oke.” Marsya kemudian keluar dari ruangan tersebut, lalu mengangkat panggilan dari sang ibu. “Halo, Ma?” “Halo, Sayang. Udah selesai belum?” “Bentar lagi, Ma. Kenapa?” “Kalau udah langsung pulang, ya. Bawa Lara sekalian ke rumah. Mama ada kejutan bagus buat dia.” “Kejutan apaan, Mah?” “Udah, bawa aja, Sayang. Sekalian kita makan siang sama-sama.” “Well. Bisa apa Marsya kalau ibu ratu sudah berkehendak.” Terdengar suara kekehan di ujung telepon sana. “Bisa aja kamu. Ya, udah. Hati-hati, ya. Jangan ngebut-ngebut bawa mobilnya.” “Assiap, Nyonya besar!” Sambungan telepon itu terputus. Bersamaan dengan itu Lara keluar dari ruang TU. “Sya.” “Udah selesai?” “Udah. Gue langsung pulang aja, ya. Gue mau nemenin Ibu.” “Eh, jangan dulu, Ra. Mama barusan telepon. Dia minta gue bawa lo ke rumah.” Kening Lara seketika mengerut. “Ada apa, Sya?” Entah kenapa, perasaan Lara jadi tidak tenang. “Gue ada salah, ya? Atau jangan-jangan Mama lo—” “Ssssttt,” ucapan Lara langsung terhenti ketika telunjuk Marsya menekan tengah bibirnya. “Jangan OVT lo. Udah ikut aja. Nanti sore apa malem gue anter balik biar keluarga lo tenang. Lo kabarin aja adek lo.” Lara tidak langsung mengiakan ajakan sang sahabat. Ia tampak menimbang karena ragu. “Tapi, Sya—” “Udah, nggak ada tapi-tapi. Yuk.” “Iya.” Akhirnya Lara hanya bisa menurut ketika tangannya ditarik menuju parkiran. Sekali lagi, percuma menolak permintaan Marsya. Gadis itu akan tetap memaksanya. Selama dalam perjalanan, Lara hanya mendengarkan Marsya bercerita tentang ini dan itu. Ia hanya menanggapinya sesekali. Ia tidak bisa fokus karena mual itu kembali mendesaknya. Sebisa mungkin ia mengalihkan pikirannya agar tidak terfokus pada perasaan tidak nyaman tersebut. Tapi percuma, desakan itu makin menekan kuat, tapi untungnya ia mengingat sesuatu, ia menyimpan permen pada saku sweaternya. Langsung saja ia rogoh benda itu dan mengupas bungkusnya, memasukkan ke dalam mulut hingga dua permen sekaligus. Diam-diam Marsya mengamati gerak-gerik Lara yang tidak biasa. Bukannya tidak tahu ia kalau sahabatnya itu sedang tidak fokus. Tapi, ia mencari cara agar mendistraksi pikiran sahabatnya itu. “Oh, ya, Ra. Soal orang yang jebak lo waktu itu. Gue masih cari tahu. Tapi, jujurly gue masih penasaran, gimana lo nanganin obat itu? Gimana cara lo buat sembuh? Secara gue pernah ngalamin dan … ya lo tau lah, endingnya pasti skidipapap. Tapi, lo ‘kan—” “Sya,” potong Lara cepat. Hampir saja permen dalam mulutnya tertelan. Ia syok bukan main tentang apa yang dibahas Marsya. “Kenapa?” Marsya tahu ada yang salah ketika melihat raut wajah Lara yang berubah gelisah. “Nggak usah bahas itu bisa nggak? Gue—” “Oke.” Marsya tidak bertanya lebih jauh sebab mereka sudah sampai di depan rumah. Ia langsung mengajak Lara turun dan masuk ke dalam rumahnya yang super megah. Kedatangan mereka langsung disambut antusias oleh Sintia—ibu Marsya yang berada di teras rumah. “Akhirnya yang ditunggu-tunggu dateng juga,” ucap Sintia sambil merentangkan tangannya tuk menyambut Lara. “Udah lama banget kamu nggak main ke rumah Tante, Ra.” Lara tersenyum. Menerima pelukan dari perempuan yang sudah dianggapnya sebagai ibunya sendiri. “Iya, Tante. Maaf, ya, Tante, Lara baru bisa mampir.” “Nggak apa-apa, Sayang.” Sintia melepaskan pelukan itu, menggandeng kedua tangan Lara. “Tante suruh Marsya ajak kamu ke sini karena punya kejutan bagus.” “Kejutan?” “Iya. Ada kejutan besar buat kamu. Tapi, nanti aja, habis makan siang Tante bakal kasih tau.” Sintia langsung menggiring Marsya dan Lara masuk lalu mengajak mereka ke meja makan. Di sana sudah ada adik dan papa dari Marsya. “Om.” Lara langsung menyalimi Beni—papa Marsya. “Lara. Duduk, Ra.” “Iya, Om.” Lara kemudian menarik kursi yang bersebelahan dengan Marsya dan duduk di sana. “Kamu sehat?” “Alhamdulillah sehat, Om.” “Syukurlah. Keadaan ibu kamu gimana?” “Lumayan, Om. Tadi Ibu sarapannya lahap banget.” Terjadi obrolan singkat di ruang makan itu. Hingga beberapa pelayan rumah tangga datang membawa nampan-nampan berisi makanan. Tapi, sungguh sial, makanan yang terlihat lezat itu malah terasa menyiksa bagi Lara. Gadis tersebut mati-matian kembali menahan gejolak mual saat aroma masakan itu masuk ke dalam hidungnya. “Kita makan sekarang boleh nggak, Ma?” izin Nathan yang merupakan adik Marsya. “Kan Mbak Lara udah datang. Nathan udah laper banget.” Sintia mengusap kepala belakang Nathan sambil mengecup samping kepala putranya tersebut. “Sabar, ya, Jagoan Mama. Masih belum lengkap. Mama ada kejutan lain. Ada yang mau dateng. Kamu pasti seneng banget liat dia.” “Siapa memangnya, Ma?” “Assalamualaikum.” Belum sempat Sintia menjawab, terdengar suara salam dari seorang wanita dan laki-laki. “Walaikumsalam.” Sintia melebarkan senyumnya kala melihat sosok yang ditunggu akhirnya datang. “Nah, itu dia.” Beda dengan keluarga Marsya yang menyambutnya antusias, wajah Lara malah berubah pucat saat melihat sosok itu. Deg! Deg! Deg! Niko …. Lara seolah lupa caranya bernapas, membuat dadanya terasa sesak. Terlebih saat lelaki itu melangkah makin mendekat, membawa perempuan cantik di sampingnya. Lara terjerembab. Ingin ia lari. Lari dari pria itu .... Tapi, terlambat, pria itu sudah menangkap keberadaannya, angkuh memaku matanya. **
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN